Sukses

Lifestyle

Takdir Membuatku Berjodoh dengan Pria Pertama yang Taaruf Denganku

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Kehidupan memang sesuatu yang tidak bisa diduga. Manusia bisa merencanakan, namun rencana Tuhan yang akan berjalan. Sama seperti kehidupanku. Aku masuk kuliah pada tahun 2007 di sebuah kampus negeri Semarang. Indah memang, karena aku masuk dengan jalur nilai rapor terbaik di sekolah dan mendapat beasiswa selama 4 tahun masa studi S1. Namun, awal yang indah bukan jaminan berakhir sama.

Pada saat mengerjakan skripsi, di sanalah ujian itu tiba. Aku mendapatkan dosen pembimbing yang dikenal perfeksionis. Kadang tak sungkan merendahkan kemampuan mahasiswanya dan menjatuhkan kepercayaan diri. Mirip benar dalam kisah film India Three Idiots. Aku berpikir bagaimana caraku lulus. Sementara orangtua terus bertanya kapan dan saudara-saudaraku semakin menyangsikan pilihanku saat itu, untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana. Tentu aku ingin sekali memberikan bukti bahwa menjadi sarjana itu bukanlah hal sia-sia.
Ilustrasi./Copyright unsplash.com/chris arock

Dengan derai air mata dan peluh bercucuran, aku berusaha mempertahankan kuliahku meskipun harus membayar sendiri studiku karena telah melewati masa 5 tahun. Ayahku sakit stroke dan ibuku hanya seorang buruh pabrik. Semakin trenyuh, ketika ayah dan ibuku bertanya kapan aku lulus. Apalagi mendengar suara nyinyir keluarga yang tidak support sejak awal dengan pilihan hidupku.

Aku harus kuat, aku telah memulai maka aku harus menyelesaikannya. Banyak jalan menuju Roma. Dengan berbagai bantuan dari teman dekatku serta jalur nekat, aku pun memilih jalur non skripsi karena bayang-bayang DO telah menghampiri. Walhasil, derai peluh dan air mataku membuahkan hasil. Aku pun lulus dengan nilai rata rata A pada mata kuliah non skripsi dan IPK di atas 3 koma.
Ilustrasi./Copyright unsplash.com/dylan gillis

Ternyata, pertanyaan "kapan" masih terus menjadi bayang-bayang dalam kehidupanku. Setelah berusaha keras lulus kuliah, aku pun memutuskan untuk menjajaki dunia kerja. Memperbaiki kondisi hidup menjadi targetku sebelum menikah. Apalagi sejak meninggalnya ayahku, sebagai anak pertama aku harus mampu menopang ekonomi keluarga membantu ibu.

Sekaligus ada rasa dalam hatiku untuk menunjukkan kepada keluarga besarku, betapa bergunanya pendidikan tinggi bagi para kaum hawa untuk memberikan manfaat bagi keluarga dan masyarakat. Ternyata, pembuktian itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Walhasil, tibalah saat di mana ibu dan keluargaku mempertanyakan kapan aku menikah dan membawa calonku ke rumah. Pertanyaan yang sama dengan dulu, seakan ragu akan keinginanku dalam menapakinya.

Siapa yang tak ingin menikah, apalagi bagi wanita yang berusia 25 tahun ke atas. Namun, tidak mudah bagiku dalam memilih pasangan kehidupan. Karena aku menjadi saksi kisah berliku rumah tangga orangtuaku. Hal itu membuatku ingin memilih seseorang yang dapat dipercaya dan dapatĀ  mempercayaiku. Itulah landasan rumahtangga yang ingin kubangun. Maka, aku memutuskan tidak memilih jalur uji coba atau main api seperti melalui proses pacaran.
Ilustrasi./Copyright unsplash.com/michael larosa

Aku memutuskan percaya kepada temanku seorang ustazah yang sering memberiku pemahaman agama dan membimbingku dalam proses taaruf. Bagi sebagian orang mungkin berpikir bahwa jalur tersebut sangat mudah mendapatkan pasangan karena dijodohkan. Namun realitasnya, jodoh memang Tuhan yang mengatur, siapa dan kapan bertemunya.

Dalam kisahku, ternyata aku harus berproses taaruf dengan beberapa pria sholeh. Lantunan doa dan derai air mata dalam setiap sujudku, sempat mewarnai hariku. Ditambah sikap ibu yang selalu bertanya kapan. Beliau yang ragu dengan caraku, hampir hampir menjodohkanku dengan temannya satu pabrik. Alhamdulillah, di saat yang sama proses taarufku berbuah manis.

Takdir memutuskanku kembali berjodoh dengan pria pertama yang pernah taaruf denganku. Keragu-raguanku dan kecemasanku telah berbuah ketenangan, keyakinan, dan kebahagiaan. Pertanyaan "kapan" kadang menjadi hal tersulit dalam hidup kita untuk kita jawab. Apalagi jika hal tersebut terkait dengan takdir rezeki, jodoh dan keturunan. Namun, aku berusaha menikmatinya karena dengannya aku menjadi semakin kuat dan dekat dengan-Nya sehingga mampu percaya untuk menjawab bahwa Tuhan telah menyiapkan rencana terbaik untukku, sehingga daripada bertanya kapan, doakan saja yang terbaik untukku.
(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading