Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Memasuki di usia 20-an, terutama dimulai dari masa kuliah, pasti kita tidak akan lepas dari pertanyaan kapan. Contohnya, “Kapan lulus?” lalu setelah lulus, “Kapan kerja?” lalu ketika kerja, “Kapan punya pacar?” dan seberondong pertanyaan lainnya sampai di satu titik muncul pertanyaan, “Kapan nikah?” Benar adanya bahwa pertanyaan itu tidak akan berakhir, sampai pun kita sudah menikah pasti akan ada saja yang bertanya, “Kapan punya anak?” Kapan ini? Kapan itu? Kapan, kapan, kapan?
Rasanya ingin sekali menyela dengan cepat, “Please stop, and mind your own business.” Masalahnya pertanyaan kapan ini sering sekali didapatkan dari keluarga, terutama orangtua. Terutama sewaktu memasuki umur 24 tahun, pertanyaan itu rasanya seperti teror kerap kali kita sedang dalam kumpul keluarga.
Advertisement
“Teman kamu tuh si A udah punya anak loh. Ih padahal dulu inget nggak kamu suka main bareng-bareng? Asyik banget ya udah punya anak. Kamu kapan? Pacar aja belum dapat yang benar. Makanya buruan dong cari pasangan, cepet-cepet nikah. Mama Papa udah nggak sabar pengen gendong cucu.”
Dan saya hanya bisa tersenyum masam, “Belum siap, Ma.”
“Nggak bisa gitu dong. Bagaimanapun kamu harus siap. Mama loh dulu nikah muda, siap-siap aja tuh, dan modal nekat. Udah buru, jangan kelamaan deh, nanti jadi perawan tua gimana?”
Saya langsung terdiam. Memangnya kalau di umur 24 tahun dan belum menikah itu bisa jadi perawan tua gitu? Saat itu saya belum menemukan cara yang bagus, atau cara yang tepat untuk mengatasi pertanyaan dan dorongan orang tua.
Sampai akhirnya saya pun melihat contoh nyata di mana teman saya cepat-cepat menikah karena sudah dipaksa orang tuanya, dan pernikahannya tidak berakhir bahagia. Lalu siapa yang bisa disalahkan?
Suatu haripun saat mama saya kembali melontarkan pertanyaan, “Kapan kamu nyusul teman kamu itu yang udah nikah?”
Saat itu saya sudah merangkai sedemikian kata, tanpa mengurangi rasa hormat saya, saya pun mengajak mama saya ke dalam sebuah diskusi.
“Menurut Mama nih, apakah sebuah pernikahan itu sebuah pencapaian hidup?”
Mama saya berpikir sejenak. “Ya iya dong, kan dengan kamu menikah setidaknya satu harapan mama sudah tercapai.”
“Itu harapan mama bukan? Apakah mama pernah berpikir kalau harapan terbesar aku bukan berasal dari suatu pernikahan?”
“Jadi maksudnya kamu nggak mau menikah?”
“No. Bukan itu. Maksudku di sini adalah, kenapa Mama harus menjadikan suatu pernikahan sebuah pencapaian hidup, padahal masih banyak pencapaian hidup lainnya yang bisa kita dapatkan, let’s say beli rumah, atau jalan-jalan. Setiap orang mempunyai suatu goal masing-masing dalam hidupnya, ada yang membuat pencapaian dia akan terwujud jika dia menikah. Ada lagi yang menganggap kalau dia sudah bisa keliling dunia, itu merupakan pencapaian hidup. Sementara aku, aku sudah tahu bahwa pencapaian dalam hidup aku bukanlah sebuah pernikahan. Ada hal lainnya yang ingin aku raih. Dan dengan pertanyaan Mama seperti ‘kapan nikah’ itu sebenarnya, maaf, membebani aku. Dan bisa jadi kalau Mama tidak berhenti untuk bertanya seperti itu, aku tidak akan fokus menggapai pencapaian hidup aku sendiri, dan malah bisa berubah menjadi membuat Mama berhenti bertanya ‘kapan aku nikah’. Bukankah itu miris? Lalu semisalnya nih, karena fokusku adalah untuk membuat mama berhenti bertanya, dan aku tergesa-gesa dalam mencari pasangan hidup, dan aku salah lalu pernikahanku tidak bahagia, siapa yang akan aku salahkan?”
“Tapi kebahagiaan itu pasti kamu dapatkan ketika kamu menikah,” sanggah mama.
“Siapa yang bilang? Ya kalau dia beruntung pernikahan bisa berakhir bahagia seperti di film-film romantis atau novel-novel. Tapi ini dunia nyata Ma, I know a little how life works. We have to earn if we want it. Jika kita ingin bahagia, kita harus membuat kebahagiaan itu sendiri, dimulai dari diri kita. Mama coba deh biarkan aku untuk menggapai kebahagiaan aku tersendiri, sebelum aku bisa berbagi kebahagiaanku dengan orang lain yang akan menjadi keluargaku nantinya. Karena aku yakin, pernikahanku pun juga akan bahagia, jika aku sebagai salah satu peran utamanya juga bahagia. Pernikahan bukan suatu pencapaian hidup untuk bahagia, Ma. Pernikahan hanyalah sebuah fase dalam kehidupan.”
Mama pun terdiam, mengaku kalah. Dan untunglah sampai sekarang frekuensi pertanyaan tersebut sudah mulai berkurang.
Terkadang ada kalanya kita untuk bisa mengingatkan kepada orang-orang di sekitar kita terutama orang terdekat kita untuk lebih mengerti keadaan kita terlebih dahulu dibandingkan melayangkan pertanyaan yang sebenarnya bisa menjadi beban untuk kita.
Syukur kalau mereka mau menerima dan mengerti, namun ada beberapa orang juga yang masih tidak bosan-bosannya untuk bertanya. Let them be, anggap itu cara mereka untuk menunjukkan bahwa mereka peduli. Namun jika kita merasa hal itu sudah cukup, tidak ada salahnya kok untuk menghindar demi ketenangan batin kalian.
- Menyesal Aku Bertanya Kapan Nikah pada Temanku yang Kini Telah Tiada
- Kadang Kita Harus Menunda Sesuatu Bukan karena Keinginan Tapi Kebutuhan
- Sejujurnya Aku Tak Mau Selamanya Menumpang di Rumah Mertuaku
- 14 Tahun Menikah Belum Punya Anak, Suatu Hari Suami Membuat Tangisku Pecah
- Aku Belum Menikah karena Menjadi Tulang Punggung Keluargaku
(vem/nda)