Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Assalamu'alaikum sahabat Vemale, perkenalkan namaku Desi (salah satu sebutan dari nama panjangku) karena panggilanku sebenarnya bukanlah Desi. Aku berasal dari salah satu kota besar di Provinsi Riau. Umurku tahun ini memasuki 26 tahun. Di mana menurutku menginjak umur ini pertanyaan kapan dan desakan menikah dari keluarga mulai aku rasakan. Dari keluargaku sendiri sudah mulai mempertanyakan kapan menikah semenjak umurku 24 tahun dan saat itulah pikiranku mulai kacau dengan pertanyaan “kapan".
Advertisement
Pertama aku memasuki dunia kuliah di tahun 2011, aku menjalani hari–hariku seperti mahasiswa lainnya layaknya mahasiswa baru yang suka centil di depan senior, nongki sana-sini sehabis jam kuliah, belajar kelompok yang akhirnya ngerumpi, tidur bareng di kosan teman dan banyak hal lainnya.
Sampai pada akhirnya semester 7 saat proses skripsi aku mulai pacaran dengan tujuan serius tanpa ada masalah. Satu setengah tahun aku jalani dengan dia yang tak kunjung mendapati pekerjaan aku mulai berpikir tentang masa depanku dengannya. Lalu kuputuskan untuk meninggalkannya. Beberapa hari setelah aku meninggalkannya, seorang pria mapan dengan profesi sebagai dosen berkenalan denganku yang mana perkenalan itu berawal dari Fcebook. Lalu kami janjian bertemu lalu merasa ada kecocokan dalam komunikasi.
Awal bertemu pria itu sudah menunjukkan keseriusannya karena tujuannya dia berkenalan denganku memang untuk mencari calon pendamping. Singkat cerita, sebulan menjalin komunikasi dia pun berubah seolah menjauhi. Perasaanku tidak enak lalu aku desak untuk jujur dan ya ternyata dia lebih memilih wanita lain untuk dipinang. Patah hati pun aku rasakan seketika.
Dua minggu lamanya aku menggalau aku akhirnya bisa ikhlas dengan semuanya. Tak lama setelah itu pria lain pun datang, menawarkan janji manis yang sama tapi akhirnya kandas kembali. Dan lagi, aku patah hati. Kemudian datang lagi pria yang benar–benar ingin serius dan berjanji meminangku di tahun depan tepatnya 2019. Aku sangat yakin dia pria yang sangat baik karena seorang yang baik dalam dilihat dari ibadahnya dan menurutku dia ibadahnya luar biasa. Tapi dalam hal ini mungkin aku lebih banyak salahnya.
Dia mendekatiku dengan niat yang baik tapi jujur aku tidak memiliki rasa sedikit pun kepadanya. Tapi aku paksakan untuk mencoba bahkan kukenalkan dia kepada orangtuaku, dan orangtuaku sangat menyukainya. Enam bulan aku jalani hubungan ini aku merasa tidak ada perubahan sama sekali tentang perasaanku sedikit pun tidak. Setiap dia ajak jalan aku tidak pernah bersemangat, selalu berharap ada kendala agar kami tidak berjumpa. Selalu berbohong setiap dia ngajak keluar agar aku tidak bertemu dengannya. Lama-lama aku berpikir ini nggak sehat, bukan hubungan dengan kebohongan seperti ini yang aku inginkan, kasihan dia dan juga diriku sendiri.
Akhirnya aku lepaskan dia. Orangtuaku mengetahui kalau aku mengakhiri hubungan kami, dan orangtuaku marah besar sangat kecewa. Mereka mengatakan perasaan bisa tumbuh belakangan tapi aku benar tidak bisa melakukan hal itu. Sama sekali tidak ada perasaan dan aku takut ini jadi malapetaka ke depannya.
Setelah itu, pertanyaan kapan menikah selalu menghantuiku, rasanya setiap hari ada saja orang yang menanyakan hal itu. Tanpa mereka tahu betapa sakitnya dipertanyakan tentang hal yang aku inginkan tapi tak bisa kudapatkan saat ini juga. Aku sempat berpikir, Allah mengirimkan pria baik itu tapi aku sia-siakan. Apakah setelah ini aku akan mendapatkan karma akan perbuatanku? Dan dua hari setelah aku mengakhirinya, mantanku waktu SMA yang sekarang bekerja di salah satu perusahaan yang ada di Bekasi menghubungiku lewat DM Instagram. Meminta nomor WA-ku dan mengobrol panjang tentang apa yang dilaluinya setelah kami putus.
Akhir cerita dia mengajakku untuk berkomitmen dan akupun sangat bahagia saat itu. Karena jujur aku juga masih memiliki rasa kepadanya. Dua bulan menjalin komunikasi jarak jauh, dia mulai menjauh dan menghindar dengan alasan orangtuanya menginginkan dia untuk fokus bekerja dulu. Aku meminta kejelasan hubungan ini tapi sampai saat ini sampai detik aku membuat artikel ini dia tak kunjung menghubungiku dan memberi kepastian.
Belum lagi orangtuaku yang masih sedikit sensi tentang statusku yang masih jomblo, sampai-sampai mamaku memberi aku waktu sampai bulan Oktober tahun ini jika tidak ada lelaki yang dikenalkan sebagai calon aku harus siap untuk dijodohkan. Di sinilah, letak bebanku perihal jodoh. Saat aku mulai yakin dan percaya aku ditinggalkan untuk kesekian kalinya. Lalu aku berpikir mengingat kejadian yang sudah kualami sebelumnya, mungkinkah ini karma atas perbuatanku sebelumnya? Jika memang iya aku hanya bisa meminta ampun kepada Allah.
Sepertinya aku salah dalam menyikapi langkah ke depan. Tidak seharusnya aku menggantungkan harapanku kepada seseorang selain Allah, padahal aku tahu itu tapi tetap aku tidak bisa menahan perasaan ini. Patah hati berkali-kali membuatku belajar betapa pentingnya untuk bersabar dan ikhlas, ambil hikmah yang terjadi sebelumnya dan bersikap tegaslah kepada hati sendiri agar tidak mengalami luka yang sama kembali.
Tidak hanya perihal tentang pertanyaan “kapan menikah”, media sosial juga cukup membuat aku semakin terbebani. Melihat teman-teman Facebook dan Instagram yang sudah banyak memposting tunangan, pernikahan, hamil, dan melahirkan aku merasa sangat tertekan. Teman satu kantor yang juga sudah banyak menikah dan hamil jujur rasa iri dalam diriku muncul seketika.
Aku sangat ingin seperti mereka, sangat ingin memiliki anak yang lucu dan membahagiakan kedua orangtuaku dengan sebuah pernikahan. Aku benar-benar merasa sangat tidak berdaya, ketika aku tidak bisa mewujudkan apa yang benar aku inginkan dan orangtuaku inginkan.
Terhitung dari sekarang, hingga Oktober nanti aku tidak tahu harus bagaimana. Aku benar-benar merasa tertekan dan stres. Tapi tak ada yang bisa kulakukan selain berserah diri dan berharap kepada Allah agar diberi kemudahan dalam jodohku. Salat malam setiap hari pun sudah kulakukan, berzikir untuk menenangkan hati dalam menghadapi hari-hariku. Aku tahu, Allah sudah menyiapkan segalanya untuk umat-Nya. Allah lebih tahu apa yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan. Walau itu tak sesuai hati, belajarlah ikhlas. Janji Allah itu pasti bagi orang yang mau memperbaiki diri.
Dan untuk yang pernah aku sakiti, aku minta maaf sebesarnya. Dan yang tak sengaja menyakitiku, aku maafkan semoga Allah selalu melindungimu dalam setiap langkah, rezeki makin bertambah dan dipertemukan dengan jodoh yang lebih baik. Karena bagiku marah dan dendam itu adalah tindakan bodoh dan merugikan. Memaafkan memang membuatku jauh lebih tenang, hanya sabar dan ikhlas yang belum bisa aku kuasai.
(vem/nda)