Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Ini adalah kisah dilema paling drama dalam hidupku. Semua bermula dari masa kuliah. Aku adalah mahasiswi di salah satu kampus negeri bergengsi di Jakarta. Masuk sebagai mahasiswa baru jurusan Komunikasi dan melewati berbagai ospek merupakan hal yang biasa. Aku mengganggap diriku biasa-biasa saja selama kuliah. Tidak ada sesuatu yang begitu istimewa di dua tahun pertamaku.
Advertisement
Memasuki tahun ketiga, perkuliahan tentu makin berat. Penjurusan minat mulai berlaku. Tugas dan tes pun tiada berlalu. Rasa jenuh mulai meringsek masuk. Lalu dia pun muncul. Senior yang selama ini ternyata selalu memperhatikanku. Pantas saja setiap hari selalu ada dia. Padahal dia angkatan cukup tua yang membuatnya harus sudah bekerja. Namanya Rio. Dia mengajakku berkenalan. Memperkenalkan latar belakangnya yang sudah cukup aku tahu berkat gosip-gosip mahasiswa lain.
Intensitas kemunculannya mulai meningkat. Rio lebih sering mengajakku ngobrol duluan ketimbang aku. Rio juga sering menawarkan tumpangan yang semuanya kutolak secara halus. Sampai pada momen Rio akan diwisuda. Sebagai junior yang baik, tentunya aku menyempatkan untuk hadir memberikan selamat. Harus kuakui, pesonanya makin terlihat di balik jubah dan toga wisuda itu. Menawarkan tangan, memberikan selamat lalu beranjak, demikian awalnya susunan rencanaku.
Lalu semua berubah ketika dia yang memberikan bunga lebih dulu padaku. Bunga itu kembali ke tangannya dan aku benar-benar beranjak. Aku belum siap. Belum siap menjalin hubungan dengan pria. Sampai sekarang, aku masih membenci pria. Semua karena kenangan masa lalu tentang pria yang harusnya kusebut ayah. Dia pergi meninggalkan aku dan ibu. Selamanya aku tidak akan melupakan itu.
Tapi aku tidak mengatakan alasan ini hingga satu tahun kemudian, kami bertemu lagi. Dia senior editor di kantorku bekerja. Kenangan penolakan itu kembali. Dia mulai bertanya kapa kira-kira aku akan siap? Aku tidak menyangka dia masih mengharapkan itu. Tentu saja aku jawab seadanya. Jawaban itu ternyata cukup untuk membungkamnya sementara. Namun Rio tidak menyerah. Dengan memanfaatkan posisi kami yang berada dalam satu divisi, Rio terus melakukan pendekatan. Kalau ditanya dengan jujur, akupun menyukainya. Tapi rasa suka saja tidaklah cukup.
Empat tahun sudah masa kerjaku di kantor ini. Selama itu pula hubunganku dan Rio tidak banyak berkembang. Kapan aku akan siap menerimanya dalam hidupku? Kapan aku akan membuka hati untuk seseorang? Hari itu aku akan resign. Semua orang berkumpul untuk mengucapkan perpisahan. Malam itu, aku membiarkan diriku diantar pulang olehnya. Aku sudah membayangkan suasana hening menemani kami sepanjang perjalanan. Namun ternyata tidak. Dia terus mengajakku ngobrol. Membahas segala macam hal, hingga kami berdua tertawa. Kuakui dia sangat berbakat dalam ini.
Kami berdua sudah tiba di depan rumah. Rio menahan tanganku. “Kapan aku bisa jadi bagian dari dirimu?” Pertanyaan itu menusukku. Total 6 tahun sudah hubungan kami seperti ini dan selama 6 tahun juga dia masih bertahan di sampingku. Aku terdiam. Hari itu aku belum siap dengan jawaban apapun. Aku memang mencintainya. Tapi sampai kapan aku harus lari dari kenyataan bahwa Rio adalah satu-satunya pria yang rela menunggu untukku? Lalu kami berjanji untuk bertemu di salah satu kafe di bilangan Jakarta Barat. Di situ aku akan memberinya jawaban.
Hari yang dinanti pun tiba. Rio dan aku saling berhadapan. Sesuatu dia keluarkan dari sakunya. Sebuah kotak cincin. Dia berkata mungkin selama ini aku belum menerimanya karena dia tidak menunjukkan keseriusan yang lebih. Jadi untuk lebih memantapkan jawabanku, hari itu dia melamarku. Iya betul melamar. Sebuah prosesi seorang pria meminta seorang wanita menjadi pasangan seumur hidupnya yang ditujukan untukku, wanita yang selama 6 tahun membiarkannya terus bertanya kapan.
Tentunya orang mengharapkan ini berakhir bahagia, namun bukan itu jawaban yang aku persiapkan. Tiga bulan lagi aku akan pergi ke Korea Selatan. Ada tawaran pekerjaan yang membuatku harus pindah ke sana. Tawaran pekerjaan itu merupakan impianku sejak masa kuliah. Kusampaikan itu padanya dan LDR sementara adalah jawaban yang diberikannya. Tapi bukan itu yang aku mau.
Aku ingin mengakhiri pertanyaan kapan itu. Berakhir di hari ini. Hari di mana aku mengucapkan perpisahan yang sesungguhnya. Bukan maksudku untuk menyakiti hatinya, namun cita-citaku masih tinggi. Masih banyak yang ingin kuraih. Lebih baik kuakhiri ini di sini, detik ini, bersamamu. Carilah orang lain yang mampu membuatmu tidak pernah bertanya kapan lagi. Carilah orang yang mampu membuatmu tidak menunggu lagi.
Sudah setahun lebih aku meninggalkannya dengan jawaban yang menyakitkan hati itu. Hari ini dia akan menikah dengan pujaan hatinya. Teman satu kantor. Aku turut bahagia untuknya. Dia mengabariku mengenai rencana pernikahannya. Tidak butuh waktu lama, untuk mereka mantap menjajaki dunia pernikahan. Tidak ada lagi pertanyaan kapan yang harus dia lontarkan.
Melepaskan seseorang memang tidak mudah, tapi kalau kita tidak bisa memberikan kepastian, jangan kau genggam dia. Jangan kita perangkap dia dalam pertanyaan kapan yang tidak berkesudahan. Biarkan dia meraih kebahagian yang tidak dapat kita berikan.
- Meski Maut Memisahkan Kekasih Hati, Cinta Sejati Akan Selamanya Abadi
- Berkarier Tak Membuatku Lupa Akan Tanggung Jawab Menjaga Buah Hatiku
- Ayah Mengembuskan Napas Terakhirnya di Pelukanku
- Putriku Bukan Anak Down Syndrome, Potensinya Lebih Hebat dari Kelemahannya
- Mengidap Borderline Personality Disorder, Perasaan Hampa Ini Menyiksaku