Sore itu, waktuku kecil, aku makan suapan nasi sayur spp buatan ibu dengan lahapnya. “Ngeng... Ngeng... Ngeng. Pesawatnya datang,” ucap ibu setiap kali menyuapi aku. selalu dengan semangat, aku membuka mulutku lebar-lebar untuk mengizinkan pesawat masuk. Ya, waktu itu aku masih kecil. Jadi, aku menyebut makanan suapan ibu dengan pesawat. Satu lahapan enyah, satu lahapan enyah. Si gendut. Ya, itulah sebutanku karena tubuhku yang sangat gendut.
Ibuku tak pernah berhenti memberiku makan dan minum karena ia tak mau aku kelaparan dan kehausan. Akibatnya, aku menjadi gendut dan ngompolan. Haha, ya masa kecilku sering sekali aku ngompol. Ibuku yang membersihkannya walaupuun baunya pesing. Aku hanya tersenyum malu kepada ibuku atas tindakanku itu.
“Dasar ngompolan!” goda ibu kepadaku. Ibu selalu setia merawatku hingga aku tumbuh menjadi perempuan yang tangguh.
Empat belas tahun kemudian. Ibu dan bapakku mengantarku ke halte bus Semampir di kotaku untuk menunggu bus jurusan Surabaya datang. Melepaskanku. Mereka melepasku sendirian merantau ke kota orang lain. Mereka mengajari aku arti keberanian.
“Anak perempuan ibu dan bapak tak akan pernah takut dengan kehidupan kota Surabaya. Si gendut ibu dan bapak menjadi perempuan yang tangguh yang siap untuk tempur. Oke!” ucap bapak kepadaku sebelum aku benar-benar pergi dari mereka untuk memenuhi tugas dan tanggung jawabku menjadi seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya yang terkenal dengan kota keras.
Satu hari sendiri di kota orang lain yang bahkan satupun aku tak mengenal mereka semua, sungguh terasa sangat menyesakkan. Menangis aku sejadi-jadinya. Berharap ibu dan bapak ada di sini. Aku bingung bagaimana caranya aku hidup sendirian di kamar kos yang sepertinya lebih besar dan lebih nyaman kamarku sendiri di rumah.
Terdengar bunyi ponselku berdering. Kuangkat ponselku itu dan kulihat ternyata ibuku menelepon. Kuhayati dan kuresapi suara lembut ibu. Dengan tangis yang sejadi-jadinya, aku mengadu kepada ibuku. Ibu kaget mendengar suara tangisku yang begitu menggelegar. Lalu, ibu memberiku nasihat agar aku bisa hidup mandiri dan nyaman di kota rantauan.
Hanya perlu membiasakan saja. Ibuku paham, karena menjaga diri sendiri memanglah sulit. Ibu dengan manisnya selalu mengajari aku dan memberiku nasihat secara perlahan demi perlahan agar aku bisa mencerna kata-kata ibu dengan baik.
Aku menjalani hari-hariku dengan berat hati. Tak ada ibu yang selalu merawatku, tak ada bapak yang selalu menguatkanku, tak ada kakak yang selalu membantuku, dan tak ada adik yang selalu ku ganggu. Kini, aku harus merawat diriku sendiri dan menguatkan diriku sendiri.
Advertisement
Aku harus masak sendiri, entah itu enak atau tidak. Aku harus makan sendiri tanpa disuapi. Aku harus membersihkan kamar sendiri tanpa ada yang membantuku, kecuali temanku mau membantu. Aku harus mencuci baju dan priring sendiri. Aku harus selalu menjaga kebersihan sendiri yang tentunya sangat berbeda kebersihan di kos dengan di rumah.
Aku harus mengerjakan tugas-tugas kuliah sendiri tanpa ada yang mengajari dan membantu, sehingga membuatku selalu begadang bahkan tidak tidur. Aku harus berangkat kuliah sendiri, kecuali ada tebengan dari teman atau ada teman yang menemani jalan kaki. Pokoknya semua kujalani sendiri tanpa ada ibu, bapak, kakak, dan adik di kota ini. Namun, dari situ aku belajar me-manage segalanya. Me-manage uang, me-manage waktu, me-manage tenaga, dan segalanya. Memang sulit yang aku rasakan, namun apapun keadaannya aku harus bisa menjalani hidup yang mandiri.
Alhasil, seiring berjalannya waktu, aku bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan kos, tetangga sekitar kos, kampus, teman-teman kos, teman-teman kampus, bahkan kehidupan kota rantau ini. Aku meniru cara ibuku merawatku. Aku meniru cara bapakku menguatkanku. Aku meniru cara kakakku yang selalu membantuku. Aku meniru cara adikku yang sabar aku ganggu terus. Lalu, semua aku aplikasikan cara mereka pada diriku sendiri, bahkan orang di sekitarku.
Aku mulai terbiasa dengan kehidupan yang mandiri. Merawat diriku sendiri dan melakukan semuanya sendiri. Aku berusaha me-manage semuanya, seperti ibu yang telaten dalam me-manage perannya sebagai seorang ibu yang merawat anak-anaknya. Aku selalu berusaha bangkit saat aku pada posisi terpuruk, seperti cara bapak yang selalu semangat menjalani perannya sebagai kepala keluarga walau dalam keadaan tak karuan.
Kurus. Ya. Satu bulan berlalu di kota rantau, tubuh mungilku ini tak segendut ibu merawatku. Tubuhku begitu kurus meski aku sudah berusaha merawat diriku sendiri. Maklum, semua kulakukan sendiri, jadi semua tenaga dan pikiranku terkuras dalam kemandirianku. Aku senang, aku bisa menjalani hari-hariku di kos, kampus, dan kota rantau ini.
Aku sadar, sebagai seorang perempuan, tak sedikit yang perlu dirawat dan dijaga. Sebenarnya tidak sulit jika kita tidak mempersulitnya. Bergantung bagaimana menanggapi masalah yang datang dalam hidup.
Semenjak aku merantau di kota ini, aku semakin hari semakin bijak dalam menjalani hidup. Meski tubuhku semakin kurus, aku memaknainya sebagai suatu keberhasilan karena aku telah berusaha dan berjuang dalam kemandirianku. Awal bulan kedua aku pulang.
“Eleh eleh! Si gendut menjelma si kurus nih ceritanya?”goda bapakku yang selalu mengatai aku si gendut sejak kecil. Aku hanya tersenyum malu sambil terharu menggapai mereka setelah satu bulan lamanya tak bersua.
“Masak, anak ibu cengeng?” goda ibuku saat melihatku meneteskan air mata haru.
“Ah, ibu.. bapak.. kalian luar biasa!” ucapku kepada orang tuaku yang mengajariku banyak hal tentang hidup.
“Begitulah hidup, Nak! Kamu harus mampu menyelesaikan segala masalah yang datang dalam hidupmu. Tidak selamanya kamu hidup bersama ibu dan bapak. Kamu harus mampu hidup mandiri. Ketika nanti ibu dan bapak tidak bisa merawatmu bagaimana? Tentu kamu yang bakalan merawat kami. Nah, inilah waktu yang tepat untukmu belajar, Nak. Ibu tidak melarangmu mengeluh, karena ibu memaklumimu, Nak. Toh, saat ini sudah terbiasa hidup mandiri, kan si gendutnya ibu dan bapak?” ucap ibuku yang berusaha memberiku pengertian.
Memang pada awal menjalani hari-hariku di Surabaya sangat buruk. Mengurus kos, kuliah, menyesuaikan diri dengan kehidupan kos, kampus, tetangga sekitar kos, dan masih banyak lagi. Namun, setelah berjalan berhari-hari semua seakan menjadi nikmat bisa melakukannya sendiri.
Aku harus belajar merawat diriku sendiri sebelum nantinya aku merawat suamiku, anak-anakku, mertuaku, bahkan orang tuaku. Rasa nyaman memang dibentuk dari kebiasaan. Kebiasaan yang menjadi positif untuk dijalani. Ibu dan bapakku selalu mengajariku hidup mandiri supaya menjadi perempuan yang tangguh.
Aku seorang perempuan, ibuku, kakakku, dan adikku juga perempuan, jadi tak ada sekat untuk saling bertukar cerita dan pendapat perihal hidup. Dengan hal itu, aku semakin semangat dalam menjalani hidup meski hidup di kos dengan teman yang sama-sama belajar mandiri tanpa ibu, bapak, kakak, dan adik.