Menjaga kedua orangtua adalah kewajiban seorang anak, tapi bagaimana kalau seorang anak malah mengabaikan kewajibannya? Bukan karena ia durhaka, tapi karena ia merasa tersakiti.
Saat umurku menginjak 11tahun, ayahku menikah lagi dengan wanita lain dan meninggalkan ibuku dalam keadaan hamil. Bukan itu saja, ayah juga meninggalkan kedua adikku yang masih kecil.
Saat aku kecil, aku sangat, sangat, sangat dekat dengan ayah. Ayah sering menceritakan kisahnya pada saat sekolah dulu padaku, ia berkata bahwa di sekolah ayah tidak terlalu pintar. Jadi pada saat kelas IV SD ayah masih belum bisa membaca. Itu membuatku terkejut dan sering mengejeknya. Aku saja pada saat duduk di kelas I SD sudah bisa membaca. Ayah juga sering membawakan nasi kotak yang ia dapat dari tempatnya bekerja, dan membawanya pulang ke rumah agar ia bisa makan bersamaku. Lalu itu semua berakhir pada saat aku menginjak umur sebelas tahun.
Ayah pergi tanpa kabar dan kami hanya menerima kabar bahwa ia sudah menikah lagi dari teman dekat ayah, sontak itu membuat aku sangat terpukul. Yang aku rasakan saat itu hanyalah kesal, marah, dan pastinya kecewa. Aku benar–benar tersakiti dan menganggap ayah sangat jahat. Satu tahun ayah tidak pulang, satu tahun tidak ada kabar. Satu tahun pula aku berusaha untuk tidak peduli. Entah ayah pulang atau tidak, aku tidak ingin peduli. Aku sangat kecewa, dan sakit hati. Melihat ibu yang harus berjuang melahirkan sendirian tanpa ayah, ibu yang harus pinjam uang ke sana–sini hanya untuk anak–anaknya makan dan sekolah. Tapi aku beruntung, setidaknya ada keluarga yang memberi bantuan, meskipun tak seberapa.
Satu tahun berlalu, waktu terus berjalan hingga sudah dua tahun ayah tak kunjung pulang. Selama dua tahun aku membantu ibu mencari uang untuk aku dan adik-adikku makan dan sekolah. Aku berjualan sambil bersekolah, membantu ibu karena tak ingin ia lelah. Semua aku lakukan karena aku punya kewajiban untuk itu. Selama dua tahun pula aku menyimpan rasa sakit dan kecewa terhadap ayah. Yang sampai saat ini pun masih aku rasakan. Aku tak benci, tapi aku sangat kecewa. Kenapa? Kenapa ayah begitu tega pergi tanpa ada kabar dan meninggalkan kami selama ini? Ayah yang sangat aku sayangi, meninggalkan luka yang cukup dalam pada putri dan putranya. Terutama pada istrinya, ibuku.
Saat itu hujan reda, tiba–tiba ada yang mengetuk pintu, saat ibuku membuka pintu. Tak terduga dan tak pernah kusangka. Ayah pulang!
Ayah pulang? Apa ini aku bermimpi? Kurasa tidak. Ayah benar–benar pulang ke rumah. Ayah dan ibu mungkin sedikit bersitegang waktu itu, tapi ibu sangatlah mulia. Ia masih mau menerima kepulangan ayah, meskipun dua tahun ayah meninggalkannya.
Hingga umurku kini sudah 20 tahun, dan sekarang aku sudah bekerja, bahkan ingin melanjutkan studi kuliah. Ayah tetap tinggal bersama kami, namun terkadang pergi mengunjungi istri mudanya. Ibu sudah merelakan apa yang ayah lakukan, ibu dan ayah mungkin baik-baik saja. Tapi aku? Tidak.
Semenjak kepulangan ayah pada saat umurku 13 tahun lalu, tujuh tahun aku tak pernah bertutur sapa dengan ayah. Bicara pun hanya seperlunya saja, saat dia di rumah, aku hanya berdiam diri di dalam kamar. Bahkan ayah kini membuka perusahaan sendiri, tapi aku memutuskan untuk bekerja di perusahaan lain. Aku tidak membenci, tapi aku sangat tersakiti.
Ayah pun sepertinya tak ingin banyak bicara padaku, entahlah. Entah dia merasa bersalah atau memang ia tak mau banyak bicara pada putri kecilnya ini. Dua tahun adalah waktu yang sangat lama, sakit yang kurasa sangat dalam. Aku sangat mengingat saat-saat di mana aku harus bersedih, bahkan menangis saat melihat adik-adikku merengek meminta makanan karena kelaparan. Betapa terpukul hatiku saat melihat ibu yang berjalan mengesot ke kamar mandi karena jatuh sakit. Lalu di mana ayah pada saat itu? Pada masa susah, aku menjadi saksi bahwa ayah adalah penyebab ini semua. Seandainya ayah tidak pergi meninggalkan kami seperti ini, aku pasti tidak harus menyaksikan itu semua. Aku mungkin akan selalu mengingat itu sepanjang hidupku.
Ibu sering kali bilang, bahwa harusnya aku tidak boleh bersikap seperti itu pada ayah. Namun aku tidak bisa, saat ingin memulai percakapan biasa dengan ayah. Aku melihat wajahnya, namun ingatan itu kembali, dan membuatku menjadi malas melakukannya.
Advertisement
Hingga mungkin Tuhan menegurku, Tuhan tak ingin aku menjadi anak yang durhaka. Lalu pada saat itu, ayah jatuh sakit dan koma. Aku saat itu menangis tidak henti-hentinya. Aku baru sadar, bahwa aku sangat menyayangi ayah. Ayah terkena serangan jantung, dan dirawat di rumah sakit. Ia pun terkena penyakit batu ginjal, hingga ayah juga harus menjalani operasi. Di saat seperti ini, barulah aku sadari tidak baik mengabaikan orangtua seperti ini, karena bagaimanapun ayah adalah pahlawanku, ia bersusah payah mencari nafkah agar aku dapat bersekolah hingga sekarang. Ia kerahkan semua tenaganya hingga lelah dan akhirnya jatuh sakit hanya untuk keluarganya. Di saat seperti ini, barulah aku sadar bahwa aku tak mau kehilangan ayah dalam hidupku.
Satu bulan aku menjaga ayah, setiap hari aku bolak balik rumah sakit hanya demi ayah. Aku pun juga harus resign dari perusahaan tempat aku bekerja, dan menjaga perusahaan ayah. Hingga ayah sembuh total dalam waktu cukup lama, selama itu aku meluangkan waktu untuk ayah. Penebus waktu yang selama ini hanya terbuang–buang untuk rasa kecewaku. Seiring berjalannya waktu, hubungan aku dan ayah cukup baik. Ia sering sekali mengajakku berbicara, dan sering tertawa bersama ku. Kami sangat akrab sekarang, apa saja kami bicarakan. Entah itu tentang pekerjaan, ataupun lain–lain. Berbincang seperti saat aku masih kecil dulu.
Tak pernah terpikirkan olehku untuk menjaga ayah, apalagi berpikir dapat berbincang ria dengannya lagi. Aku putuskan untuk selalu menjaga ayah dan juga hidupnya.
Dulu aku memutuskan untuk tidak mempedulikannya lagi, bahkan tidak mau tahu apapun tentangnya. Aku sudah tertutup oleh rasa kecewa dan sakit hati. Selama tujuh tahun aku habiskan waktu hanya memikirkan diriku sendiri, tanpa aku sadari bahwa aku sudah melupakan kewajibanku sebagai seorang anak. Kini aku berjanji selama sisa hidupku akan aku habiskan untuk menjaga ayah. Di usianya yang tidak muda lagi, menjaganya merupakan suatu kewajiban yang harus aku lakukan. Menjaga ayah, menjaga tanggung jawabnya, menjaga kehormatanya, menjaga hidupnya, dan juga menjaga kewajibannya. Aku tebus sikap acuhku selama tujuh tahun dengan menjaganya selama sisa umurku.
Pesan dari kisahku kali ini. Tak apa jika orangtua kita berbuat kesalahan. Bahkan kesalahan besar sekalipun. Namun kita harus tetap ingat, bahwa bagaimanapun, mereka adalah orangtua kita. Sampai kemanapun, mereka tetap orangtua kita. Hingga berapa lama pun, mereka tetap orangtua kita. Jangan sampai kita menyesal nantinya, karena telah mengabaikan mereka.
Semoga kisahku kali ini dapat bermanfaat untuk semua orang. Terima kasih.
- Meski Maut Memisahkan Kekasih Hati, Cinta Sejati Akan Selamanya Abadi
- Ayah Mengembuskan Napas Terakhirnya di Pelukanku
- Putriku Bukan Anak Down Syndrome, Potensinya Lebih Hebat dari Kelemahannya
- Curahan Hati Penyanyi Berhijab Bertubuh Gemuk: Bangun dari Mimpi Buruk
- Menikahi Pria yang Punya 8 Anak, Aku Kehilangan Senyum Ayahku
(vem/nda)