Kadang dalam hidup ini, perempuan punya peran istimewa sebagai seorang penjaga. Meski kadang ujian hidup begitu berat tapi seorang perempuan bisa begitu tangguh menjalaninya. Seperti kisah sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #JagainKamu ini. Ada cerita yang begitu menyentuh hati di dalamnya. Lomba menulis kali ini dipersembahkan oleh Softex Daun Sirih, yang selalu #JagainKamu para perempuan Indonesia.
***
Bagaimana aku bisa menjadi ibu, kalau tak ada ibu di sampingku? Pertanyaan itu terus saja bergema di kepalaku. Bagaimana tidak, aku harus menerima kenyataan bahwa ibuku berpulang, saat aku teramat membutuhkannya; menjelang proses persalinan putri pertamaku.
Aku divonis PCOS (Polycystic Ovary Syndrome) di usia 22 tahun. Aku sadar harus berusaha lebih keras dari orang lain, melalui terapi dan pengobatan medis, agar bisa hamil dan memiliki anak dari rahimku sendiri. Aku tahu ibuku ingin menimang cucu. Namun, tak pernah tercetus dari beliau, kalimat menyudutkan atau memaksaku segera punya anak. Ibuku tetap bersabar dan berdoa, mengiringi ikhtiarku untuk bisa memiliki anak. Saat aku 30 tahun, anugerah itu datang. Akhirnya aku dipercaya Tuhan untuk bisa hamil. Berita itu menjadi kado kebahagiaan untuk semua orang, termasuk aku dan ibuku.
Advertisement
Setiap hari, beliau meneleponku. Memeriksa keadaanku. Menanyakan apa tidurku nyenyak, cukup makan makanan bergizi, tak absen cek kandungan, dan memastikan aku sehat dan bahagia. Bisa dibilang, beliaulah yang paling siaga, melebihi suami dan ayahku.
Ketika kandunganku mencapai usia tujuh bulan, beliau yang paling bersemangat menyiapkan tingkepan, upacara adat Jawa untuk menyambut kehadiran bayi. Jauh-jauh datang dari Surabaya, ibu turun tangan mempersiapkan semua detail selametan. Bahkan demi rujak tujuh bulanan, dan harus mencari bengkuang dan jeruk bali yang sulit sekali ditemukan, ibuku rela sampai blusukan ke tiga pasar tradisional sekaligus. Kelelahan itu tak tergambar sama sekali. Cuma ada rona kebahagiaan demi menyambut cucu pertama yang lama ditunggu.
Namun, itu tak berlangsung lama. Dua minggu setelah tingkepan itu, ibu berpulang. Tidak ada sakit, tiada wasiat, tanpa pertanda. Sebuah kematian yang tenang, di tengah tidur malamnya yang biasa. Namun sebaliknya bagiku, itu jadi pukulan telak yang menjatuhkanku ke jurang gelap. Tak ada cahaya. Tak ada ujung dasarnya.
Bagaimana aku bisa menjadi ibu, kalau tak ada ibu di sampingku? Aku tak tahu apa-apa tentang menjadi ibu. Siapa yang mengajariku? Siapa yang menemaniku saat melahirkan? Segala buku panduan, artikel parenting, dan tutorial di Youtube tak bisa dibandingkan dengan kehadiran ibu. Duka menggerusku cepat, hingga di trimester ketiga itu kesehatanku menurun drastis. Aku terpaksa bedrest panjang dan persalinanku maju nyaris sebulan dari HPL.
Di tengah kontraksi hebat dan rasa nyeri tak tertahankan, aku harus menahan perih. Tidak ada ibu. Walau suami dan ayahku selalu mendampingi, rasanya tetap berbeda. Aku merasa sendiri. Aku nyaris menyerah. Namun, aku seperti mendapat energi entah dari mana.
Proses persalinan normal itu berjalan lancar dan relatif cepat, seakan jalanku telah dimudahkan. Seakan ibu ada di ruang bersalin itu, menemaniku, memberiku penguatan, menyerahkan tongkat estafet ibu itu ke tanganku. Tangis putriku menggema di ruang bersalin. Nyaring dan kuat. Seperti hendak berkata, mama tidak sendiri, ada aku.
Kuterima bayi itu pelukanku dengan tangan gemetar. Pertanyaan itu tetap ada. Bagaimana aku bisa menjadi ibu, kalau tak ada ibu di sampingku? Namun, begitu kulihat wajah putriku, kutemukan gurat wajah ibu. Bibirnya mirip sekali bibir ibu. Segala ketakutan dan ketidakpastian perlahan memudar. Digantikan rasa ingin menjaga, melindungi, dan menyayangi putri ini, layaknya seorang ibu.
Aku tahu, walau ibu sudah tidak ada, tetapi beliau tetap hidup. Hidup di dalam diriku, dengan segala yang telah beliau ajarkan kepadaku. Tetap ada di setiap kenangannya bersamaku. Dan kini, aku tidak sendiri. Aku punya putriku. Aku harus kuat demi dia, demi kenangan tentang ibuku, dan demi peran baruku sebagai ibu; yang menjaga keluarganya, sekuat-kuatnya, sebaik-baiknya, sebagaimana yang ditunjukkan ibuku sepanjang usianya.
- Sakit Parah, Pria Tua Ini Harus Rela Menikahkan Putrinya di Rumah Sakit
- Demi Susu Buah Hati, Tak Apa Aku Hanya Minum Air Putih Setiap Hari
- Telanjur Cinta, Kunikahi Duda Meski Awalnya Ditentang Orangtua
- Setelah Rahimku Diangkat, Salahkah Bila Kuizinkan Suami Berpoligami?
- Cara Terbaik Mengobati Kehilangan adalah Memaafkan