Kadang dalam hidup ini, perempuan punya peran istimewa sebagai seorang penjaga. Meski kadang ujian hidup begitu berat tapi seorang perempuan bisa begitu tangguh menjalaninya. Seperti kisah sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #JagainKamu ini. Ada cerita yang begitu menyentuh hati di dalamnya. Lomba menulis kali ini dipersembahkan oleh Softex Daun Sirih, yang selalu #JagainKamu para perempuan Indonesia.
***
Konon, anak dengan latar belakang keluarga yang broken home akan menjadi anak yang nakal, anak yang rusak, anak yang tidak memiliki masa depan. Aku sangat menyayangi anak-anakku, apapun akan kulakukan demi memberikan yang terbaik untuknya. Maka jangan dikira aku tidak memikirkan mereka saat keputusan bercerai itu kuambil. Jangan dikira aku tidak ketakutan ketika menimbang keputusan itu. Yang ada di pikiranku hanya anak-anakku. Namun aku pun harus mengambil sikap jika pernikahan yang kujalani tidak memberi maslahat.
Hati wanita mana yang tidak terluka jika suami secara terang-terangan memilih wanita lain dan meninggalkan kita sebagai istri sahnya? Bahkan meninggalkan anak-anaknya dan menganggap anak selingkuhannya seperti anaknya sendiri. Aku hanya wanita biasa yang tidak akan kuat menerima perlakuan semacam itu. Mereka tampak dengan sengaja memamerkan kebahagiaannya selayaknya sebuah keluarga bahagia dengan seorang anak kecil.
Advertisement
Mungkin semua orang akan menganggapnya sebagai pasangan sah dengan anak kecil itu sebagai anak kandung suamiku. Tidak ada yang tahu kalau sebenarnya anak dan istri sahnya sedang terlunta-lunta karena sudah lama tidak dia nafkahi. Lalu datanglah beberapa orang yang konon ingin membantuku. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar ingin membantuku atau sebaliknya.
“Mbak, buat apa sih laki-laki macam itu dipertahankan?” katanya. “Ceraikan dan ikhlaskan saja Mbak, biar Mbak lega,” lanjutnya.
Kata-katanya itu terdengar seperti sedang membelaku, tapi juga menimbulkan tanda tanya. Karena mereka adalah teman-teman suamiku. Jadi aku terus bertanya-tanya, mereka ke sini untuk memberikan dukungan untukku atau justru sebaliknya, membantu suamiku untuk bercerai dariku? Agar dia bisa segera memperistri selingkuhannya itu.
“Kalau bercerai, Mbak akan merasa lega. Nggak akan merasa sedang diselingkuhi. Mbak juga bisa cepat move on untuk mencari pengganti dia. Biar hidup Mbak bahagia, nggak kayak gini Mbak,” katanya lagi.
Aku saat itu sedang tidak berdaya. Untuk berjalan pun aku butuh orang lain untuk menjadi penopang agar aku tidak terjatuh. Aku benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan orang lain ketika itu. Jadi aku mengikuti sarannya, dan menjalani semuanya dengan hati hampa. Tentu saja, aku tidak akan bisa melalui semua itu tanpa bantuan orang lain. Banyak yang membantu proses perceraianku.
Hati wanita mana yang tidak terluka, jika setelah perceraian berharap semuanya selesai, malah mantan suamiku semakin zalim kepadaku? Sebenarnya aku ingin sekali menagih janji mereka yang mengatakan bahwa setelah perceraian aku akan merasa lebih baik. Karena justru setelahnya aku merasa semakin tak tentu arah.
Terlebih mantan suamiku bersikap seolah dia yang terzalimi karena di mata umum tampak seperti aku yang telah menceraikannya. Sehingga dia mengumbar isu kepada khalayak seolah perempuan selingkuhannya adalah pahlawan baginya yang telah menolongnya dari keterpurukan karena diceraikan olehku. Ya Tuhan, padahal dialah penyebab aku menceraikannya! Dan hey, bukankah teman dia sendiri yang menyarankan aku menceraikannya? Maka dari itu, aku ingin sekali mencari mereka, meminta pertanggungjawaban atas apa yang mereka sarankan. Tapi aku tidak pernah menemui mereka lagi. Dari situlah aku mulai berpikir, apakah aku sedang dipermainkan?
Aku berusaha bangkit ketika itu. Di tengah cibiran dan cacian dari orang-orang yang berada di pihak mereka. Aku juga bingung dengan orang yang membela mereka mati-matian, padahal mereka lihat sendiri, aku ini seorang perempuan yang sedang berjuang sendirian. Kok tega sekali mencaci maki orang yang sedang tidak berdaya sepertiku dan menyudutkan semua kesalahan kepadaku? Sementara yang sedang berzina mereka bela. Mata mereka tertutup apa? Hati mereka terbuat dari apa? Nggak punya hati banget menyakiti hati seorang ibu yang sudah tidak berdaya di tengah tanggungjawabnya mengasuh anak-anak yang ditelantarkan ayahnya sendiri.
Pernah aku ingin menunjukkan bahwa aku bisa sukses tanpanya. Aku sampai tidak mengurusi anak-anakku dengan baik karena aku harus banting tulang mencari nafkah. Semua itu kulakukan agar terlihat seperti aku telah bangkit. Namun ternyata terlalu memaksakan diri membuatku malah semakin rapuh.
Aku tidak bisa bertahan dalam satu pekerjaan. Aku pasti tidak akan maksimal mengerjakannya, sehingga aku harus mengerjakan pekerjaan lainnya. Dan itu hanya membuatku semakin depresi. Setiap kali aku mengalami kecemasan dan perubahan mood yang tiba-tiba, aku menjadi orang yang berbeda. Aku jadi sering marah-marah dan mudah menangis. Anak-anakku sampai menegurku, “Bu, jangan marah-marah lagi ya, nanti kita sedih,” katanya. Ya Tuhan, maafkan Ibu ya Nak, Ibu sedang tidak baik kondisinya.
Akhirnya, demi menjaga anak-anakku, aku menyerah untuk menjadi lebih baik dari mereka. Aku tidak mau lagi menunjukkan kesuksesanku di depan mantan suamiku. Biar saja dia merasa menang. Yang penting aku memberikan yang tebaik untuk anak-anakku. Lalu aku meninggalkan hiruk pikuk kehidupan kota besar yang selama ini kusinggahi. Meninggalkan semua mimpi dan cita-cita yang pernah kurangkai disana. Aku pergi ke rumah kakakku di sebuah kampung yang sangat jauh dari kehidupan kota.
Setelah itu, aku seperti merasa menemukan diriku yang baru. Aku menjadi lebih fokus dengan anak-anakku. Setidaknya aku menyadari sesuatu, dia (mantan suamiku) tidak mencintaiku. Dia juga tidak begitu peduli dengan anak-anaknya. Jadi aku tidak perlu menjadi rusak hanya gara-gara orang yang dia sendiri tidak pernah mempedulikanku samasekali.
Mungkin benar kata orang-orang yang telah membantu perceraianku tadi, untuk apa mempertahankan orang seperti itu jika tanpanya aku akan jauh lebih bahagia. Jika tanpanya anak-anakku akan hidup jauh lebih baik dengan limpahan kasih sayang dariku, dan yang lebih penting adalah jauh dari trauma akibat pernikahan yang rusak.
Kini, inilah aku apa adanya. Tak perlu lah aku membuang energi untuk membuktikan apapun di depan khalayak. Biar aku kini hidup sederhana, hidup di desa dan bekerja di sawah, tak pernah makan mewah di hotel bintang lima seperti mantan suamiku dan pasangan barunya, tapi aku cukup lega bisa bersama dengan mereka, malaikat-malaikat kecilku.
Apakah aku sudah mengikhlaskannya? Tentu saja tidak. Ikhlas adalah tingkatan tertinggi dalam menghadapi sebuah masalah kurasa. Dan aku masih sangat jauh untuk mencapai level itu. Aku hanya ingin melepaskan apa yang membebaniku. Aku ingin menjalani hari-hariku bersama anak-anakku dengan bahagia. Itu saja. Tapi jangan sekali-kali menyinggung mereka di hadapanku. Karena aku pasti akan marah. Aku pasti akan tidak bisa mengendalikan diriku jika ingat dengan apa yang telah mereka lakukan kepadaku.
Sekarang fokusku adalah mereka, anak-anakku. Bagaimana aku bisa membesarkan dan mendidiknya? Ke mana sajakah mereka akan kusekolahkan? Dengan metode apa aku mendidik mereka? Mungkin itu pertanyaan yang mudah bagi sebagian besar orang tua. Tapi sulit bagiku, dan mungkin bagi kebanyakan orangtua tunggal sepertiku.
Karena selain faktor materi, aku juga harus memikirkan faktor psikis mereka. Bagaimana jika di sekolah mereka mendapat perlakuan tidak menyenangkan karena mereka tidak punya ayah? Bukankah perlakuan diskriminatif seperti itu masih sering terjadi di negeri ini? Maka aku sangat selektif memilihkan sekolah untuk anak-anakku. Selain kurikulum, aku pun mempertimbangkan lingkungan di sekolah itu.
Aku tidak ingin kelak anakku mengalami bullying oleh teman-temannya. Karena itu pula aku menunda usia sekolah mereka. Mungkin pada akhirnya aku akan memilih home schooling demi menghindari sesuatu yang tidak kuinginkan. Namun aku tetap mengusahakan yang terbaik untuk mereka. Aku mengikuti berbagai klub parenting, mulai dari Montessori, Parenting Nabawiyah, dan lain-lain. Semua itu kulakukan demi menjaga dan melindungi mereka, anak-anak yang kelak harus aku pertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta.
Masih terasa sakit rasanya pengkhianatan itu. Apalagi jika aku membayangkan mereka (mantan suamiku dan pasangan barunya) hidup bahagia dengan apa yang sudah kuperjuangkan bersamanya dulu. Kami menikah saat ayahnya anak-anak masih kuliah tingkat akhir. Saat itu aku yang terus menyemangatinya menyelesaikan Tugas Akhir. Bahkan aku yang membantunya mengetik dan mengedit skripsinya, juga menghubungi teman-temannya untuk membersamainya agar dia tetap semangat menyelesaikan Tugas Akhirnya. Lalu setelah dia lulus, aku terus mendukungnya dan mendampinginya melewati hal-hal sulit. Setelah semua itu dia gapai, itukah balasannya untukku?
Tapi ah sudahlah, kita sebagai manusia tidak perlu mengharapkan apapun dari manusia lainnya. Kita cukup berperan sebagai Hamba Tuhan dan mengerjakan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Cukup menjadi yang terbaik di hadapan Tuhan saja, karena Tuhan tidak pernah mengkhianati kita. Biar saja mereka bahagia, biar saja mereka seperti sedang di atas awan. Aku cukup melakukan yang terbaik saja untuk anak-anakku.
Pernah suatu hari anakku sedang membaca sebuah buku cerita. Dalam buku itu ada gambar sebuah keluarga, terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak. Lalu anakku menyebutkannya satu per satu, “Ini Ibu, Kakak, Adik,” setelah itu dia terdiam. Bibirnya seakan kelu untuk menyebut laki-laki pada gambar itu sebagai “ayah”. Tiba-tiba dia mengambil sebuah pensil, dan mencoret-coret gamba si “ayah” itu sampai bentuknya tidak terlihat lagi. Lalu aku memeluknya, mengajaknya menghapus coretan itu.
“Ini Ayah,” kataku.
“Ayah kan nggak ada, Bu,” katanya.
“Ada, Nak, Ayah ada tapi sudah tidak bersama kita,” kucoba jelaskan kepada mereka. “Atau bisa jadi ini adalah Ayah yang lain, yang akan menyayangi kalian,” kataku lagi.
Mereka pun menghapus coretan itu. Dalam hati, "Maafkan Ibu Nak, Ibu harus mengenalkan kepada kalian bahwa itu adalah sosok Ayah. Ibu hanya ingin mengajarkan sesuatu yang baik untuk kalian. Ibu tidak ingin kalian terlarut dalam trauma. Suatu saat mungkin kalian akan tahu dan mengerti dengan kondisi ini, mungkin kalian akan iri kepada saudara-saudara tiri kalian. Tapi kalian tidak perlu merasa iri, karena aku ingin kalian merasa telah memiliki ibu terbaik sepanjang masa."
Biar saja mereka sudah bahagia dengan kehidupannya. Aku tidak berharap balasan apapun akan perbuatan mereka. Aku hanya berharap kami dapat hidup bahagia. Aku akan tetap menjaga buah hati dari pernikahanku dengannya. Menjadikan mereka anak-anak yang baik, cemerlang dan penuh prestasi. Meski ayahnya sudah tidak menganggapnya lagi. Mereka adalah anak-anak dari hasil hubungan yang suci, dari ikatan suci pernikahan. Bukan dari hasil hubungan terlarang. Semoga mereka akan menjadi ladang amal untukku.
Karena aku sangat ingin menjaga mereka, mendampingi mereka untuk menjadikannya manusia-manusia hebat di masa depan, maka aku pun senantiasa mempersiapkan diriku sendiri untuk menghadapinya. Menyiapkan fisik dan mentalku, mempersiapkan ruhiyah terbaikku, serta menjaga kebersihan dan kesehatanku agar aku tidak mudah sakit. Agar aku selalu punya waktu yang banyak untuk menghadapi keaktifan mereka. Dan yang terpenting, aku harus selalu bahagia, agar mereka pun tumbuh menjadi anak-anak yang bahagia.