Kadang dalam hidup ini, perempuan punya peran istimewa sebagai seorang penjaga. Meski kadang ujian hidup begitu berat tapi seorang perempuan bisa begitu tangguh menjalaninya. Seperti kisah sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #JagainKamu ini. Ada cerita yang begitu menyentuh hati di dalamnya. Lomba menulis kali ini dipersembahkan oleh Softex Daun Sirih, yang selalu #JagainKamu para perempuan Indonesia.
***
Terlahir sebagai anak perempuan di antara tiga saudara laki-laki bukanlah tanggung jawab yang mudah untuk kulakukan. Aku merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Abangku seorang pekerja kantoran yang hari-harinya disibukkan dengan urusan kantor. Terkadang hari libur pun ia habiskan untuk bekerja atau sekadar bersosialisasi dengan teman-temannya. Jadi, bisa dipastikan bahwa sebagian besar hidup abangku dihabiskan di luar rumah. Begitupun adikku yang pertama, sedangkan adikku yang kedua adalah seorang siswa SMA tingkat akhir. Sebagaimana siswa tingkat akhir lainnya, ia lebih sering menghabiskan waktunya dengan belajar, entah di sekolah ataupun tempat bimbingan belajar.
Ayah dan ibuku juga bekerja dan hal tersebut sudah mereka lakukan sebelum mereka menikah. Maka tidak mengherankan dengan aktivitas yang berbeda-beda tersebut membuat kami jarang sekali bisa berkumpul bersama. Namun, meskipun memiliki kesibukan yang super padat, aku dan ibuku tidak pernah lupa tanggung jawab kami sebagai seorang perempuan.
Advertisement
Aku adalah seorang pekerja kantoran di salah satu perusahaan pendidikan berbasis teknologi terbesar di Indonesia. Jujur, aku begitu bahagia dan sangat bersyukur diberikan kesempatan tersebut sebab pekerjaan ini sudah aku dambakan sejak aku duduk di bangku kuliah. Selain itu, aku juga memiliki beberapa pekerjaan sampingan, yaitu menjadi seorang penulis serta pengajar privat kepada beberapa orang siswa. Di sela-sela kesibukan tersebut, aku juga terkadang menerima tawaran untuk bermain musik. Iya, aku memang jatuh cinta dengan musik. Semua hal tentang musik membuatku bahagia dan tidak bisa membayangkan hidupku tanpanya. Namun, di antara kegiatan-kegiatanku tersebut, ada satu pekerjaan yang dahulu menjadi batu sandungan buatku, yaitu mengerjakan pekerjaan domestik (urusan rumah tangga).
Sejak usia dini, aku sudah dibiasakan untuk hidup mandiri oleh ayah dan ibuku. Salah satunya adalah mandiri dalam mengurus diri sendiri ataupun mengerjakan pekerjaan domestik seperti memasak, menyapu, mengepel, mencuci piring, dan sebagainya. Menurut ibu, aku sebagai anak perempuan harus dibiasakan pandai mengurus rumah tangga sebab apabila aku sudah menikah kelak, pekerjaan tersebut tidak asing lagi buatku. Entah nantinya aku menjadi ibu yang bekerja atau ibu rumah tangga aku harus tetap bisa menjaga keluargaku.
Pada awalnya, aku setuju dengan pendapat ibu, tetapi seiring waktu muncul penolakan-penolakan dalam diriku. Hal tersebut disebabkan karena tanggung jawabku yang semakin besar sedangkan aku belum bisa mengatur waktu. Apalagi saat itu, ayah dan ibu hanya mengandalkanku saja. Hatiku semakin resah dan kesal dengan kondisi tersebut.
Hingga suatu hari aku mendaftarkan diri ke salah satu lembaga pengabdian masyarakat. Hal tersebut kulakukan untuk menghabiskan hari liburku dan sekaligus menambah wawasanku tentang Indonesia. Tiga hari lamanya kuhabiskan di salah satu wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) di Indonesia. Sebelum hari keberangkatan, aku sempat ragu akankah aku bisa bersosialisasi dengan masyarakat setempat? Bisakah aku bertahan di tengah kondisi yang serba minim? Namun, setelah berdoa dan mendapat dukungan dari orangtua, aku niatkan untuk meneruskan kegiatan tersebut.
Tidak kusangka tiga hari berlalu dengan cepat dan aku dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Baru kusadari, kemudahan itu bisa kujalani sebab ayah dan ibuku sudah membiasakanku hidup mandiri. Aku ingat saat kami tiba di sana, hari sudah gelap dan tidak ada satu pun lampu penerangan yang tersedia bahkan listrik pun tidak ada.
Kami hanya berbekal senter dari ponsel kami serta beberapa buah lilin. Padahal saat itu, aku dan teman-teman sudah dilanda kelaparan sebab perjalanan ke sana membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena tidak ada yang bisa diandalkan, akhirnya aku dan beberapa teman mencoba memasak dengan bahan-bahan seadanya. Voila, meskipun sederhana aku begitu nikmat menyantapnya. Kejadian tersebut membuatku berpikir, seandainya aku terbiasa dilayani di rumah, mungkin saja aku tidak akan sanggup hidup dengan keadaan seperti itu. Atau bahkan aku tidak punya ketertarikan untuk mengikuti kegiatan tersebut.
Buatku saat ini, pekerjaan domestik sangat menyenangkan untuk dilakukan. Bukan karena aku seorang perempuan, melainkan karena aku senang dengan aktivitas tersebut. Sejujurnya, aku pun tidak suka dengan ungkapan bahwa perempuan tidak jauh dari urusan dapur, kasur, dan sumur sehingga perempuan tidak perlu tinggi-tinggi menempuh pendidikan. Cara pandang seperti itu tentu menyakiti hati para perempuan sebab pada dasarnya kita dilahirkan sama dan sederajat.
Urusan rumah tangga adalah urusan bersama, baik laki-laki ataupun perempuan, baik suami ataupun istri sebab kita saling menjaga satu sama lain dengan porsi kita masing-masing. Setiap dari kita mempunyai cara tersendiri dalam menjaga keluarga ataupun mimpi-mimpi kita. Terakhir, seorang perempuan harus pandai memasak bukan karena dia seorang perempuan, tetapi karena kualitas makanan yang kita buat lebih terjamin serta dari segi budget lebih hemat.
- Meski Maut Memisahkan Kekasih Hati, Cinta Sejati Akan Selamanya Abadi
- Ayah Mengembuskan Napas Terakhirnya di Pelukanku
- Putriku Bukan Anak Down Syndrome, Potensinya Lebih Hebat dari Kelemahannya
- Ceritakan Kisahmu Jadi Penjaga di Hidupmu dalam Lomba Menulis #JagainKamu
- Untuk Suamiku Tersayang, Tetaplah Bersamaku dalam Suka dan Duka