Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.
***
Dua nama yang senantiasa terucap dalam doa kepada Sang Maha ialah Pengasih dan Penyayang. Sungguhlah besar aliran kasih sayang-Nya kepada semua makhluk-Nya. Seakan kurang, tak jarang kita sebagai makhluk mulia-Nya ini terlena dalam keduniawian lalu akhirnya tersesat dengan jalan yang telah dipilih sendiri. Hanya saja, Sang Maha Pengasih tidak pernah mengurangi rasa sayang-Nya. Dia justru datang, menyapa, memeluk, salah satunya mewujud sebagai teguran. Bukti dari cara-Nya menyayangi memang kadang tergolong aneh, manakala sulit untuk bisa dipahami, tapi tahukah bila itu semua bukan untuk-Nya? Melainkan untuk manusia itu sendiri agar bisa lebih baik dan kuat menghadapi kehidupan yang masih dalam perjalanannya.
Advertisement
Cerita saya adalah tentang salah satu kisah dari sekian banyak bentuk cinta Allah yang menghampar kepada hamba-hambaNya. Bernama teguran, menghampiri saya dua tahun silam. Saya ingat betul dengan semua kejadian dan rasa yang terjadi pada waktu itu. Entah bagaimana awalnya, secara perlahan saya merasakan takut akan segala sesuatu yang berhubungan dengan keramaian, dunia luar. Semua problema yang terjadi di dalam diri saya mengacaukan semua aktivitas harian. Tiga bulan lamanya saya tidak mampu melihat dunia luar, takut melangkahkan kaki keluar pintu, bahkan mengintip lewat jendela pun saya tidak bisa. Selama waktu itu saya seperti menjelma layaknya vampir, takut akan sinarnya matahari yang terang.
Saya kenapa? Ada apa dengan hidup saya? Terus pertanyaan demi pertanyaan merambat. Berkali-kali saya mencoba menggali kehidupan yang telah lalu satu demi satu. Ah, ingatan pun kembali datang, luka kembali terasa, satu yang jelas tampak, dosa pun kembali dengan daftar panjangnya. Puncak dari semua dosa yang terkumpul, bahwa saya masih begitu mudahnya meninggalkan kewajiban sebagaimana seorang muslim seharusnya, salat.
Bila dibandingkan dengan semua karunia yang telah Allah berikan, malu rasanya jika hanya untuk satu kewajiban saja diri ini masih lalai. Saya seperti kembali diingatkan bahwa tiang agama adalah sholat, bahwa segalanya akan runtuh bila tiang tidak ditegakkan dengan kokoh. Saya mencoba menata apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki semuanya.
Merasa tidak sakit, saya putuskan untuk tidak pergi ke dokter. Saya mencoba mencari tahu dahulu lewat internet tentang artikel dan pembahasan berkaitan dengan perasaan-perasaan yang sedang saya alami. Beragam artikel kemudian saya baca, hingga sampai kepada penjelasan paling mendekati dari semuanya, ketakutan ketika berada di luar ruangan, ketidakmampuan pada kondisi atau situasi yang ramai, dikenal sebagai Agoraphobia.
Mulailah saya mencari pembahasan yang lebih detail mengenai fobia ini. Pengertian, ciri-ciri, gejala, juga cara untuk mengobatinya. Sampai pada sebuah kesimpulan bahwa saya harus kembali melihat ke dalam diri, berani jujur menerima segala kekurangan dan kesalahan diri. Bertobat kepada Sang Maha Kuasa, mendekatkan diri kembali hanya padaNya. Terakhir jika tidak sanggup menghadapinya sendiri, penderita fobia sangat disarankan menemui psikiater untuk mengikuti terapi.
Bermodal dengan segala artikel tentang Agoraphobia dan salah satu teknik yang dianjurkan yaitu self-help atau menolong diri sendiri, saya memulai terapi. Memperbaiki salat adalah langkah awal. Saya memulai kembali salat yang sudah terlalu lama ritmenya berantakan, menatanya kembali dan meresapi di tiap bacaannya. Lalu membuka kembali kitab suci-Nya, perlahan saya membaca pedoman-pedoman hidup itu. Ya, saya sedang belajar kembali, kepada Sang Pencipta yang menuntun untuk mendekatiNya di jalanNya.
Terapi lainnya sebagai bentuk healing adalah mewarnai, saya membeli coloring book for adults. Media ini menawarkan untuk pengelolaan stres lewat terapi warna. Lalu saya juga mencoba terapi coretan di atas kertas, membuat coretan tanpa arah seperti benang kusut yang dimaksudkan untuk menyalurkan emosi terpendam, melepaskan emosi negatif yang tertumpuk.
Kemudian membereskan kamar secara menyeluruh sampai yang detail. Saya juga mengatur pola makan dengan yang lebih sehat. Bahkan, karena saya sedang tidak mampu untuk bepergian keluar, menonton film petualangan saya pilih sebagai bentuk lain melihat alam. Semua terapi itu saya lakukan bertahap. Terapi terakhir adalah yang tersulit, belajar kembali memasuki dunia luar.
Sesuatu yang saya takuti; pergi keluar rumah, pokok dari fobia ini. Bepergian menggunakan transportasi umum ataupun pribadi rasanya seperti berada di dalam mimpi buruk. Intinya udara terbuka membuat saya merinding, paranoid. Baru melangkahkan kaki beberapa meter dari pintu, saya sudah gugup, jantung ikut berdebar kencang. Ketika sudah sampai di jalan raya dan melihat kendaraan lalu-lalang, napas berubah menjadi terengah-engah seperti sedang ada yang mengejar, lalu badan berkeringat, tungkai pun terasa lemas. Rasa lelah, bosan dan muak melanda. Satu hal yang membuat sebal ketika rasa mual sampai mencekik tenggorokan datang, seringkali saya hampir menyerah dibuatnya. Namun kunci untuk terapi ini adalah melawan. Lawan ketakutan yang menyerang.
Hanya tekad kuatlah yang bisa membuat seseorang sembuh. Ya! Setahun lebih saya menjalani terapi itu, selama itu pula selalu ada yang mengantar bila saya keluar rumah. Alhamdulillah, setahun belakangan ini saya merasakan kesembuhan. Saya sudah berani dan tanpa takut terserang kecemasan lagi jika ingin bepergian seorang diri.
Dari kejadian itu saya mendapat banyak pemahaman. Terutama pemahaman tentang ikatan manusia dengan Penciptanya. Saya semakin mengerti bahwa semua yang telah dilakukan oleh seseorang dalam hidupnya, lambat laun akan berbalik kepada dirinya sendiri. Perbuatan baik akan kembali dengan kebaikan, begitu pula sebaliknya. Setelah semua yang terjadi, saya merasa bahwa Sang Maha Pengasih sedang memberikan teguran-Nya lewat fobia. Lebih dari sebuah teguran, saya merasakan bahwa ini semua adalah akumulasi dari dosa. Itulah mengapa dari awal saya sudah meyakini bahwa dokter bukanlah penolong, tapi saya yang harus menolong diri saya sendiri. Atas izin-Nya, saya bisa sembuh tanpa harus dibantu tenaga psikiater.
Saya sadar jika banyak dosa dan kesombongan yang telah lama menumpuk dan Sang Maha Penyayang menginginkan saya berubah menjadi seseorang yang lebih baik menjalani hidup demi masa depan. Saya sangat bersyukur mendapatkan teguran, Allah datang dengan pelukan-Nya yang penuh perhatian. Kalau sudah begitu, maukah kita mendapat pelukan-Nya? Siapkah kita mendapat pelukan jika hati ini sudah saatnya untuk kembali dibersihkan? Sudah siapkah kita? Sudah siapkah untuk saya? Insyaallah.
- Dikenalkan ke Keluarga Bukan Jaminan Hubungan Akan Berakhir di Pelaminan
- Nikah Muda Tersiksa Lalu Menjanda, Saking Stresnya Sampai Ingin Bunuh Diri
- Pria yang Bertindak Kasar dan Ketahuan Selingkuh Tak Layak Dipertahankan
- Ikhlas Lepaskan Barisan Para Mantan, Temukan Pria yang Lebih Baik Kemudian
- Kurelakan Dirimu Bahagia di Pelukan Wanita Pilihan Ibumu