Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.
***
Aku memang belum lama mengenalnya. Setahun lebih, dua tahun belum sampai. Tapi selama ini hubungan kami baik. Aku bekerja di lembaga belajar miliknya di Jakarta sebagai guru paruh waktu. Selain di sana, juga mengajar di Tangerang dan Bekasi, berbeda lembaga. Kala itu, aku masih berstatus sebagai mahasiswi di sebuah perguruan tinggi swasta di Bogor. Bisa dibayangkan lelah yang harus dijalani sehari-hari.
Waktu berjalan, masa kuliah sudah hampir berakhir. Bekerja, tentu itu yang ada di benak kami para calon lulusan perguruan tinggi. Beliau menawarkan bekerja di sebuah perusahaan yang baru ia rintis di Bekasi. Sesuai pengalaman, aku juga diperbolehkan mengajar di lembaga belajar miliknya di sana. Bahagia? Tentu saja. Aku sudah diterima bekerja jauh sebelum ijazah kuterima.
Tidak pernah terbayang akan berkarier dan tinggal di Bekasi. Sebuah kota yang panas dan berdebu. Jauh dari suasana Bogor yang hijau meskipun semakin hari mulai terasa panas juga. Tapi itu hanya persoalan kecil. Toh, tujuan datang ke kota ini memang untuk bekerja, bukan bersenang-senang.
Usaha penerbitan yang beliau sebut sebagai perusahaan yang baru dirintis itu berlokasi di dalam komplek perumahan. Sebuah rumah dengan fasilitas hook yang sederhana. Dari luar, sama sekali tidak ada tanda-tanda tempat usaha. Mulai dari plang, banner, atau apapun. Buatku tidak masalah. Namanya juga perusahaan baru.
Sehari-hari, aku pergi bersama seorang teman untuk meliput kegiatan pendidikan, baik di sekolah-sekolah maupun lembaga pendidikan. Penerbitan tersebut berfokus pada bidang pendidikan. Aku senang sekali, bisa memasuki sekolah-sekolah elit yang dulu mungkin hanya kubaca di media. Apalagi, kami bisa memperoleh informasi lengkap mengenai sekolah tersebut karena melakukan wawancara langsung dengan pengelolanya.
Aku juga memutuskan tinggal di Bekasi. Jika dihitung-hitung, gaji yang ditawarkan sebesar Rp1,2 juta per bulan tidak cukup efisien untuk pulang-pergi Bogor-Bekasi-Bogor. Beberapa blok dari kantor, ada pasangan suami istri yang menawarkan kamar kost. Murah sekali, Rp150 ribu saja per bulan. Aku segera memilihnya tanpa banyak pertimbangan. Biaya transportasi bisa dihapus, kecuali kalau harus pergi mengajar. Waktu kerjaku di kantor dimulai pukul 08.00-15.00. Setelah itu dilanjutkan dengan mengajar di lembaga belajar beliau. Aku di sana mulai pukul 16.00-18.00.
Advertisement
Tidak terasa, sudah satu bulan aku bekerja. Hari yang dinanti untuk gajian pertama telah tiba. Tapi pemilik perusahaan tersebut tidak ada di tempat. Aku harus menunggu besok. Kemudian besok, besoknya lagi, hingga kemudian kekhawatiran dimulai.
Janji untuk memberikan gaji pada tanggal tiga di setiap bulannya, akhirnya diganti menjadi setiap tanggal tujuh. Aku masih mengiyakan, toh hanya berbeda beberapa hari. Perusahaan memang bisa dibilang belum memperoleh pemasukan. Tapi yang terpenting kami, satu tim, tetap bekerja melakukan yang terbaik. Menaruh kepercayaan terlalu dalam terhadap seseorang memang berbahaya.
Hanya karena di Jakarta beliau baik, sering memberikan nasihat, cerita-cerita yang menginspirasi, gajian pun lancar, bukan berarti di sini hal serupa dilakukan. Beliau sering tidak berada di kantor atau di lembaga belajarnya. Apalagi saat karyawan mulai sering menanyakan mengenai gajian. Bukan hanya aku, tetapi semuanya.
Sayangnya, entah bagaimana bisa, kami semua terlalu sabar dengan jawaban beliau. Rasanya aku pun seperti kerbau dicucuk hidungnya. Seharusnya sejak awal saja berhenti bekerja. Gaji yang semula dijanjikan Rp1,2 juta per bulan, hanya kuterima Rp150 ribu saja. Begitu terus hingga bulan ketiga. Satu dan dua bulan pertama, aku masih mempunyai sedikit tabungan dari pekerjaan sebelumnya. Meski tetap saja, untuk hidup harus ekstra berhemat. Sedih rasanya, bekerja, tapi membeli baju baru saja tidak mampu.
Bulan keempat, aku sudah tidak tahan lagi. Harus mencari pekerjaan baru untuk bisa tetap hidup. Apa yang bisa dilakukan dengan Rp150 ribu per bulan? Membayar sewa kost saja sudah habis. Bulan demi bulan, akhirnya sewa kost tersebut harus terlambat dibayarkan. Malu? Sangat. Alhamdulillah, ada pekerjaan baru sebagai tenaga pengajar di sebuah lembaga bahasa. Gajinya tidak besar, hanya Rp300 ribu saja. Jadi, aku punya penghasilan Rp450 ribu per bulan dari dua tempat bekerja. Konsekuensinya, jam bekerja di kantor menjadi kacau. Pulang lebih awal dibandingkan biasanya. Meskipun sama-sama cemas menunggu gaji yang tidak pasti, mereka tentu juga tidak terima jika jam bekerjaku lebih pendek. Hubungan dengan teman di kantor pun memburuk.
Dengan penghasilan yang jauh dari cukup itu, seringkali aku merasa tidak berguna. Kuliah sampai sarjana, tapi nasibnya sengsara. Seringkali harus kucing-kucingan dengan ibu kost agar tidak ditagih biaya sewa. Makan pun aku atur sedemikian rupa. Pagi membeli sarapan, nasi dan tahu atau tempe. Dimakan separuh, dibungkus separuh untuk makan siang. Malamnya membeli nasi dan lauk, terkadang tempe, tahu atau soto. Dimakan separuh, dibungkus separuh untuk sarapan esoknya. Terus saja begitu. Porsi sekecil itu tentu saja tidak cukup untukku yang doyan makan. Tapi mau bagaimana lagi? Di masa-masa tinggal di Bekasi, komunikasi dengan orangtua tidak ada. Menelepon untuk meminta, aku malu. Malu pada ijazah yang kuterima berkat jerih payah dan doa mereka.
Siang itu, aku tengah tiduran di kamar. Sebuah kamar dengan beberapa baju terlipat saja di atas meja. Tidak ada barang apapun yang berhasil kubeli dari hasil bekerja. Dari bawah, terdengar suara bapak kost memanggil. Sekali, dua kali, aku hanya menyahut saja. Panggilan berikutnya, beliau memintaku turun. Jantung berdegup tidak karuan. Teringat bahwa sewa kost bulan ini belum dibayar. Apa ibu kost mengadu pada suaminya ini, ya? Beliau memang hanya akhir pekan saja ada di rumah. Sehari-hari beliau menjadi sopir barang ke luar kota.
Setibanya di bawah, aku hanya duduk di anak tangga. Menolak ajakan untuk duduk di dekat beliau sambil menonton televisi. Kami diam beberapa menit lamanya. Hingga kemudian terlontar pertanyaan mengenai bagaimana pekerjaanku, apakah kantor masih beroperasi, kenapa tidak dari luar terlihat tidak ada perkembangan, dan banyak lagi. Aku hanya menjawab secukupnya. Jauh di dalam hati, kecemasan mulai datang. Selama hampir enam bulan di sini, beliau tidak pernah berbincang sedemikian detail.
“Bapak dan ibu sewain kamar buat kost, bukan buat cari uang. Kalau uang aja sih, cukup. Kamu kan tahu, bapak sehari-hari bawa barang ke Cilegon. Baru pulang hari Sabtu. Kasihan ibu sendirian.” Aku terdiam seribu bahasa. Masih menduga-duga arah pembicaraan ini.
“Ibu kalau masak nasi, suka kebanyakan. Kamu makan aja, daripada kebuang.” Aku mengangguk lagi. Pikiran masih melayang kemana-mana.
“Di dapur ada kecap, ada minyak goreng, bumbu dapur lengkap. Telur ada di kulkas. Masak aja kalau mau makan.” Aku mengangguk lagi. Pandangan mata mulai memburam.
“Kalau ada, sewa kostnya dibayar. Kalau nggak ada, nggak usah.” Kali ini air mataku berebutan jatuh.
Aku malu sekali. Tapi sejak saat itu, hubungan kami bertiga menghangat. Bapak dan ibu sering mengajak ngobrol. Ibu sering bilang, aku mirip dengan putri bungsu beliau yang sudah lama tidak pulang.
Kuputuskan mengundurkan diri dari kantor. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan di sana. Toh, aku pun hanya digaji jauh dari layak. Allah memberikan gantinya tanpa menunggu lama. Lembaga belajar kedua tempat aku mengajar, membutuhkan tenaga pengajar untuk ditempatkan di sekolah. Ada sebuah sekolah yang membutuhkan penanganan khusus karena hasil ujian bahasa Inggrisnya jauh di bawah rata-rata. Dibayar Rp 80.000 per hari. Bekerja hanya di hari Minggu. Jadi dalam sebulan aku memperoleh tambahan Rp320 ribu. Syukur Alhamdulillah, aku memperoleh tambahan penghasilan. Jadi sekarang aku memperoleh penghasilan Rp300 ribu ditambah Rp 320.000. Perlahan, uang kost sudah bisa rutin kubayar.
Tanpa sepengetahuanku, bapak sering membaca iklan lowongan kerja di koran. Dilingkari, kemudian disodorkan kepadaku. Membuat bersemangat untuk berkali-kali mengirimkan surat lamaran kerja. Ternyata, mengirim surat lamaran kerja juga membutuhkan modal lumayan. Tidak mengapa, semoga Allah memberi balasan untuk ikhtiar ini.
Di suatu sore menjelang maghrib, ada panggilan masuk ke ponsel. Panggilan kerja dari sebuah perusahaan jasa di Jakarta. Aku diminta hadir minggu depan untuk proses wawancara. Senangnya tak terkira. Belajar dari pengalaman sebelumnya, aku harus berhati-hati. Ibu begitu bersemangat membantu. Beliau menunjukkan rute kendaraan menuju lokasinya, membangunkan pagi buta, sampai menyiapkan makanan untuk sarapan dan bekal makan siang.
Alhamdulillah, aku diterima bekerja di perusahaan tersebut dan bekerja di sana selama hampir 12 tahun. Setahun setelahnya, kusempatkan waktu mengunjungi bapak dan ibu. Mereka berdua masih sama seperti dulu. Ramah dan penyayang.
Bapak menyampaikan kabar bahwa mantan bos dulu sekarang berjualan VCD bajakan di pinggir jalan. Aku terkejut. Rasa kesal terpendam kepadanya masih ada. Tidak habis pikir, bagaimana beliau begitu tega membiarkan aku, karyawan yang diajaknya bekerja, terlantar seperti yang lalu.
Jika tidak ada bapak dan ibu, entahlah, bagaimana aku bisa bertahan hidup. Bagaimanapun, kabar dari bapak membuatku sedih. Semoga di lain waktu, beliau menemukan kesejahteraannya kembali. Setidaknya, aku patut berterima kasih juga. Tanpa beliau, tidak pernah ada pengalaman melakukan liputan yang menyenangkan.
- Curahan Hati Penyanyi Berhijab Bertubuh Gemuk: Bangun dari Mimpi Buruk
- Cela Saja Kekurangan Fisikku, Tapi Nanti Aku Akan Lebih Sukses dari Kalian
- Pria Posesif yang Sudah Melanggar Privasi Itu Membuatku Jadi Wanita Bodoh
- Menjadi Bahan Olokan di Kantor karena Gagal Menikah, Aku Kudu Kuat
- Kurelakan Dirimu Bahagia di Pelukan Wanita Pilihan Ibumu
(vem/nda)