Sanggupkah aku membesarkan mereka tanpamu, wahai pendamping hidupku?
Siang itu aku baru pulang dari kantor Askes, kalau sekarang adalah BPJS Kesehatan. Suasana panas masih terasa di tubuh ditambah dengan adanya mobil ambulans di halaman rumah dan banyak orang berkerumun membuat hatiku tambah dag dig dug. "Siapa yang kecelakaan, kok ada ambulans?" batinku. Untuk menjawab rasa penasaran, kulangkahkan kakiku dengan cepat menuju rumah, tubuhku langsung merosot saat tahu ada jasad yang dikelilingi oleh saudara dan tetangga yang sedang mengaji.
"Yang sabar ya Win. Semua sudah takdir-Nya, ini mungkin yang terbaik untuk suamimu," ucap kakak perempuanku, yang sudah ada di sampingku sambil menopang badanku yang merosot. Lidahku kelu tak bisa berucap, tanpa bisa dibendung lagi air mataku keluar dengan sendirinya tanpa bisa kukontrol lagi.
Tak ada kata yang bisa terucap hanya air mata yang mampu menggambarkan perasaanku yang hancur karena kehilangan pendamping hidupku. Bagaimana kehidupanku tanpa dia? Bagaimana nasib keempat anakku yang masih belum dewasa? Suamiku meninggal di usia 40 tahun, penyakit yang sudah hampir 4 tahun dideritanya lah yang merenggut nyawanya. Ya mungkin ini memang takdirnya dan yang terbaik untuk dia dan juga kami.
Tujuh hari setelah meninggalnya suami ada saudara jauh (dari suami) yang meminta izin untuk mengasuh salah satu anakku. Niatnya ingin membantu meringankan bebanku. Awalnya aku ragu dan hendak menerima bantuan tersebut. Namun saat aku ingat obrolanku dengan ibuku 3 hari lalu akhirnya aku tak memberikan izin, bukan maksud ingin menolak niat baiknya tapi karena aku percaya dengan perkataan ibuku. "Semua sudah ada wadahnya masing-masing, begitu juga dengan anak-anakmu, jadi jangan terlalu dipikirkan biaya-biaya anakmu yang masih belum matang. Percaya dan yakin bahwa kamu bisa membesarkan mereka dan membuat mereka bangga."
Berbekal dari uang tabungan serta uang pensiunan dari suami, aku membiayai keempat anakku. Sejujurnya uang tersebut masih kurang, kuputar otak untuk bisa mencukupkan uang yang sudah ada. Kuberanikan hutang ke saudara yang punya toko untuk memenuhi kebutuhan sehari hari dan baru membayarnya saat menerima uang bulanan pensiunan, begitu seterusnya. Tabungan yang ada kubuat modal untuk menggarap sawah yang kusewa dari saudara. Ya walaupun hasil dari sawah tidak bisa diprediksi berapa hasilnya mengingat biaya buruh yang tak murah serta kondisi alam yang terkadang tak bisa diprediksi. Aku pun tak malu untuk ikut terjun ke sawah. Ikut menanam padi dan sejenisnya. Rasa lelah tak pernah kurasakan dan segala usaha kulakukan untuk membiayai kehidupan anak-anakku.
Pernah suatu hari ibuku menawariku untuk menikah lagi karena kasihan melihatku namun aku menolaknya karena di pikiranku hanya terkonsentrasi untuk keempat anakku, bukan hal lain. Kalau aku menikah lagi, belum tentu anak-anakku mau menerima ayah barunya. Takutnya malah membawa masalah.
Advertisement
Pernah juga tetangga yang hidung belang menggodaku padahal dia sudah beristri, alhamdulillah imanku masih kuat dan kokoh sehingga tak kuhiraukan godaan dan bujukannya. Setelah anak pertama bekerja menjadi perangkat desa dan anak kedua sudah menjadi TNI, masalah keuangan sedikit ringan. Setidaknya mereka membantu adiknya untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi, karena pada saat itu anak ketigaku masuk ke perguruan tinggi sedangkan si bungsu tidak melanjutkan sekolah setelah lulus sekolah tingkat pertama dan memilih ikut kakakku bekerja di luar pulau.
Alhamdulillah aku bisa menjalani dan menghadapi jalan yang sudah Allah berikan kepadaku. Hal yang selalu kutanamkan pada diriku dan juga anakku adalah keyakinan untuk selalu berusaha yang terbaik dengan dibarengi dengan doa. Apa yang kuyakini dari awal akhirnya menjadi kenyataan. Aku bisa membuat anak-anakku sukses dengan caraku sendiri.
- Kekurangan Fisik Bukan Lelucon, Tak Etis Dijadikan Bahan Candaan
- Puisi Menjadi Tonggak Awal Namaku Bersinar Kembali
- 20 Perempuan Hebat Pemenang Lomba Menulis Maret 2018, I'm Possible
- Karena Gerobak Ibu, Aku Bisa Meraih Gelar Sarjana Hukum
- Belajar Bahasa Asing Mengubah Hidupku, Meski Sempat Dikira Mau Jadi TKW
(vem/nda)