Setiap wanita punya kisah hebatnya masing-masing. Banyak inspirasi yang bisa didapat dari cerita seorang wanita. Seperti tulisan dari sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Rayakan Hari Perempuan Sedunia ini.
***
Aku perempuan berusia 21 tahun, tinggi badanku 151 cm, dan berat badanku 36 kg. Aku adalah orang yang sudah sangat sering mendapatkan sapaan, “Kamu semakin kurus ya," “Kok makin kecil aja sih?" “Ih Putri, kamu nggak gede-gede deh." Kadang, ada juga orang sok tahu yang akan bilang, “Putri, jangan-jangan kamu anoreksia," “Kamu stres ya?” “Kamu punya penyakit ya?” Aku pun selalu membalas mereka dengan senyum lalu dilanjut dengan candaan sederhana, aku tidak tersindir karena dugaan mereka tidak ada yang benar.
Sudah berkali-kali juga tubuhku dijadikan bahan candaan, seperti, “Muat nih kamu dimasukin ke box motor,” atau “Badanmu mirip tante X tuh pas muda,” lalu Tante X langsung buru-buru menolak sambil bilang, “Enggak, enak aja. Kamu tuh yang begitu!” dan bodohnya, lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. Kadang kalau sudah lelah aku pura-pura tidak mendengar, lalu pelan-pelan mengganti topik pembicaraan ke arah yang lebih umum.
Advertisement
Pada suatu hari, di kelas 2 SD aku terbangun dengan keadaan mata yang gatal, keesokan harinya mataku bengkak dan aku langsung diajak oleh ibu ke klinik dekat rumah untuk mendapatkan obat. Lucunya, dokter tersebut tidak hanya sekadar menyembuhkan penyakit mataku, tapi di hari yang sama pula, dokter itu meninggalkan sakit di hati ibuku. Tepat setelah menimbang berat badanku, dokter tersebut langsung mengatakan, “Anak ibu gizi buruk!” Ibu hanya diam, aku juga diam, diam lebih dulu sebelum ibu, aku sudah terdiam sejak dokternya membentakku yang menutupi mataku dengan sapu tangan, katanya tidak boleh, sapu tanganku banyak bakteri.
Ibu hanya diam, tapi dengan satu mata yang terbuka, aku bisa lihat, ada kesedihan yang tertutup kemarahan di wajah ibu. Sepanjang perjalanan pulang dan selama seminggu ke depan, ibu selalu membahas omongan dari dokter tersebut, ibu merasa tersinggung dan usahanya untuk memenuhi giziku tidak dihargai, “Kamu anak yang cerdas! Kebutuhan gizimu terpenuhi!” begitu kata ibu, begitu kata ibu hingga hari ini.
Ibu merupakan salah satu wanita yang berjuang mati-matian agar aku memiliki tubuh dengan berat badan ideal, ibu membawaku ke dokter berkali-kali. Aku minum suplemen, vitamin, dan jenis susu yang beragam. Aku tidak akan menyia-nyiakan usaha ibu, selain tenaga, dibutuhkan juga biaya yang besar untuk konsultasi ke dokter dan membeli apapun yang tertulis di kertas resep itu dan semuanya akan terasa tidak terlalu membebani ketika aku menurut pada ibu dan meminum apapun yang ibu anjurkan. Tahun terus berganti, usiaku bertambah, lingkungan pertemananku berubah, aku tumbuh menjadi orang yang tetap malu akan kondisi fisikku dan tetap berusaha menutupinya, walaupun jelas terlihat, apapun pakaian yang kupakai, aku akan tetap terlihat kurus.
Di usia remaja, aku tidak punya pakaian warna hitam karena katanya, pakaian hitam membuat badanku semakin kurus. Aku selalu memakai pakaian yang menutupi collarbone-ku yang sangat ‘legok’ ini. Aku juga selalu memilih pakaian dengan bagian lengan tertutup, maklum tanganku kecil sekali bahkan sering mendapatkan ledekan, “Ih, langsung kepegang loh tulangnya,” “Ya Allah, nggak ada dagingnya.” Hehe, tidak apa-apa, mungkin memang kenyataannya seperti itu.
Aku merasa sangat kebal dengan candaan dan ucapan demikian, aku tidak pernah menanggapi sungguh-sungguh perkataan dari mereka, aku tidak pernah marah, kecuali perkataan itu datang dari orang yang aku sayangi. Hingga suatu hari, salah satu laki-laki yang telah mengenalku selama 7 tahun (dan 2 tahun menjalin hubungan percintaan), yang pernah bilang kalau tidak ada yang salah dengan kondisi fisikku pun bilang, “Pergelangan tanganmu kecil banget!” “Kamu nggak mau beli baju baru? Gaya kamu dari dulu gini-gini aja,” “Kamu harusnya pake baju yang lebih sporty biar nggak keliatan terlalu kurus." Aku pun langsung marah padanya, bukan karena deretan kenyataan yang ia ucapkan, tapi karena aku kecewa, cara pandangnya akan diriku telah berubah, dia mengingkari ucapannya sendiri. Di hari itu, aku sadar, secinta apapun orang padaku, suatu hari penampilanku akan mengganggu penglihatannya juga.
Selain lelaki itu, ada seorang perempuan yang cukup dekat denganku, ia seusia ibuku, dan memiliki anak yang seumuran denganku. Aku memanggilnya tante dan aku memiliki hubungan yang sangat baik dengan anaknya. Di suatu sore, aku menemani tante ini di rumah sakit, sengaja menemaninya karena keluarganya sedang sibuk dan belum bisa menemani. Di dalam ruangan VIP itu, tante menyuruhku makan. Aku pun segera mengambil sisa makan siangku yang belum habis dan memakannya, tante itu melihatnya, dan mengatakan jika makanku dikit sekali, dan lagi-lagi aku harus mendengar kalimat ini untuk yang kedua kali dalam hidupku, “Gizi buruk,” katanya.
Aku yang sedari siang berusaha ramah merawat tante pun langsung mendadak berwajah datar. Kali ini aku tidak bisa tersenyum, hatiku rasanya sedih, lebih sedih dari waktu itu ketika tante ini menyuruh anaknya untuk memberiku makan sehari-hari karena aku sangat kurus, padahal aku tidak pernah meminta atau kekurangan makan sekali pun. Aku teringat betapa susahnya ayahku mencari uang untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari keluarganya, aku teringat berapa banyak waktu sarapan yang ibu lewatkan agar dapat mempersiapkan bekal makan anak-anaknya. Maafkan aku ayah dan ibu, karena penampilan fisikku, usaha kalian jadi tertutupi.
Ibu adalah sosok yang sangat kuat bagiku. Mungkin terdengar klise dan normatif, tapi ibu adalah salah satu orang yang selalu berjuang dalam memenuhi kebutuhanku. Ibu merupakan orang yang selalu melindungiku, yang paling marah ketika aku mendapatkan ejekan, rasa kesal ibu bahkan lebih lama hilang daripada aku. Ibu adalah salah satu alasanku untuk melakukan konfrontasi kepada orang-orang yang menghakimi kondisi fisikku. Dan tepat 4 bulan lalu, aku mengundang ibu dalam salah satu acara yang aku buat, sebuah acara pelatihan dan pendampingan bagi ibu-ibu di salah satu Pusat Kegiatan Masyarakat di wilayah Bekasi.
Dengan tubuh kurus, sangat kurus, dan berkali-kali dikategorikan sebagai gizi buruk, aku membantu mengedukasi para ibu agar lebih sadar dan peduli pada Hak Dasar Anak, khususnya hak tumbuh kembang anak. Aku menjelaskan materi tersebut dengan banyak contoh, yang jelas-jelas terinspirasi dari cara ibu dalam merawatku. Ibu-ibu di acara tersebut pun berkali-kali memfoto materi yang kusajikan di layar, mengangguk-angguk pada bahasanku, dan ketika waktu pulang, mereka bersalaman padaku, memberikan pujian, dan berterimakasih atas informasi yang kuberikan.
Hal yang sama pun dilakukan oleh para ibu ke ibuku, dari jauh, bisa kulihat mata ibu berkaca-kaca dan bangga. Aku mungkin masih belum bisa memiliki tubuh ideal dan sesuai harapan masyarakat, dan mungkin mereka akan selamanya menyepelekan usaha Ibu dalam merawatku. Tapi aku akan terus berusaha untuk menjadi orang yang bermanfaat, yang membuat orang-orang menghargai usaha ibu dalam mendidikku, membuat orang-orang memuji cara ibu dalam membesarkanku. Aku bangga telah menjadi saksi hidup perjuangan ibu dalam membesarkan anak-anaknya, sesungguhnya segala perjuangan ibu tidak ada yang sia-sia.
- Meski Tak Bisa Seperti Perempuan 'Normal' Lainnya, Kuberjuang dengan Caraku
- Dilarang Kuliah karena Dianggap Tak Ada Gunanya Saat Sudah Menikah
- Kisah Nyata: Melawan Pelecehan Verbal di Industri Media
- Awalnya Nyanyi di Acara Keluarga, Kini Beprestasi Raih Medali Emas di Korea
- Gadis yang Seragamnya Pernah Dibakar Ibu Itu Kini Jadi Pelatih Karate
(vem/nda)