“Janda lagi, janda lagi!”
mungkin demikian keluh gusar para pembaca rubrik SPINMOTION di Vemale.com sebagai tanggapan, setelah sekilas membaca judul di atas.
Pertama–tama perlu disampaikan bahwa SPINMOTION sebagai komunitas, wadah bersolidaritas para single parents di Indonesia, beranggotakan mayoritas para janda, yang sekaligus menjadi single parents untuk anak–anak mereka. Yang kedua, janda adalah Anda, kami dan kita semua. Hal ini jika mengacu pada data statistik bahwa tak kurang dari 2 dari 10 rumah tangga di negeri ini, berkepala keluarga seorang janda. Baik para janda yang ditinggal wafat oleh pasangannya atau berpisah dengan pasangannya karena perceraian.
Mereka sendirian mengelola rumah tangga, mengasuh dan membesarkan anak–anak mereka, yang terkadang sekaligus menjadi para penyedia kebutuhan hidup dan yang membiayai pengeluaran sehari–hari. Sebuah kenyataan yang semestinya menjadi pemahaman kuat untuk tidak meremehkan status janda dan daya hidup mereka yang besar untuk bertahan dalam kehidupan.
Hal yang selanjutnya perlu menjadi pertimbangan masyarakat pada umumnya dalam menilai para janda adalah jumlah mereka yang semakin bertambah dari hari ke hari, baik oleh sebab meninggalnya pasangan hidup mereka, utamanya para janda yang dikarenakan oleh perceraian. Di tahun 2016 saja, konon sebuah data menyebutkan bahwa jumlah janda di Indonesia adalah setara dengan jumlah penduduk negeri tetangga, Singapura.
Sungguh angka yang fantastis, sekaligus fakta yang menunjukkan sebuah fenomena di dalam masyarakat yang membutuhkan perhatian kita semua. Kenapa? Setidaknya karena janda disebut–sebut dalam ajaran agama sebagai salah satu pihak yang diutamakan untuk menerima pertolongan, dukungan, sumbangan atau sekedar perlakuan sederhana penuh simpati dan bukannya stigma negatif, bully atau persekusi.
Advertisement
Dalam pelaksanaan diskusi di dalam grup percakapan daring, maupun kelas–kelas curhat yang diadakan oleh SPINMOTION selama beberapa waktu ini, bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa;
1. Janda, terutama para single parents yang memiliki satu atau beberapa anak yang menjadi tanggung jawabnya, memiliki resiliensi atau ketahanan yang kuat dalam menjalani kehidupan. Bisa jadi tingkat ketahanan mereka jauh lebih tinggi dari umumnya para lelaki, jika melihat data dan fakta yang ada, bahwa mayoritas para single parents di Indonesia adalah para janda.
2. Kurangnya perhatian masyarakat terhadap mereka bahkan sebaliknya, penilaian negatif yang didapatkan dari lingkungan sekitar, tak membuat mereka berkecil hati atau patah semangat dan malahan tetap mampu menjalani kehidupan dengan keyakinan dan semangat yang tinggi. Suatu sikap yang sebenarnya tak layak untuk diremehkan oleh siapapun juga, terutama dari para lelaki.
3. Di tengah–tengah masyarakat yang masih memiliki stigma negatif terhadap para janda, salah satu bentuk ekses yang diterima oleh para janda adalah pengucilan yang terkadang membuat mereka harus ‘bersembunyi’, segan bahkan takut untuk mengekspresikan diri di tengah–tengah masyarakat. Kesendirian yang akhirnya diciptakan oleh para janda akibat dari tak bersahabatnya sikap orang–orang lingkungan sekitar terhadap diri mereka. Kesendirian yang terkadang mengarahkan mereka pada pencarian demi pencarian akan mitra dan ruang untuk berbagi.
Dan di beberapa kesempatan ruang berbagi atau curhat yang diadakan oleh SPINMOTION, bekerjasama dengan sebuah Laboratorium Klinik di Kota Jogja, terungkap sebuah pernyataan dari beberapa janda, bahwa;
Para janda sebenarnya tidak meminta kepada masyarakat sebentuk perlakuan khusus yang mengistimewakan mereka, perlakuan ini diberikan dengan tetap memposisikan mereka sebagai ‘aib’ atau status berstigma negatif lainnya. Yang mereka inginkan, jika memang empati itu tidak bisa didapatkan adalah bahwa pada saat–saat tertentu mereka hanya membutuhkan teman yang mau mendengarkan. Cukup dengan mendengarkan keluh kesah mereka tentang kehidupan yang dijalani, beban kehidupan yang meningkat seiring bertambahnya usia dan jenis kebutuhan anak – anak mereka, atau perlakuan – perlakuan negatif yang didapatkan dalam kehidupan sehari – hari, cukup untuk memberikan kelegaan bagi diri mereka, sekalipun hanya sesaat saja. Namun hal ini sudah cukup, dan nantinya, mereka sudah sangat berterima kasih kepada para ‘pendengar’ mereka yang setia.
Dalam sebuah penelitian psikologi didapatkan hasil, bahwa dalam sehari perempuan sekurang–kurangnya akan berbicara sebanyak 30.000 kata. Dibandingkan dengan lelaki pada umumnya, perempuan memiliki surplus 13.000 kata dalam aktivitas pergaulan antar manusia di keseharian mereka. Artinya, perempuan memang sudah secara kodrati terbentuk menjadi makhluk yang jauh lebih verbal dibandingkan dengan lelaki.
Dan pada saat–saat tertentu mereka hanya ingin untuk menyampaikan apa yang sedang dirasakan atau dipikirkan kepada pihak yang cukup mendengarkan saja tanpa harus menjawab, menimpali atau menanggapi dalam sebuah percakapan bertema diskusi. Oleh karena itu, dengarkanlah dengan baik mereka, para perempuan, para ibu, para janda saat mereka hanya ingin berkata-kata. Dan satu hal lagi, jangan remehkan pengetahuan atau intelektualitas perempuan, sekalipun mereka seolah-olah terdengar di telinga anda secara ‘biasa–biasa saja’, karena;
Perempuan memang banyak berkata–kata, walau sebenarnya, mereka baru mengatakan separuh saja dari yang mereka ketahui.
Kalimat di atas bukanlah kata–kata dari perempuan sembarangan, karena kalimat di atas pernah diucapkan dan menjadi kutipan tersohor dari perempuan pertama yang menjadi anggota parlemen di Inggris, bernama Nancy Astor.