Dalam proses pencarian jodoh, setiap orang memiliki cara dan membawa kriteria tentang jodoh mereka sendiri–sendiri. Bahkan terkadang ada sementara orang yang sudah membuat agenda dan rencana yang disusun jauh-jauh sebelumnya, guna mendapatkan jodoh yang sesuai dengan harapan mereka.
Pacaran adalah salah satu pilihan jalan, namun ada cara lain yang berbeda dan diyakini lebih memberikan kemanfaatan bagi penggunanya dalam mendapatkan jodoh yang paling tepat bagi mereka, tanpa harus mengundang risiko mendapatkan dosa. Cara tersebut dikenal sebagai ta’aruf yang artinya kurang lebih menjadi berkenalan atau memperkenalkan. Sebuah proses perkenalan dan saling mengenal yang sangat berhati–hati dan terjaga antara seorang perempuan dan laki–laki dalam beberapa tahapan mediasi berikut saksi–saksi yang mendampingi. Meniadakan kontak langsung antara perempuan dan laki–laki yang memiliki keinginan untuk menikah, dengan penggunaan pertukaran informasi melalui orang ketiga yang menjalankan proses mediasi dan berfungsi menjadi jembatan komunikasi. Biasanya orang ketiga tersebut adalah orang yang terpandang dan ditinggikan dari segi ilmu agama dan dari sisi akhlak serta budi pekertinya, serta dipercaya oleh kedua belah pihak yang akan melakukan proses ta’aruf.
Namun apakah ta’aruf akan menjamin hasil yang memuaskan bagi kedua belah pihak yang selanjutnya memutuskan untuk menikah dan menjadi sepasang suami istri? Pada umumnya memang hasil yang didapatkan sesuai dengan apa yang diharapkan di awal. Mereka berdua akhirnya menjadi pasangan suami istri yang bisa saling mencintai, menghormati dan berfungsi serta berperan dengan baik dalam membangun rumah tangga serta mengasuh anak-anak yang akhirnya dilahirkan. Walaupun ada beberapa kisah nyata yang menjadi bukti bahwa dengan ta’aruf sekalipun, jaminan untuk mendapatkan jodoh yang sesuai keinginan dan harapan, bisa saja tak terpenuhi. Setidaknya ada dua kisah yang diceritakan di bawah ini.
Sebut saja namanya Mawar, seorang perempuan yang dibesarkan dalam keluarga agamis sekaligus priyayi dan hartawan, yang memiliki kekayaan dalam berbagai jenis dan bentuknya, terutama aset–aset properti. Lahir dan dibesarkan di tengah keluarga yang menempatkan agama sebagai hal yang utama, membuat Mawar tumbuh menjadi remaja yang alim dan jauh dari pergaulan remaja yang bebas tak terkendali. Bahkan saat dia lulus dari kuliahnya, lalu berniat untuk menikah, jalan yang ditempuh untuk mendapatkan jodohnya adalah dengan melakukan ta’aruf. Dan seperti dijelaskan di atas, prosesnya dimediasi oleh seseorang yang mumpuni dalam ajaran agama, disegani dan dipercaya oleh seluruh keluarga untuk mendatangkan jodoh terbaik bagi Mawar. Pada akhirnya ditemukanlah seorang pemuda yang dirasa paling cocok dan sesuai untuk menjadi suami Mawar, yang kemudian menikahlah mereka berdua.
Lalu terdapatlah seorang perempuan sebaya yang lain, sebut saja bernama Melati, yang walaupun tidak dibesarkan di lingkungan yang agamis di kala kanak–kanak dan remajanya, namun di masa–masa awal dewasanya, dia aktif dalam kelompok beragama yang tekun mengkaji sekaligus tertib dan konsisten mempraktekkan ajaran–ajaran agama. Yang salah satu ajarannya adalah penerapan proses ta’aruf bagi semua anggota pengikutnya yang menginginkan jodoh terbaik di antara sesama pengikut kelompok beragama ini. Melati pun mengikuti proses ta’aruf yang juga dimediasi oleh pemimpin kelompok yang sekaligus berlaku sebagai mediator penghubung antara Melati dan calon suaminya, sekaligus membimbing keduanya menjalani proses ta’aruf dalam tujuan untuk kemudian menikah dan menjadi sepasang suami istri. Dan akhirnya ditemukanlah seorang pemuda untuk Melati yang dianggap paling cocok dan sesuai untuk menjadi suami bagi Melati, lalu menikahlah mereka berdua.
Kini, kurang lebih 20 tahun sejak ta’aruf yang telah dilakukan oleh Mawar dan Melati, di tempat yang berlainan dan dengan proses yang tak begitu berbeda, mereka berdua ternyata menjalani kehidupan yang hampir serupa. Mereka berdua menjadi janda yang masing–masing mengasuh ketiga anak mereka. Apa yang terjadi? Di manakah masing–masing suami mereka?
Dua minggu setelah menikah, Mawar ternyata mendapati kebohongan–kebohongan data, manipulasi dan rekayasa atas personifikasi dari lelaki yang kemudian menjadi suaminya, di saat ta’aruf terjadi. Lelaki yang diyakini akan menjadi jodoh terbaiknya melalui jalan ma’ruf alias cara baik bernama ta’aruf, ternyata memiliki niatan yang tersembunyi dalam menjalani ta’aruf bersama Mawar. Harta melimpah ternyata adalah bidikan dan prioritas utama yang dijadikan tujuan mempersunting Mawar, yang selanjutnya memang terbukti dalam kehidupan rumah tangga mereka sehari–hari.
Karena Mawar dan keluarganya lah yang akhirnya menjadi pemateri bagi si lelaki, karena Mawar lah yang kemudian lebih banyak menghidupi, yang sebenarnya adalah tugas dan kewajiban seorang lelaki, suami dan kepala rumah tangga dalam mencukupi kebutuhan keluarganya. Namun apa mau dikata, nasi telah menjadi bubur, dan saat menjadi bubur pun, masih saja ada sebersit harapan semoga akan menjadi makanan menyehatkan dan penuh gizi. Hingga bertahanlah Mawar selama kurang lebih 20 tahun menjadi ‘sapi perah’ bagi suaminya sendiri.
Di kisah lainnya, Melati pun mengalami hal–hal yang jauh dari bayangan indahnya saat ta’aruf terjadi, akan rumah tangga yang berbahagia bersama suaminya. Hal ini disebabkan ternyata si suami kemudian berperilaku sangat berbeda dalam kehidupan rumah tangga sehari–hari. Bukannya menjadi seorang pemimpin yang tegas, sosok pelindung yang tangguh, namun justru menjadi pribadi yang cerewet cenderung ceriwis, serta bertingkah seolah bukan laki–laki sejati. Hilanglah kesan jantan pada diri sang suami, dan yang ada adalah seorang laki–laki yang memiliki perilaku dan kebiasaan yang aneh dan lain dari kebiasaan lelaki pada umumnya. Namun apa mau dikata, nasi telah menjadi bubur, dan saat menjadi bubur pun masih ada sebersit harapan semoga akan menjadi makanan sehari–hari yang menyehatkan dan menguatkan diri. HIngga bertahanlah Melati selama kurang lebih 20 tahun menyaksikan ‘perempuan lain’ dalam diri suaminya sendiri.
Setelah 20 tahun bertahan bersama suami yang mengecewakan namun mampu memberikan masing–masing 3 anak kepada Mawar dan Melati, lalu kenapa mereka kini menjadi janda? Ternyata selingkuhnya suami mereka masing–masing lah yang membuat Mawar dan Melati habis kesabaran dan memutuskan untuk menggugat cerai suami mereka masing–masing.
Jika Mawar harus mendapati fakta bahwa suaminya bergonta–ganti perempuan dalam perselingkuhan yang dijalani, maka Melati, malah harus menjadi saksi mata atas perselingkuhan suaminya dengan lelaki lain dalam hubungan sejenis yang meluluhlantakkan hati. Tak lagi bisa bertahan dalam kesabaran lebih lama lagi, berikut dengan luka hati yang teramat dalam karena kekecewaan yang terakumulasi, maka Mawar dan Melati memutuskan untuk menggugat cerai suami mereka masing–masing, dan menjadi para janda lah mereka kini.
Pada akhirnya, jika ditanyakan kepada Mawar dan Melati kini, apakah mereka menyesal telah menjalani ta’aruf yang ternyata bagi mereka menjadi tak ma’ruf dan seolah ‘membeli kucing dalam karung’? Maka mereka berdua pun akan menjawab,
Kami tak lagi menyesali dan menyalahkan proses ta’aruf yang telah kami lakukan, Karena kini kami paham, jika sudah menyangkut niat sejati yang ada di dalam hati manusia, jangankan kyai, malaikat pun tak akan tahu arah dan tujuan sebenanya ke mana. Dan kami tak akan pernah bisa menyesali lagi apa yang telah terjadi, karena kami memiliki anak–anak yang jauh lebih bernilai daripada pengalaman buruk yang kami dapatkan dan musibah yang terjadi pada diri kami karena ta’aruf yang dilakukan dengan niatan tak ma’ruf.
Advertisement
- PELAKOR: 7 Perihal Menakar Pelakor 'Perebut Laki Orang'
- Dit, Ibuku Seorang Pelakor Karena Ayahmu ataukah…?
- Bagaimanakah Menjadi Single Parents yang Baik? Begini Caranya
- Saat Tak Lagi Sepakat, Kapankah Waktu Terbaik untuk Bercerai?
- Melawan Stigma Negatif Terhadap Janda dengan 5 STIGMA
(vem/nda)