Kita memang tak pernah bisa mengalahkan takdir. Mengikhlaskan kepergian orang tersayang memang sangat berat, tapi itu jadi satu-satunya pilihan yang ada.
***
Kado cinta untuk cinta pertamaku.
20 Mei 2012 kabar mengejutkan aku terima dari kakakku. Melalui pesan singkat kakak mengabarkan kondisi ayahku kritis. Padahal beberapa hari sebelumnya, beliau menelepon dan berbincang seperti biasanya. Seperti tersambar petir di siang bolong, hatiku hancur, galau, khawatir, sedih bercampur aduk.
Pada saat itu aku masih kuliah semester akhir dan sedang menyelesaikan skripsiku. Semuanya terasa berat bagiku. Aku tahu betul perjuangan ayah menguliahkanku. Ayahku yang sudah renta, beliau tetap bersemangat mendukungku melanjutkan pendidikan. Tahukah kalian umur ayahku berapa saat mendaftarkan aku kuliah? Beliau berumur 68 tahun. Beliau salah satu veteran pejuang RI. Beliau salah satu pahlawan tanpa nama dan jabatan yang mungkin tidak tertulis di buku sejarah. Bahkan di pusaranya juga tidak ada bambu runcing dan bendera merah putihnya meski beliau ikut berjuang di saat kondisi negara ini belum stabil.
Kupersiapkan kadoku
Aku berusaha menyelesaikan skripsiku secepat mungkin, ujian skripsi akan dilaksanakan bulan Juli. Aku semangat sekali mengerjakan setiap babnya. Aku ingin memberikan kado cinta ini kepada orangtuaku terutama ayahku. Karena kesibukanku menyelesaikan skripsi aku menjadi jarang pulang, biasanya sebulan sekali aku pulang. Kebetulan jarak kampus dengan rumah hanya 2 jam perjalanan.
Advertisement
Dengan motivasi yang kuat aku ingin wisuda gelombang pertama di bulan september. Dan memberikan kado manis ini kepada ayahku. Tapi, kabar buruk datang padaku. Ayah gagal napas, koma dan akhirnya dipanggil yang Maha Kuasa. Semua yang telah aku rencanakan buyar seketika. Skripsi terbengkalai, bayang-bayang wisuda mulai pudar. Tak ada semangat lagi melanjutkan kuliah. Aku terpuruk dengan keadaan ini. Aku mengeluh, “Ya Allah, kenapa Engkau panggil ayahku secepat ini?”
Kado yang tak pernah dibuka
Dengan hati bergetar, kukuatkan jari tanganku untuk mengetik setiap kata di layar laptopku. Mulai kulanjutkan lagi skripsiku. Kukerahkan semua kekuatanku untuk melawan kesedihanku dan bangkit untuk menyelesaikan studiku. Kini hanya ada ibu, ibu rumah tangga yang hanya mengandalkan dana pensiun ayahku. Aku harus segera lulus agar bisa meringankan beban ibuku.
Hari berganti, bulan berlalu, saatnya ujian skripsi tiba. Bayang-bayang ayahku selalu membayangiku. Aku harus lulus ujian skripsi sebagai kado untuk ayahku. 05 Juli 2012 aku dinyatakan lulus. Skripsiku ditandatangani oleh dekan dan penguji. Skripsi setebal 300 halaman lebih telah aku selesaikan. Aku bungkus satu naskah skripsiku sebagai kado untuk ayahku. Aku simpan di rak yang biasa ayahku gunakan. Aku tuliskan pesan cinta untuk beliau. Berharap meski di lain dunia beliau dapat menerima kado cinta dariku, membukanya dan membacanya.
Teruntuk ayahku, engkau bukan sekadar cinta biasa
Meski kadoku tak pernah kau buka, meski wisudaku tak pernah kau saksikan, meski semua momen istimewa dalam hidupku tak bisa lagi engkau dampingi, namun engkau akan selalu menjadi cinta pertamaku. Engkau akan selalu menjadi panutanku.
Akan kuajarkan kepada anakku caramu mencintai dengan kelembutan, caramu mengajarkan kelembutan dengan sentuhan, caramu mengajarkan menyentuh dengan kasih sayang, caramu mengajarkan kasih sayang dengan berbagi, caramu mengajarkan berbagi dengan bersyukur dan silaturahmi untuk menyebarkan cinta.
Ayah, engkau bukan hanya sekadar cinta biasa, semoga engkau dapat merasakan cintaku melalui doa doaku. Allahummaghfir lahu, warhamhu, wa ‘aafihi wa’ fu’anhu.
- Rindu Setelah Kehilangan Itu Berat, Tapi Doa Selalu Menjadi Penguat
- Salahkah Aku yang Mencintai Papa Tiriku?
- Meski Hidup Penuh Keterbatasan, Cinta Bapak Selalu Menguatkan
- Wanita Ini Temukan Setiap Uang yang Diselipkan Ayah, Kisahnya Manis Sekali
- Bapak Rangkul, Komunitas Suami Modern yang Berbagi Peran Pengasuhan Anak
(vem/nda)