Sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Bukan Cinta Biasa ini sangat mengharukan. Tak terbayang bila kejadian ini kita sendiri yang mengalaminya.
***
13 November 2011 adalah hari yang sakral bagiku karena di hari itu aku resmi diperistri oleh seorang lelaki yang aku kagumi sejak SMA. Pernikahan yang cukup kontroversi sebenarnya, mengingat usiaku masih terlalu muda saat itu, 21 tahun. Dan suamiku 23 tahun.
Kami masih sama-sama duduk di bangku kuliah. Aku tingkat tiga, dan suamiku tingkat akhir. Pro dan kontra menyelimuti pernikahan kami. Ada yang beranggapan bahwa kami terlalu muda untuk menikah, ada juga kelompok yang lebih religius berpendapat bahwa yang kami lakukan lebih baik daripada berpacaran. Namun di hari itu, suasana haru nan khidmat dari teman-teman yang datang menyelimuti prosesi akad nikah kami.
Pasca pernikahan, aku menjalani kehidupanku seperti biasa. Selayaknya mahasiswa pada umumnya. Berangkat kuliah, mengerjakan tugas, datang rapat organisasi, dan serentetan kesibukan yang aku jalani sejak sebelum menikah. Yang berbeda adalah ketika pulang ke kontrakan, ada seseorang yang bisa kuajak bercerita panjang lebar hingga tak terasa sudah larut malam.
Masalah mulai datang ketika orangtua suamiku sepertinya ingin diperhatikan. Padahal sebelumnya selama dia kuliah di Bandung tak pernah sekalipun orangtuanya menengok anaknya. Di saat aku sakit, aku harus ditinggal oleh suami untuk mengunjungi orangtuanya yang tak bisa ditunda lagi. Di saat aku sedang menghadapi ujian akhir, mereka datang berkunjung dan membuatku tidak bisa belajar dengan baik.
Hingga suatu hari aku merasa sangat tertekan dan jatuh sakit, entah kenapa sakitku ini tak kunjung sembuh hingga tiga bulan lamanya. Saat itu saya baru mengetahui bahwa aku hamil. Aku bingung dengan perasaan yang kurasakan saat itu. Bahagia tak terkira, rasa khawatir, ragu, dan kepercayaan yang menurun terhadap suami. Namun semua rasa negatif itu aku tampik demi menjaga kehamilanku.
Advertisement
Saat anak pertama kami lahir, kebahagiaan menyelimuti keluarga kecil kami. Aku langsung terpukau saat pertama kali melihat matanya. Dia adalah bayi yang sangat tampan. Semua orang terkesan melihatnya. Sejak saat itu, aku bertekad untuk mengasuhnya sendiri, mendidiknya dengan pendidikan agama. Menjadikannya cahaya yang menerangi rumah kontrakan kecil kami.
Ketika itu, suamiku hanya seorang pengangguran yang baru lulus kuliah. Dia menjalankan bisnis alakadarnya untuk menghidupi kami. Aku cukup menerimanya dalam keadaan apapun. Meski banyak orang yang nyinyir dengan keadaan kami, aku tetap memotivasi beliau untuk tetap berjuang. Meski aku kerap tidak nyaman dengan perlakuan ibu mertua yang seolah merasa aku sudah merebut anaknya.
Suatu hari, datanglah musibah itu. Di saat secercah harapan datang, di tengah harapan akan kesuksesan bisnis yang kami jalani, saya sudah membayangkan saat itu, kami akan menyicil sebuah rumah sederhana, mengirimi orangtua kami uang bulanan, agar mertua tidak lagi merasa cemburu kepadaku, yang menganggap anaknya tak pernah memberinya uang karena dihabiskan olehku. Harapan-harapan yang sangat sederhana. Tak pernah terlintas di benakku keinginan yang muluk-muluk meski suamiku seorang sarjana teknik dari sebuah kampus ternama di Bandung. Aku hanya menginginkan pernikahan yang sakinah, penuh rasa tenang dan damai, penuh cinta dan kasih sayang.
Namun harapanku menjadi rumit sejak suamiku mengenal seseorang yang kemudian menjadi partner bisnisnya. Dia mulai mengenal uang. Dia mulai berpikir untuk sedikit bekerja dan menghasilkan uang banyak. Sehingga pada akhirnya, ternyata dia ditipu oleh partner bisnisnya itu. Mereka menjalankan bisnis jual-beli elektronik dengan sistem pre-order. Suamiku menawarkannya kepada teman-teman sekampusnya. Namun ternyata barang yang dipesan tak pernah ada. Di satu sisi aku merasa kasihan melihatnya. Tapi di sisi lain, aku merasa kecewa dengan caranya menyelesaikan masalah ini. Alih-alih bertanggungjawab, dia malah memilih untuk bersembunyi, kabur dari masalah. Sehingga nama baik keluarga kami yang menjadi taruhannya. Hampir setiap hari banyak yang menggedor pintu rumah kami, mencari suamiku. Entahlah bagaimana kami di mata tetangga, seperti seorang buronan saja. Dan itu terjadi ketika aku hamil dan melahirkan anak keduaku.
Sejak saat itu, suamiku tak pernah mau melamar kerja. Seolah hidup enggan mati segan. Dia kembali menjalankan bisnis yang kami rintis sejak awal, menyewakan proyektor dan menjual spare parts laptop. Aku berusaha untuk tetap mendukungnya. Di saat-saat tersulit, aku berusaha untuk menjadi sandaran suamiku, dan memendam semua rasa kecewaku. Kami memulainya kembali dari nol. Dari benar-benar tanpa modal. Karena uang kami habis dikuras oleh penipu itu.
Aku ingin sekali mendukungnya. Aku ingin dia kembali bangkit. Lalu bertanggungjawab terhadap kasus penipuan yang merugikan banyak orang itu. Dan di saat ada kesempatan, aku meminta modal kepada ibuku agar kami bisa menjalankan bisnis itu dengan benar. Menyediakan stok, tidak lagi menggunakan sistem pre-order. Namun karena ibu yang masih berkabung karena kematian ayah, beliau belum bisa membantu memberikan modal. Akan tetapi beliau bisa membantu dengan menggadaikan tanah yang sudah diatasnamakan kepadaku. Jujur, aku ragu dengan ide itu.
Awalnya aku hanya ingin meminta modal alakadarnya agar kami bisa merencanakan bisnis dengan lebih matang. Namun saat itu ibuku pun membutuhkan uang untuk selamatan hari kematian ayah. Ibuku pun sebenarnya ragu, beliau terus menerus menanyaiku apakah ada cara lain agar tak menggadaikan tanah? Bukan apa-apa, masalahnya suamiku pengangguran, ibu ragu kami bisa melunasi utang kami. Namun melihat suamiku yang kian terpuruk, dan ibu pun membutuhkan uang, kumantapkan hati untuk menggadaikan tanah itu. Aku yakin, setelah itu bisnis kami menjadi lancar. Aku bisa membeli proyktor lagi untuk disewakan, mungkin aku juga bisa kembali menjalankan bisnis konveksi yang dulu pernah kami rintis juga, dan aku yakin jika keuangan kami mulai membaik seperti ini suamiku akan mau bekerja.
Namun apa yang terjadi seperti petir yang menyambar secara tiba-tiba di hari yang terik. Tidak kusangka, suamiku masih terbawa sifat hedonisnya seperti semasa dia bersama penipu itu. Uang hasil gadai tanah itu dia ambil dariku. Dan dia tak pernah memikirkan bisnis. Aku berusaha untuk tetap berprasangka baik padanya. Kusarankan padanya beberapa pekerjaan, dan bisnis jual-beli dengan keuntungan yang lumayan besar.
Namun dia tidak mendengarkanku. Dia menggunakan uang itu untuk membeli sebuah mobil bekas. Tanpa dia teliti terlebih dahulu tentang mobil itu. Terdapat masalah atau tidak, bagaimana perawatannya, dan lain-lain. Aku hanya melihat sinar mata penuh harapnya kembali saat dia membeli mobil itu. Dia sangat menyayangi mobil itu. Sehingga aku hanya bisa pasrah dengan keputusannya. Aku berharap semangatnya akan kembali jika dia merawat sesuatu yang disayanginya. Namun dia tetap tak mau bekerja, dan tidak menjalankan bisnisnya. Sementara mobil yang dia beli, belum apa-apa sudah mulai rewel.
Aku dipulangkannya ke rumah orangtuaku karena dia merasa tidak sanggup menafkahiku. Kontrakan sudah tak punya, suamiku tidur di toko yang dia sewa bersama teman-temannya. Aku yang selama ini hanya diam melihat ‘keajaiban’ sifat suamiku, kini mulai meragukannya.
Bagaimana bisa dia memulangkanku ke rumah orangtuaku, dengan alasan tak sanggup menafkahiku? Sementara ibuku tentu akan berpikir, uang yang selama ini beliau berikan habis ke mana? Bukankah itu jumlahnya sangat banyak? Hanya membeli mobil bekas seperti itu seharusnya masih ada sisa. Entahlah aku tak dapat menjawabnya. Aku bingung dengan perilaku suamiku sendiri. Apakah ini karena dia yang sedang bermasalah, ataukah inilah dia yang sebenarnya?
Mungkin hal sepele bagi sebagian orang tentang perilaku laki-laki yang seperti itu. Tapi ini sangat aneh, karena yang kutahu dia tak seperti itu. Sebelum aku menggadaikan tanah itu, suamiku bertanya, “Bagaimana kamu bisa melunasinya?” Kujawab, “Kita bisa melunasinya selama dua tahun.” Kujelaskan perinciannya. Jika gagal, aku akan meminta izin kepada ibu untuk mengurus sawah milik almarhum bapak untuk melunasi utang gadai itu. Yang aneh, dia selalu menyudutkan aku, caraku melunasinya, bukan kita. Saat aku berada di rumah ibu, aku hanya berpikir, apakah aku sudah ditipu oleh suamiku sendiri? Kini dia menikmati uangku di perantauan, sementara aku dipulangkan ke rumah ibuku tanpa uang sepeser pun.
Sampai suatu hari seseorang menghubungiku via media sosial. Dia ingin menanyakan perihal hubunganku dengan suamiku. Dia mengabarkan tentang suamiku yang menjalin hubungan dengan wanita lain. Dan wanita itu adalah seorang janda yang baru saja menceraikan suaminya karena masalah keuangan. Katanya wanita itu tidak tahan dengan suaminya yang menurutnya tidak cukup memberinya nafkah. Bersama suamiku, mereka banyak menghabiskan waktu berjalan-jalan, makan-makan di restoran, berduaan layaknya suami-istri.
Astaghfirullah... dia menelantarkan kami, tidak menafkahi kami, bahkan menghabiskan uangku untuk wanita itu? Anak-anaknya sendiri ditelantarkan, tidak diberi makan, tidak pernah diajak jalan-jalan. Sementara dia memberi makan perempuan itu dan anaknya yang tidak jelas itu anak siapa.
Seperti petir yang menyambar-nyambar, aku murka. Betapa tidak, aku yang mendampinginya di saat dia sedang dalam kesulitan. Aku yang mengetikkan tugas akhir miliknya sehingga dia mendapat gelar sarjana teknik di belakang namanya. Bahkan aku telah menggadaikan tanah untuk dia gunakan berfoya-foya bersama perempuan lain? Bagaimana bisa itu terjadi? Apa artinya pengorbananku selama ini? Kalau bukan karena berkorban untuknya, aku sudah menamatkan S2 dan memiliki karier yang cemerlang saat ini. Tapi aku memilih mendampinginya, berharap surga dari telapak kakinya. Namun dari situ bukanlah surga yang kudapatkan. Melainkan dia injak-injak aku seperti wanita bodoh yang tidak berharga.
Dan di saat aku melayangkan protesku, dia datang ke rumah ibuku. Bukan untuk minta maaf, bukan pula untuk menjemputku. Melainkan dia fitnah aku di depan ibuku. Aku ingat sekali, kata-kata itu sangat melekat di telingaku. “Bu, saya ceraikan anak ibu. Saya udah nggak sanggup menafkahi anak ibu. Semua uang yang ibu berikan, habis sama dia.”
Astaghfirullah... aku selama ini sudah menghabiskan waktuku untuk lelaki macam apa? Aku mengandung dan melahirkan anaknya, mengurus dan mendidiknya dengan upaya terbaikku. Kuberikan segenap harta dan jiwaku, cinta dan waktuku, untuk bersamanya membangun sebuah rumah tangga. Lalu beginikah yang dia lakukan kepadaku?
Bisa dibayangkan, saat itu yang ibuku rasakan adalah marah sejadi-jadinya. Sayangnya ibuku tidak berani marah kepada anak orang lain. Beliau marah kepadaku, anaknya sendiri. Dia limpahkan seluruh kemarahannya kepadaku. Sampai menyumpahiku, menyuruhku melacur demi mendapatkan uang untuk menebus tanah yang tergadai itu. Ya, sampai begitu marahnya ibuku sehinga memandangku sehina itu. Menurutnya, untuk apa berhijab, menjaga diri, kalau tetap saja diinjak-injak seperti itu, sampai demi lelaki seperti itu saja dikalahkan oleh wanita rendahan yang tidak punya harga diri.
Astaghfirullah... sampai saat ini aku masih punya iman dan tidak ingin melakukan apa yang ibuku perintahkan. Aku sendiri bingung, aku yang dikhianati, kenapa malah ibuku yang frustasi? Mungkin karena beliau yang harus menebus tanah itu. Aku mengerti, mungkin beliau hanya sedang kebingungan. Bahkan beliau sampai mengusirku untuk bekerja, beliau tidak ingin mengeluarkan uang untuk menafkahiku dan anak-anakku.
Aku terkatung-katung. Suami meninggalkanku, ibu tak menginginkanku. Jika bukan karena melihat anak-anakku, mungkin aku sudah bunuh diri. Tak henti si sulung mencium dan mengusap air mataku. Si bungsu pun ikut memelukku setiap kali mereka melihat aku bersedih. Aku sudah tak punya uang, bahkan kontrakanku sudah mau habis. Untuk memberi makan anak-anakku, terkadang ada teman yang memberiku uang, atau sekedar memberi beras.
Aku pergi kesana kemari untuk mencari pertolongan, mencari pekerjaan. Pekerjaan apapun yang bisa kulakukan. Namun semua seperti memandang jijik kepadaku, tak ada yang memberiku pekerjaan. Dalam hati aku mengeluh kepada Tuhan, bagaimana bisa, aku yang sedang terzalimi, Tuhan malah menutup semua jalanku? Sementara mereka yang zalim kepadaku, Tuhan berikan keluangan waktu, kesehatan, dan rejeki untuk bersenang-senang di atas penderitaanku.
Sementara aku yang sedang terpuruk, suamiku memamerkan pasangan barunya kepada teman-temannya. Berharap perempuan barunya diterima di lingkungan kami. Dia menyebarkan fitnah kepada teman-temanku, bahwa akulah yang telah meninggalkannya. Sehingga dia yang merasa kehilangan keluarga, ingin membangun keluarga lagi dengan perempuan itu. Semua itu kutahu karena masih ada teman yang mempercayaiku dan memberitahuku. Dia juga memfitnahku bahwa aku telah berbuat buruk kepada ibuku. Lalu aku kabur dari rumah. Ya Allah... tidak cukupkah semua kezaliman dia kepadaku? Sampai masih saja memfitnahku.
Ternyata kutahu dari temanku, kenapa dia begitu mudahnya memfitnahku dengan sangat meyakinkan begitu karena kakak iparku telah menghubunginya untuk mencarikan aku, dan menyuruhku pulang. Ya Allah, Ibu... kakak... dia itu laki-laki jahat... kenapa masih mempercayainya? Kenapa malah menyiksaku sampai aku terkatung-katung seperti ini?
Bahkan disaat seperti ini, perempuan suamiku datang menemuiku untuk meminta akta cerai. Karena dia ingin disahkan sebagai istrinya. Bahkan dia meminta anakku untuk ikut bersamanya. Sontak aku langsung menyembunyikan anak-anakku darinya. Aku tidak tahu, apa sebenarnya yang dia mau. Dalam kondisi aku tinggal ingin bunuh diri saja, masih saja dia menekanku, menginjak-injak sampai aku tidak bisa lagi terbangun dan bangkit.
Aku merasa sudah tidak punya siapapun. Sudah tidak punya apa-apa. Teman-teman tempatku curhat banyak yang terhasut oleh cerita palsu dua sejoli itu, suamiku dan pacarnya. Hanya segelintir yang masih mempercayaiku. Aku sudah malu terus dan terus menerima bantuan dari teman-teman yang masih peduli kepadaku. Aku sampai berbicara kepada Tuhan, “Ya Allah, aku sudah kalah. Aku sudah tak sanggup. Silakan jika Kau mau mencabut nyawaku. Aku sudah tdak bisa berbuat apa-apa lagi.” Tiba-tiba bibir mungil anak-anakku kurasakan mengecup pipiku.
“Umi... abang sayang umi... ,” ucap si sulung.
“Dedek juga, sayang umi... ,” sahut si bungsu.
Deg. Aku tersadar. Jika aku mati, apakah aku rela membiarkan mereka dididik oleh manusia seburuk ayahnya dan calon ibu tirinya? Atau dididik oleh ibuku yang begitu polos sehingga dengan mudahnya terhasut oleh manusia busuk seperti mereka.
Aku tersadar, Tuhan telah mengirimkan dua malaikat kecil ini untuk menjaga imanku. Akan menjadi seperti apa mereka jika berada di tangan yang salah? Sedangkan bersamaku, aku bisa mendidik mereka untuk menjadi anak yang baik. Di samping itu, aku pun menyadari satu hal, bahwa masih ada yang menyayangiku. Mereka yang menyayangiku dengan apa adanya aku. Tak pernah marah kepadaku meski kerap kali aku menunjukkan kekesalanku karena tingkah nakalnya. Dan mereka yang selalu memaafkan kekhilafanku.
Aku telah dikirimi oleh Tuhan mukjizat yang luar biasa. Dua malaikat kecil penjaga imanku. Mereka ibarat pilar-pilar yang menjulang tinggi menjagaku agar tak mudah terjatuh dan tersungkur. Mereka seperti pilar-pilar yang tegak menancap dan menyanggahku, menuntunku meski tertatih, agar tetap berjuang dan berada di jalan Tuhan.
Melihatku yang seperti ini, beberapa teman yang masih peduli menemuiku, menguatkanku, dan meyakinkanku bahwa lelaki seperti itu tak pantas untukku. Mereka bahkan menawarkan bantuan kepadaku untuk melancarkan pengajuan gugatan ceraiku. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa jika ibuku masih belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga banyak orang yang masih memihakku membantuku meyakinkan ibu. Membuatku menguatkan hati ketika kulayangkan gugatan cerai ke pengadilan agama.
Selama proses pengadilan berlangsung, suamiku tak datang sekalipun. Namun sikapnya semakin menjadi. Dia menunjukkan kemesraan dengan perempuan itu baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Seolah merasa bebas telah bercerai denganku. Tapi aku sudah tak peduli. Karena dengan begitu, semakin banyak orang yang terbuka matanya betapa busuknya mereka.
Bagiku, perceraian bukanlah hal yang patut dirayakan. Karena perceraian bukanlah sebuah prestasi. Justru itu adalah kegagalan. Kegagalan dalam menjalin rumah tangga. Ada masa depan anak manusia yang dipertaruhkan. Anak-anak yang terlahir dari hasil pernikahan. Bagaimanapun, anak-anaklah yang paling merasakan dampak dari perceraian. Namun suamiku merayakannya, dengan pasangan barunya yang sudah terjalin sejak lama, jauh sebelum perceraian terjadi.
Masih belum ikhlas sebenarnya, mengingat apa yang sudah mereka lakukan kepadaku. Mengapa suamiku cepat sekali berubah setelah mengenal wanita itu? Apa sebenarnya di balik semua ini? Tapi kini aku tak peduli lagi. Aku hanya fokus membantu ibuku melunasi utang mantan suamiku dan menebus kembali tanah yang digadainya, juga memberikan perhatian terbaik untuk anak-anakku. Malaikat kecil mukjizat dari Tuhan.
- Bersahabat dengan Pria Makin Menyesakkan Dada Saat Muncul Perasaan Cinta
- Rindu Setelah Kehilangan Itu Berat, Tapi Doa Selalu Menjadi Penguat
- Kalau Sudah Jodoh, Semua Serba Tak Terduga dan Cepat Terjadinya
- Salahkah Aku yang Mencintai Papa Tiriku?
- Yang Berat dalam Cinta Itu Bukan Pengorbanan, Tapi Memaafkan Pengkhianatan
(vem/nda)