"Ibu Hana, ini kuitansi pembayaran DP rumahnya, ya," kata makelar KPR rumah itu.
Hana menerimanya, "Terima kasih, Pak Rasyid."
"Bu Hana beruntung sekali, sebelumnya ada orang mau membeli rumah ini secara tunai, tapi batal. Saya juga tidak tahu apa alasan pembatalannya."
Hana tersenyum kemudian berpamitan.
Dia pulang ke rumah kontrakan naik becak, berdua bersama anaknya.
Namanya membeli barang, entah beli rumah, beli handphone, beli makanan, rasanya seperti sedang mencari jodoh. Ada yang sudah siap uangnya, tapi kehabisan stok barang. Ada juga yang tidak punya uang, tiba-tiba menang undian berhadiah, dan bisa membelinya. Adalagi orang yang tidak menginginkan barangnya, tidak juga ingin memilikinya, tetapi mendapat warisan barang tersebut. Tuhan Maha Mengetahui segala misteri.
***
Sambil menepuk-nepuk anaknya yang tertidur pulas, Hana memandang lembar kuitansi di tangannya dengan penuh rasa syukur. Tahun depan Bobi sudah masuk SD. Memiliki rumah sendiri adalah sebuah langkah besar dalam kehidupannya, bahkan bisa dibilang yang terbesar.
Delapan tahun menikah dengan Irawan, Hana merasakan tiga tahun hidup menumpang di rumah mertua, dan sisanya mengontrak. Bayang-bayang kehidupan bersama ibu Irawan melintas kembali di dalam kepalanya, berganti-ganti adegan seperti sebuah pemutaran film yang rusak.
Semenjak sebelum menikah, Bu Cokro sudah menunjukkan ketidaksetujuannya atas pernikahan Hana dan Irawan. Alasannya sepele walau tak pernah diutarakan, Hana bukan anak orang berada, sedangkan Irawan adalah anak seorang petinggi negara. Namun apa daya Bu Cokro jika Irawan sudah berkata, "Aku tidak akan menikah seumur hidup kecuali dengan Hana!"
Pernikahan terjadi begitu saja. Hana tak ingat bahwa dia merasa bahagia di hari pernikahan itu. Yang dia rekam dalam pikiran hanyalah sisa-sisa rasa capek, lelah, letih luar biasa. Tamu undangan dari pihak Bu Cokro nyaris 1500, dari pihak Hana hanya satu RW.
Resmi menikah maka Hana tinggal bersama mertuanya, sesuai permintaan Irawan. Hana berprasangka baik bahwa setelah menikah maka Bu Cokro akan membuka hati untuknya. Rupanya tidak. Justru tampaknya pernikahan ini adalah pintu gerbang menuju sebuah istana yang penuh tekanan batin.
Tidak berlebihan jika Hana menyebut rumah Bu Cokro sebagai istana. Seluruh rangka rumah kunonya terbuat dari kayu jati, berlantai marmer yang rutin dipoles, bermandikan cahaya lampu-lampu kolonial, serta dihiasi ratusan mebel ukir. Pada saat makan Hana merasa sangat pegal dan tidak nyaman, karena semua perabot makan Bu Cokro terbuat dari keramik-keramik mahal sehingga dia sangat khawatir jikalau tak sengaja menjatuhkannya. Hana menyimpan beberapa piring hadiah deterjen di dalam kamarnya. Tak dia keluarkan karena merasa sungkan dengan Bu Cokro, walau kadang di dalam kamar dia dan Irawan menggunakan piring-piring itu untuk sekadar menaruh roti.
Walau dibesarkan di gedongan ibunya, selera makan Irawan rupanya tidak membutuhkan bahan makanan yang mahal. Irawan suka menyantap sayur asam, gereh besek (ikan asin dalam bungkus bambu), dan sambal. Semasa pacaran Hana sudah sering membuatkan makanan-makanan tersebut untuknya. Maka seminggu setelah hari pernikahan, Hana pun diminta Irawan memasaknya kembali, sekadar mengenang masa pacaran.
***
"Aduh, aku lapar banget!" keluh Irawan sembari menarik sebuah kursi makan. Dia baru saja mandi sepulang dari bekerja. Handuk basah masih terkalung di lehernya.
"Mana makanan pesananku?" tanya Irawan pada istrinya.
"Sebentar ya Mas, aku ambilkan. Tadi aku simpan di lemari dapur," jawab Hana.
Hana mengambil handuk basah di leher suaminya kemudian membentangkannya lebar-lebar di jemuran. Dia berjalan menuju dapur dan mencari hasil masakannya. Namun tak ditemukannya apa yang dia cari-cari. Di lemari dapur tak ada, di dekat kompor pun tak ada.
"Ini, tadi Ibu masak banyak. Ayo dimakan," suara Bu Cokro sampai ke telinga Hana. Hana kembali ke ruang makan dan melihat di meja sudah tersaji banyak makanan. Ada gulai kambing, sate buntel kambing, bakwan goreng, acar, kerupuk, dan beberapa potong kue. Bahkan ada es cendol. Entah dari mana mertuanya mendapatkan itu semua, barangkali pesan ke katering.
"Lho Bu, tadi aku sudah pesan ke Hana supaya masak sayur asam," kata Irawan sambil menggigit sepotong bakwan. "Nanti banyak makanan terbuang dong, Bu."
"Tidak apa-apa Mas, makan saja masakan Ibu. Lagipula masakanku digondol kucing," kata Hana.
"Kucing? Kok bisa? Lha sambalnya mana, masa kucing makan sambal," kata Irawan sambil tertawa sendiri.
"Masakan istrimu sudah tumpah semua! Bahaya, diendus kucing! Bisa kena toksoplasma nanti! Sampai capek Ibu ngepel tumpahannya tadi!" tukas Bu Cokro sambil melambaikan tangannya ke udara.
"Ya sudahlah, makan apapun jadi. Lapar banget," ujar Irawan sambil mulai menyendok gulai.
Sementara Irawan makan sambil bercakap dengan ibunya, Hana berdiam diri di kamarnya. Dia sudah tahu, masakannya disingkirkan entah di mana rimbanya. Namun dia tak hendak mempertanyakan ataupun mencari, biar saja, pikir Hana.
***
"Sebetulnya kamu bisa nyapu atau tidak?" tanya Bu Cokro.
"Hehe, Ibu bisa saja. Ya bisa to, Bu," timpal Hana berusaha tertawa menghormati, walau suara Bu Cokro bernada gertakan.
Banyak daun gugur setelah angin musim kemarau bertiup seharian. Hana berinisiatif menyapu halaman istana mertuanya. Rumah seluas ini tanpa satu pun asisten, rasanya akan sangat capek. Baru saja satu menit menyapu, mertuanya datang.
Advertisement
"Jangan diarahkan ke situ! Nanti malah tambah kotor!" teriak Bu Cokro, merebut sapu dari tangan Hana. Kemudian wanita tua itu menyapu sendiri.
"Biar saya saja, Bu?" Hana menawarkan bantuan.
"Kamu? Memangnya kamu bisa menyapu? Lho, mbok ngilo, kamu itu merawat dirimu saja tidak bisa! Wong wadon kok nglombrot!" cela Bu Cokro. "Aku ini berkali-kali melahirkan tapi badanku tetap singset dan kulitku tetap bersih! Sebagai wanita kamu memang tidak prigel!" masih belum puas dia mengatai Hana.
Dengan hati teriris Hana memilih masuk kamar dan duduk menunggu Irawan pulang.
Tak bisa dipungkirinya bahwa memang dia kurang mengurus badan akhir-akhir ini. Itu karena dia sedang hamil. Produk-produk kecantikan dan perawatan tubuh sebisa mungkin dia hindari, karena takut berdampak negatif pada janin. Walau tertulis "aman untuk ibu hamil" pada kemasannya, Hana tetap merasa kurang sreg. Sehari-hari perawatannya sebatas mandi, menyikat gigi, keramas, dan mencuci muka tanpa sabun. Dia juga sudah berhenti berolahraga karena mengkhawatirkan bayinya. Tubuh yang dulu menarik kini bergelambir lemak di mana-mana. Irawan malah melarangnya diet, "Jangan diet, kasihan kalau bayi kita kurang asupan nutrisi."
Masih banyak lagi bentuk-bentuk ketidaksukaan mertua kepadanya. Selain tak bisa memasak dan bersih-bersih, Hana pun masih harus menghadapi pandangan sinis dari tetangga. Entah dari mana asal muasalnya, di lingkungan tersebut beredar isu bahwa Irawan mau menikahinya karena Hana memasang susuk. Haha. Hana bahkan tidak tahu apa itu yang dinamakan susuk. Suaminya adalah teman sekolahnya sendiri, sehingga wajar kalau kasih sayang ini sudah bertunas sejak mereka remaja. Namun apa daya. Pepatah mengatakan, sepanjang-panjangnya jalan, masih lebih panjang tenggorokan. Sepanjang-panjangnya jalan, masih lebih jauh penyebaran berita melalui mulut dan tenggorokan manusia. Bu Cokro kah yang memfitnahnya? Tidak tahu.
***
Hana akhirnya melahirkan Bobi. Wajah Bobi sangat mirip dengan wajahnya. Hal ini pun dengan tangkas dijadikan bahan olok-olok oleh Bu Cokro.
"Bayi kok wajahnya mirip ibunya. Mestinya kan mirip bapaknya, paling tidak mirip kakek atau nenek yang dari bapaknya. Apakah ini pertanda kalau ibunya tidak sungguh-sungguh mencintai bapaknya ya, Jeng??" kata Bu Cokro pada kawan-kawannya sendiri saat mereka menjenguk bayi Bobi.
"Sudahlah, Bu. Bagus kan mirip ibunya, lha daripada mirip tetangga malah bahaya," canda kawannya.
Luar biasa lelahnya Hana menjadi ibu baru. Bobi menangis setiap malam meminta ASI, sedangkan bayi itu menolak minum stok ASI perah dari botol. Akhirnya Hana berhenti memerah ASInya dan memilih begadang sepanjang hari untuk Bobi. Hana kurang tidur, selalu kelaparan, dan masih harus mendengarkan omongan pedas mertua. Irawan berangkat bekerja pukul 06.30 dan baru tiba di rumah menjelang maghrib. Irawan memang menawarkan pada Hana untuk menggunakan jasa baby sitter, tetapi Hana menolak. Bobi hanya menjadi bayi satu kali saja, Hana tak ingin kehilangan waktu-waktu mendampingi Bobi bertumbuh kembang. Kantung di bawah matanya semakin menebal dan menghitam. Karena masih menyusui, Hana masih berhenti menggunakan produk kecantikannya. Segala macam daun dia kunyah habis, demi memenuhi kebutuhan Bobi yang selalu merasa lapar.
***
"Bayimu nangis tiap malam itu karena lapar! Beli pisang, suapi!" teriak Bu Cokro dengan resah di tengah malam, terganggu tidurnya karena Bobi menangis.
"Bobi masih tiga bulan Bu, belum saatnya makan selain ASI," kata Hana, sambil menyusui bayinya.
"Zaman aku dulu, bayi lahir itu diberi ulekan nasi dan kuah sayur, nyatanya kami sehat-sehat saja! Jangan sok modern, sok pintar!"
"Tidak Bu, bahaya menyuapi bayi makanan padat sebelum waktunya!" Hana bersikukuh.
"Diapusi dokter wae kok manut!" sinis kata mertuanya.
Hana menyingkir ke teras belakang demi menghindari debat kusir. Selama satu jam disusuinya Bobi sampai bayi itu pulas terlelap ditemani suara jangkrik. Suaminya tak ikut bangun, karena besok harus berangkat pagi-pagi. Orangtua Hana sendiri tinggal di kota yang berbeda sehingga kurang bisa membantu kerepotannya, walau selalu mengirim uang untuk Hana.
"Telan saja."
Tulisan itu yang selalu Hana ingat saat Bu Cokro tidak satu pikiran dengannya. Tulisan "telan saja" yang dia baca di sebuah koran pagi, tulisan yang terdapat pada sebuah cerpen tentang seorang tokoh wanita yang selalu direndahkan oleh rekan-rekan sekantornya. Semua omongan hanya ditelan, tanpa melawan balik, tanpa membalas berkata-kata. Si wanita terpaksa bertahan di kantor itu karena membutuhkan gaji untuk menyekolahkan anaknya.
Hana memang tidak betah hidup seatap sedapur bersama mertua. Namun Irawan tidak mau pindah. Pernah suatu hari Hana mengusulkan supaya mereka kost, Irawan menjawab, "Ibu sudah sepuh, kakakku tinggal di luar pulau, apakah aku tega meninggalkannya sendiri?"
"Mas Irawan apakah tega melihatku hidup di sini tidak betah?" kejar Hana.
"Bagaimana kalau ibuku tiba-tiba jatuh sendirian? Tak ada yang menolong?" kata Irawan.
"Bagaimana aku bisa menggulawentah anakku dengan baik jika aku stres? Bagaimana kalau malah aku jadi ikut melampiaskan stres pada anakku?" teriak Hana.
"Hana, ibuku dan kamu itu sama. Sama-sama mencintai aku. Daripada selalu mengingat perilaku buruk ibuku, ingatlah bahwa kalian berdua memiliki visi misi yang sama, yaitu mencintai aku."
Visi misi yang sama?
Benarkah?
Omong kosong.
Bisakah visi misi tersebut dicapai oleh dua orang di mana salah satu pihak selalu menyakiti pihak lainnya? Bisakah dua ekor semut memindahkan remahan besar roti ke sarangnya, sedangkan satu semut melukai semut lainnya? Akhirnya remahan tersebut hanya diam di tempat, karena satu semut tak kuat mengangkatnya, bukan?
***
Hari berlalu, tahun berganti.
Bobi kini berusia dua tahun dan sedang mulai mengembangkan komunikasi dua arahnya. Bobi sudah mampu memahami perintah ataupun larangan, dan suka sekali meniru tingkah laku orang-orang di sekitarnya. Pada titik inilah, akhirnya Hana membuat sebuah keputusan yang besar.
Suatu sore...
"Siapa yang berani memindahkan bangku resban ini?" teriak Bu Cokro.
"Saya Bu, saya pakai menjemur kasur dan bantal. Mumpung tidak mendung," kata Hana.
"Resban-nya itu mau aku pakai duduk! Kok dipindahkan!" gerutu Bu Cokro sambil mengambil kembali bangkunya.
Dipindahkannya kasur dan bantal milik Hana asal-asalan, sehingga beberapa guling Bobi jatuh ke tanah. Hana dengan cepat memungutinya, memukul-mukulkannya ke dengkulnya sendiri untuk menghilangkan debu yang menempel.
"GOBLOK kok kebangeten! Ra nduwe uteg!" gerutu Bu Cokro lagi, padahal dia sudah menduduki bangkunya.
Bobi yang sedang berlari-lari kecil mengitari ibunya, spontan dengan ceria berkata, "Oblok! Oblok! Oblokkk! Wa ue utekkk!" menirukan umpatan neneknya.
Bagai tersambar petir Hana mendengar Bobi meniru perkataan kasar neneknya. "Bobi!!! Tidak boleh berbicara seperti itu!!!" bentak Hana. Bobi yang kaget karena dibentak secara tiba-tiba oleh ibunya, langsung menangis kencang. Hana mengabaikan bantal-bantalnya, langsung menggendong Bobi masuk ke dalam kamar. Matanya berkabut karena genangan air mata yang nyaris tumpah.
***
Tangisan Bobi berhenti karena asyik menonton ibunya memasukkan barang-barang mereka ke dalam koper. Hana mengemas pakaian, peralatan MCK, mainan Bobi, buku, dan seluruh barang kepunyaannya. Inilah puncak toleransinya, inilah batas kesabaranya. Satu hari lagi di sini, maka semua yang selama ini dia "telan" akan menjadi muntahan. Hana memakaikan jaket dan kupluk kepala Bobi, kemudian membantu balitanya memakai sepatu. Setelah semua selesai, diraihnya handphone dan menelepon untuk pesan taksi.
***
Tak sampai lima menit taksinya tiba. Sopir membantu Hana memasukkan koper besarnya ke dalam bagasi. Hana dan Bobi masuk ke dalam mobil tanpa berpamitan kepada Bu Cokro. Biar saja, pikir Hana.
"Pak, tolong carikan saya dan anak saya tempat kost, terserah yang seperti apa, sepengetahuan Bapak!" kata Hana ketika pak sopir bertanya kemana tujuannya. Sopir yang melihat Hana dalam kondisi pikiran chaos dan rambut awut-awutan, langsung mengiyakan.
Untunglah sopir itu memiliki wawasan yang luas mengenai daerah tersebut. Hana dibawa ke sebuah penginapan yang bersih, nyaman, dan murah. Setelah menyerahkan fotokopi KTP, fotokopi buku nikah, dan uang sewa untuk sebulan ke depan, Hana segera memandikan Bobi dan menemani anak itu tidur.
"Aku di Wisma Cengkeh, jalan Werkudara," bunyi SMS Hana untuk Irawan.
Hampir satu jam Bobi tertidur dengan Hana terjaga di sisinya. Tak henti-henti Hana meminta maaf pada Bobi, karena lalai menjaga telinga anaknya dari perkataan buruk.
Menjelang senja Irawan datang, masih berbusana kerja.
"Ayo pulang," ajak suaminya.
"Pulang? Ke mana?" tanya Hana.
"Ke rumahku, rumah kita."
"Itu bukan rumahmu, apalagi rumah kita. Itu rumah ibumu di mana dia bebas melakukan apapun di sana termasuk menyakitiku dan memperdengarkan kata-kata umpatan di depan anakku!" suara Hana mulai meninggi.
"Jika kita ngontrak, pengeluaran kita akan semakin banyak. Kamu tahu sendiri untuk makan saja kita masih dibantu ibuku," keluh Irawan.
Memuncak emosi Hana mendengarnya.
"Pulanglah sendiri! Pulang! Pulanglah ke rumahmu dan menyusulah kembali kepada ibumu! Silakan kalian berdua melukai hatiku sampai aku mati! Tapi tak akan kubiarkan kalian mengganggu tumbuh kembang anakku! Uang habis bisa dicari lagi, usaha bangkrut bisa dimulai lagi, tapi SEKALI SAJA SALAH MENDIDIK ANAK, SEUMUR HIDUP TAK AKAN PERNAH BISA DIPERBAIKI. Pulanglah! Ceraikan aku!" teriak Hana di muka Irawan.
Irawan terhenyak.
Baru kali ini terucap kata cerai dari mulut Hana.
Irawan balik kanan, pergi menutup pintu tanpa mengucap sepatah kata.
***
Tepat ketika azan isya' berkumandang, pintu kostnya diketuk orang. Irawan datang lagi membawa dua ransel, tas mendaki gunungnya yang besar, dan sebuah kresek hitam.
"Ini baju-bajuku, dan semua perlengkapanku," kata Irawan sambil meletakkan ranselnya ke lantai. Hana mengambil kresek hitamnya, ternyata isinya nasi, lauk pauk, minumam botolan, susu UHT, dan beberapa cemilan untuk Bobi.
"Kita kost di sini, sambil mencari pandangan membeli rumah sendiri." ucap Irawan. "Aku akan beli sepeda motor bekas untuk pergi ke kantor. Mobil akan aku jual, uangnya semua untuk kamu, bisa kamu pergunakan sebagai DP rumah yang kamu inginkan. Maafkah aku, yang tak pernah mendengarkan keluh kesahmu tentang ibuku."
Hana memeluk suaminya erat. Air matanya menetes-netes tak terbendung. Di kamar kost inilah, pertama kalinya sejak menikah, dia merasakan apa yang dinamakan "rumah". Rumahnya bukanlah bangunan tembok tinggi berhiaskan perabot antik. Bukan pula sebuah istana yang dipenuhi polesan marmer. Rumahnya adalah sebuah tempat dan waktu di mana dia bisa merawat anak dan suaminya dengan baik, sesuai keinginannya.
"Besok kita pamitan pada ibuku dan ibumu dulu ya, kita harus bilang ke orangtua kalau sekarang kita ngontrak sendiri. Nanti kita cari suster untuk menemani ibuku," kata Irawan. Hana mengangguk.
"Bu, cucu... cucu...!" kata Bobi yang terbangun karena mendengar suara ayahnya. Bobi memegang kotak susunya. Bobi melihat sekeliling kamar barunya, mungkin dia merasa bingung karena rumahnya berbeda, tetapi tak bertanya apapun.
"Sini, biar Ibu yang buka."
Hana menuang susu ke dalam dua gelas. Satu gelas kecil untuk Bobi, satu gelas besar untuk Irawan. Hari-hari selanjutnya sudah menunggu untuk diisi dengan aktivitas-aktivitas yang produktif.
TAMAT
Keterangan:
Ngilo = bercermin.
Nglombrot = tidak terawat (wanita).
Prigel = cekatan.
Ra nduwe uteg = tidak punya otak.
- Seorang Balita Begitu Menyayangi Adiknya, Faktanya Menyentuh Hati
- Usianya Baru 11 Tahun, Anak Ini Harus Cari Nafkah Untuk 3 Adiknya
- Demi Aku, Ibu Rela Bertahan Bertahun-Tahun Lamanya dengan Ayah yang Mendua
- Salahku Apa, Sampai Mamah Tega Meninggalkan Keluarga Kita demi Pria Lain
- Tuak yang Bikin Mabuk, Modal Ibu Sekolahkan Aku Sampai ke Perguruan Tinggi
(vem/nda)