“Sungguh aku heran dan tak habis pikir, kenapa lelaki seperti dia bisa berbuat sedemikian rupa?”
Ini kalimat seorang janda. Seorang janda dengan satu anak dalam usia hampir 35 tahunnya yang mencurahkan isi hatinya dalam sebuah kesempatan diskusi on line harian di grup diskusi sebuah komunitas single parents yang setiap hari diramaikan oleh curhat dan saling berbagi cerita di antara anggotanya. Dia sama sekali bukanlah tipe janda ‘murahan’, mudah digoda dan kemudian dengan gampang terbujuk rayuan para lelaki yang terlanjur meyakini stigma tentang para janda dan ingin bertaruh untuk mendapatkan hati seorang janda. Bahkan jika dilihat sekilas, dia adalah perempuan yang berkualitas. Bagaimana tidak? Dia adalah seorang dokter spesialis dengan posisi mapan di sebuah rumah sakit daerah di sebuah pulau di Indonesia. Jadi sebenarnya, uang bukanlah hal yang sulit untuk didapatkan, manakala perusahaan farmasi dan obat – obatan saling berebutan untuk mendapatkan komitmennya dalam praktik ‘penggunaan obat’ untuk pasien – pasien yang datang kepadanya mencari kesembuhan. Namun seorang pengusaha batu bara entah kenapa kemudian ‘gagal paham’ dan ‘salah fokus’ dalam usahanya untuk mendapatkan cinta sang janda dengan menawarkan diri untuk menjadi pasangan resminya. Kenapa ‘gagal paham’ dan ‘salah fokus’? Ini karena Si Pengusaha masih beristeri dan juga beranak dua.
Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dan pemakluman kita bersama bahwa menjadi janda bukanlah sebuah kondisi yang nyaman bagi hampir semua perempuan. Dan hal yang tidak mengenakkan ini juga muncul disebabkan oleh memasyarakatnya stigma tentang diri mereka yang relatif lebih banyak buruknya daripada sisi positifnya. Kesepian, ‘gampangan’, mudah untuk dibawa ke ranjang, bahkan tak memiliki etika dan batas – batas kesusilaan, adalah sebagian contoh stigma yang dijatuhkan kepada para janda. Kenapa stigma tentang janda sudah sedemikian kejamnya memberikan gelar dan predikat buruk kepada mereka Berikut beberapa penjelasannya.
Advertisement
1. Perempuan selama ini dinilai lebih lemah, mudah menyerah dan gampang tak berdaya.
Janda yang terlahir dari sebuah perceraian ataupun karena wafatnya pasangannya, dinilai sebagai sosok yang rapuh, mudah terpengaruh, tak berdaya membutuhkan pelindung untuk bergantung atau sekedar ‘bahu untuk bersandar’ sebentar. Mungkin pemahaman ini sudah ketinggalan jaman atau kadaluwarsa bahkan salah kaprah. Hampir lebih dari 3 tahun berkomunitas dengan mereka, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa para janda tidaklah selemah yang dibayangkan orang selama ini. Justru mereka lebih kuat daripada lelaki jika dalam kondisi dan situasi yang sama, saat harus berhadapan dengan kendala dan permasalahan rumah tangga, terutama yang berkaitan dengan anak – anak mereka. Itulah kenapa, anak – anak korban perceraian, mayoritas diberikan hak asuhnya kepada para ibunya, para perempuan yang disebut sebagai janda. Jika pertimbangannya adalah masalah seks, janda atau perempuanpun jauh lebih kuasa mengendalikan diri terhadap satu kebutuhan ini dibandingkan para lelaki dalam kondisi yang sama. Karena sudah menjadi kodratnya, perempuan memiliki cara tersendiri untuk ‘lari’ dari rongrongan keinginan akan satu hal ini. Pernahkah mendengar atau membaca kisah, janda memperkosa anak lelakinya karena lama menjanda?
2. Janda mudah tergoda dengan uang dan kekayaan, karena mereka sangat membutuhkan, sehingga mereka gampang terpikat dengan dua umpan ini.
Satu lagi pemahaman yang keliru berasal dari stigma yang terlanjur diyakini oleh masyarakat kita adalah, bahwa ; janda adalah perempuan yang mata duitan. Iya, mungkin saja ada sebagian janda yang bercerai dengan alasan ekonomi. Betul, si janda kemudian justru harus bekerja atau berusaha sendiri untuk menghidupi dirinya sendiri dan anak – anaknya. Namun sebagian besar janda justru akan mempertahankan martabat keperempuannya dengan sekuat tenaga dan sepenuh jiwa. Mereka tak akan mudah tergiur dengan uang, karena keyakinan hidup mereka telah berubah setelah bangkit dari perceraiannya atau wafatnya pasangannya, bahwa; mereka mampu menghidupi diri mereka sendiri dan anak – anaknya. Bagian tersedih, terluka, terpuruk, sudah mereka lampaui dan tinggalkan di belakang mereka sejak lama. Mereka adalah individu – individu berkepribadian kuat yang tak mudah untuk dimanipulasi dengan uang dan kekayaan. Akan lebih mudah menggoda perempuan lain yang belum berpengalaman dibandingkan dengan mencoba memikat seorang janda. Dan jika ada cerita janda mudah dipikat dengan uang dan kekayaan, itu hanyalah sebagian kecil dan contoh nyata yang tidak bisa digunakan sebagai patokan untuk memberi gelar dan menyematkan predikat kepada para janda sebagai; perempuan matre yang mudah tergoda uang dan harta benda. Toh, jauh lebih banyak jumlah gadis ‘baru gede’ yang lebih mudah tergoda oleh HP mahal atau sekedar diajak bertamasya untuk berhura – hura sya la la?
3. Janda akan melampiaskan dendam kepada pasangan sebelumnya dengan mudah berganti – ganti pasangan.
Duh, ini hanya tema umum sebuah kisah klasik dari balik kelambu dunia prostitusi yang sering dipakai oknum – oknum PSK sebagai pembenaran atau justru hanya sebuah dongeng akal – akalan agar orang lain memaklumi aksinya. Siapa sih yang tak akan tersentuh mendengar kisah epik nan dramatis perempuan korban lelaki yang lalu membalaskan dendamnya dengan menjadi penggoda dan lalu memanipulasi para lelaki? Kisah yang cocok dan sering dijadikan cerita film atau sinetron yang ironisnya lalu diyakini arti dan makna kebenarannya dalam sebuah stigma. Sebagian besar janda dalam komunitas single parents yang selama ini saling berbagi kisah dan pengalaman, justru memiliki personalitas yang kuat sekalipun mereka dahulunya adalah para korban lelaki atau pasangannya dalam rumah tangga yang koyak. Mereka kuat dalam berkeyakinan, mereka tegas dalam mengutarakan pendapat dan mereka juga justru memilih untuk tak membalas dendam dalam bentuk apapun. Karena mereka yakin, keberhasilan untuk tetap hidup dan menghidupi dalam kesendirian dan keterbatasan, justru menjadi semacam pembuktian dan wujud ‘pembalasan dendam’ tersendiri yang tak harus dinyatakan dalam perkataan atau perbuatan.
See? Tidak semua janda mudah untuk diperdaya. Bahkan sebenarnya yang terpedaya di sini adalah para lelaki, yang selama ini terbuai oleh male chauvinism yang membalut budaya patriarki dan meyakini dongeng – dongeng bernuansa stigma atas status dan keberadaan para janda. Mereka para perempuan kuat yang tak punya pilihan lain selain menjalani hidupnya sendiri bersama anak – anaknya.
(vem/apl)