Kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Surat untuk Ibu ini mengingatkan kita akan sebuah hal yang penting. Soal kehilangan tapi juga belajar mengikhlaskan.
***
Dengan nilai gaji bulanan yang tak menentu, Rp900 ribu hingga Rp1,5 juta per bulan, hidup di kota sekaliber Makassar sungguh tak masuk akal jika tidak dengan cara militan menyiasatinya. Terkadang sengaja “puasa”, makan tak genap 3 kali sehari dengan alasan sibuk kerja sehingga tak cukup waktu untuk meluangkannya padahal sengaja menanti malam, barulah makan ala kadarnya agar tidur bisa sedikit lelap, modal untuk beraktivitas esok harinya.
Perih memang, tapi itu bukan alasan untuk tidak menyisihkan gaji itu buat sewa mobil pulang kampung, menjenguk Mama', begitu kupanggil ibuku, paling sedikit dua kali sebulan. Sewa mobil sekali jalan untuk pulang pergi Rp140 ribu artinya jika dua kali jalan habiskan Rp280 ribu ditambah oleh-oleh camilan atau buah-buahan buat Mama’ dan keponakan agar tidak pulang dengan tangan kosong, paling sedikit Rp60 ribu sehingga yang disisihkan dalam sekira Rp340 ribu. Itu kalau dalam kondisi Mama’ sehat, kalau lagi sakit maka akan berkali-kali pulang kampung dan berhari-hari menemani Mama’ karena kebetulan saya kerja swasta yang tidak begitu terikat waktu. Konsekuensinya, penghasilan dalam sebulan pun terjun bebas.
Itu semua saya anggap uang mati. Bagiku itu tak seberapa dengan pengorbanan Mama’ dampingi Bapak membesarkanku dan saudaraku yang lain, dengan gaji pas-pasan dari bapak yang seorang PNS saat menyekolahkan kami berempat hingga ke perguruan tinggi penuh daya upaya.
Advertisement
Seiring perkembangan zaman, teknologi komunikasi kian berkembang. Salah satunya adalah fasilitas Video Call (VC). Itulah pengganti waktu pertemuan dengan Mama’ meski sesekali tetap harus pulang kampung. VC dengan Mama’, tiga kali sehari yakni pagi, siang dan malam, ibarat minum obat.
Ada-ada saja yang diceritakan Mama’ saat VC. Tingkah lucu cucu-cucunya termasuk ulah si cucu bungsu berusia 2,5 tahun jika lagi tantrum, marah meledak tak jelas. Juga tentang kelelahan adik bungsuku yang berhenti bekerja karena memilih mengurus orang tua yang mulai sakit-sakit dan fokus menjadi ibu merawat dua anaknya yang mulai memasuki masa-masa emasnya.
Saat VC, akan terlihat jelas kalau Mama’ lagi sehat atau kurang enak badan. Mama’ juga bisa melihatku apakah sudah tiba di rumah kontrakan atau masih beraktivitas di luar, lagi lelah atau lagi penuh semangat. Kami berdua melepas kerinduan, berbagi kesah melalui VC.
Dan tibalah VC terakhir. Saat itu Jumat siang, Mama’ menelepon menggunakan ponsel adikku. Mama’ lagi bermain dengan cucu-cucunya di teras rumah. Terlihat wajah Mama’ begitu berbeda. Wajahnya begitu ceria dan terlihat merona merah jambu.
Mama’ tertawa saat kusampaikan kalau Mama’ hari ini begitu cantik. Kata Mama’ saat itu, semoga cantik terus yah... Rupanya itu adalah VC terakhir dengan Mama’ belahan jiwaku ini. Jelang Maghrib, adik menelepon agar saya segera pulang karena Mama’ masuk rumah sakit, ditengarai kena stroke.
Luruh semua kekuatan tubuh usai menerima telepon itu. Lutut terasa tak kuasa menopang tubuh yang memberat tanpa daya. Kuhentikan sejenak ketikan berita, mengumpulkan kekuatan dan kesadaran dan istighfar, memohon ampun berkali-kali. Duh Tuhan, apakah ini tanda Mama’ akan pergi setelah sekian lama sakit tua?
Tergopoh-gopoh kalimat terakhir di ketikan berita kuakhiri dan mengemasi laptop. Teman menawarkan diri untuk mengantar ke terminal mengambil mobil menuju kampung. Pukul 23.00 WITA tiba di rumah sakit, kondisi Mama' memprihatinkan antara sadar dan tidak. Kupeluk belahan jiwaku ini, tangis pecah bersama adikku yang tengah menunggui. Sakit rasanya hati ini.
Kurang lebih 12 hari Mama’ dirawat mulai dari rumah sakit di kampung hingga dirujuk ke Makassar. Di Makassar, Mama’ berjuang dan bertahan. Sesekali sadar dan mengajak bercanda tapi kemudian tak sadarkan diri hingga empat hari lamanya dan akhirnya dinyatakan telah pergi oleh tim dokter yang tiada henti-hentinya memantau kondisi Mama’. Tangis kembali pecah, dekapan dua tanganku sendiri di dada ini tak mampu mengurangi sakit, air mata pun mengaburkan semuanya. Namun saya tetap harus berdiri, bangkit dan mengemasi barang bersama saudara untuk kembali ke kampung, mengantar Mama’ ke peristirahatan terakhirnya.
Mama’... di sini kusendiri, bapak sudah pergi lebih dulu dua tahun lalu dan kini Mama’. Kenangan wajah ceria memerah jambu itu takkan pernah hilang dalam ingatan. Kini tak ada lagi yang menyemangati di pagi hari agar segera bangun dan keluar kerja, tak baik perempuan malas bangun pagi, tak ada lagi yang menelepon, menanyakanku jangan pulang ke kontrakan malam-malam. Kebiasaan dan cerita-ceritanya hilang kini, duh perih.
Benar-benar sendiri rasanya, meski berkali-kali adik bungsuku menelepon mengingatkan kalau saya tidak sendiri, masih ada saudara dan keponakan yang menanti. Mama’, hanya doa yang bisa kukirim dan senantiasa mengingat kebersamaan kita untuk meraih kembali semangat hidup yang mulai bangkit meski dengan tertatih-tatih.
Mama’... maafkan saya karena hingga tutup usiamu tak ada yang bisa kuberi, termasuk ibadah haji yang menjadi puncak harapanmu di hari tua.
Mama’... kini hanya doa terbaik yang bisa kuberi dan menjaga nama baik keluarga dengan tetap seperti Ika yang Mama’ inginkan.
- Ibu, Kau Sungguh Menyebalkan!
- Ibu Juga Memiliki Sisi Kesepiannya Sendiri
- Ibu, Hijabkan Dirimu
- Aku Bahagia Hidup dengan 2 Ibu, Jadi Tak Perlu Memintaku Memilih Salah Satu
- Ibu Bukan Darah Dagingku, Tapi Kehadirannya Bagai Malaikat di Hidupku
(vem/nda)