Kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Surat untuk Ibu ini menyuarakan isi hati banyak anak perempuan lainnya. Tentang sosok ibu yang seringkali membuat kita kesal tapi sebenarnya yang dilakukannya adalah untuk kebaikan kita sendiri.
***
“Kalau mau tidur sikat gigi dulu!”
“Jangan main hujan-hujanan nanti kamu sakit!”
“Jangan terlalu dekat baca bukunya, nanti matanya minus loh!”
Jangan makan ini, jangan pakai itu, jangan pergi ke sana, jangan terlalu ini, jangan terlalu itu, dan masih banyak larangan-larangan lain yang dibuat oleh ibuku. Semua itu sudah ibu lakukan, semenjak aku kecil. Termasuk larangan-larangan yang begitu menjengkelkan. Dan aku selalu memberi label ibu sebagai seorang yang cerewet dan menyebalkan.
Ibuku adalah ratu cerewet.
Benar, ibuku sangat cerewet sekali. Pernah suatu hari aku ketiduran dan lupa tidak menggosok gigiku. Maka ibu dengan tegasnya menggendongku sampai ke kamar mandi lantas menyuruhku untuk sikat gigi. Ibu selalu beralasan bahwa jika aku malas menggosok gigiku, maka gigiku akan berlubang dan nantinya akan menyebabkan sakit gigi. “Sakit gigi itu sakit sekali, makanya kamu harus rajin sikat gigi, jangan malas menyikat gigi!” begitulah ceramah ibu yang selalu diulang-ulang seperti iklan di televisi.
Advertisement
Ibuku sangat selektif dalam memilihkan menu makanan untukku. Aku diwajibkan untuk selalu menghabiskan makananku. Terlebih bila itu sayuran. Ibu tak pernah luput menyertakan sayur mayur dalam menu makanku. Jangan pernah berharap aku bisa menolaknya, karena ibu akan mengeluarkan mata jahatnya jika aku berusaha menghindar untuk memakan sayuran itu.
“Sayuran itu baik untuk daya tahan tubuh kamu, biar kamu selalu sehat!” saat berbicara seperti itu, ibuku sudah seperti ahli gizi paling hebat sejagad raya ini. Jadi percuma saja untuk berdebat dengan ibu.
Ibuku akan terus mengomel jika aku terlalu lama menonton televisi. Meski saat itu adalah acara favoritku, namun dengan berat hati aku harus mematikan tombol power di televisi. Lantas dengan malasnya aku harus melangkah menuju kamarku untuk belajar. Ini sungguh menjengkelkan bukan? Tapi aku tak berdaya melawan ibu. Karena ibu akan duduk di belakang meja belajarku sambil menemaniku belajar. Ibu akan tetap berada di sampingku, sampai aku selesai mengerjakan tugas-tugas sekolahku dan kemudian dia mengecek lagi pekerjaan rumahku itu. Semua peralatan dan buku-buku yang harus aku bawa untuk sekolah, sudah ibu pastikan tak ada yang tertinggal. Ibuku sangat sibuk setelah bekerja seharian di dapur dan membereskan rumah, tapi ibu tak pernah sekalipun membiarkanku melewati malam tanpa sebuah dongeng darinya.
Bila aku bermain terlalu lama hingga lupa waktu biasanya saat pulang ke rumah, ibu akan memasang wajah yang menyeramkan. Ibu akan memarahiku dan kemudian kembali berceramah tiada henti. Ibu sebenarnya tidak melarangku untuk bermain bersama teman-temanku, hanya saja ibu selalu menyuruhku untuk ingat waktu bila bermain. Karena biasanya bila aku terlalu lama bermain maka aku akan kelelahan saat malam hari dan akhirnya aku langsung tertidur tanpa belajar dan mengerjakan tugas sekolahku.
Ibuku seseorang yang tidak fleksibel seperti ibu-ibu lainnya. Dia sangat protektif kepadaku. Apalagi saat aku mulai beranjak menjadi gadis remaja. Ibu akan mulai bertanya dengan siapa saja aku berteman. Ibu akan mewawancaraiku tentang agenda harianku selama di sekolah. Ibu akan curiga dan terus bertanya bila aku terlambat pulang sekolah.
Larangan demi larangan semakin ketat ibu berikan. Entah itu larangan keluar malam, larangan menginap di rumah teman, larangan memakai pakaian minim, larangan berpacaran,dan banyak larangan-larangan lainnya.
“Jadi anak perempuan itu harus hati-hati, jangan sampai salah bergaul! Sekali salah langkah maka hanya akan menyisakan penyesalan yang tiada gunanya,” berkali-kali ibu menasihatiku untuk selektif dalam memilih teman.
Aku pernah berpikir, kenapa ibuku sangat cerewet sekali mengenai kehidupanku? Padahal aku sering melihat ibu-ibu dari temanku tidak seperti itu. Mereka terlihat biasa saja saat melihat anak perempuannya itu keluar malam, pacaran, menonton TV, dan sebagainya. Namun ibuku? Ah, dia begitu ketat sekali menjagaku.
Dia melindungiku seolah aku merupakan barang paling berharga dalam hidupnya. Dia tak ingin aku terluka. Tak ingin aku sakit. Tak ingin aku salah dalam memilih jalan. Tak ingin aku menghancurkan masa depanku. Ibu selalu berharap yang terbaik untukku. Memberikanku semua hal yang baik untukku, meski terkadang itu sangat menjengkelkan sekali.
Kini, ibuku sudah menua. Aku sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa. Aku bukan lagi gadis kecil ibu. Aku telah pergi dari rumah dan kini menjadi istri orang. Namun entah mengapa, kini aku justru sangat rindu dengan omelan ibu. Aku sangat rindu dengan nasihat-nasihat ibu yang dulu sering aku abaikan begitu saja. Sungguh, aku sangat rindu pada ibuku yang selalu memarahiku jika aku berbuat salah. Rindu pada ibuku yang cerewet.
Saat aku sudah jauh dari ibu, aku baru merasa bahwa selama ini, apa yang dilakukan ibu untukku semata-mata hanya untuk kebaikanku. Ibu begitu peduli padaku. Dia ingin yang terbaik untuk hidupku. Jika aku diberi kesempatan sekali lagi, sungguh aku ingin sekali menjadi gadis kecil ibu yang bermandikan kemanjaan. Terima kasih, telah menjadi ibu terbaik di dalam semesta hidupku.
- Ibu Juga Memiliki Sisi Kesepiannya Sendiri
- Ibu, Hijabkan Dirimu
- Aku Bahagia Hidup dengan 2 Ibu, Jadi Tak Perlu Memintaku Memilih Salah Satu
- Ibu Bukan Darah Dagingku, Tapi Kehadirannya Bagai Malaikat di Hidupku
- Ibu, Terima Kasih Telah Menjadi Wakil Tuhan Untukku di Dunia Ini
(vem/nda)