Kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Ayah Aku Rindu ini begitu menyentuh hati. Ada kerinduan dan perasaan kesepian, tapi satu-satunya pilihan yang tersedia adalah bertahan.
***
Hari ini adalah pertengahan bulan November, titik dimulainya musim penghujan. Musim yang selalu membuatku bingung, harus senang atau sedih. Satu sisi aku merasa musim ini adalah waktu terbaik untuk mengenakan pakaian tebal yang hampir tidak pernah bergeser di tumpukan baju dalam lemari. Atau waktu dimana kopi dan mi instan menjadi menu terbaik yang pernah ada. Atau waktu yang tepat untuk menanti waktu Natal, yang sama artinya dengan mendapat amplop merah dari keluarga jauh yang pulang ke kampung halaman.
Tapi di sisi lain, ini adalah waktu di mana orang-orang akan berkumpul dengan orang yang mereka cintai. Pasangan atau keluarga. Membuat komunitas dan tempat berkumpul sehari-hari menjadi sepi. Membuat aku jadi sendiri. Dan aku tidak suka itu.
Seminggu ini kesibukanku sangat banyak, membuatku nyaris kehilangan waktu istirahat. Kesehatanku mulai menurun, ditandai dengan datangnya musuh yang paling aku benci, flu. Seharusnya aku menghibur diri di akhir pekan saat kuliah dan kerjaku libur.
Akhir pekan seperti ini selalu jadi pilihan semua orang untuk menghabiskan waktu dengan orang yang mereka sayangi. Pergi jalan-jalan atau menonton bioskop, atau aktivitas seru lain. Dalam kasusku, menyeruput segelas teh ditemani sepiring roti kelapa bersama kakek dan nenek masih menjadi aktivitas terbaik. Yang ini aku suka, hanya saja masih ada yang aku takutkan. Malam.
Advertisement
Orang berusia lanjut seharusnya punya kebiasaan yang sama, kurasa. Akan buruk bagi kesehatan jika tidak memelihara pola hidup yang benar. Mereka harus menaati jadwal kapan seharusnya makan, istirahat atau berolahraga, persis seperti yang dikatakan dokter. Itu baik, aku setuju kakek dan nenekku menekuni jadwal hariannya dengan cermat. Karena itu, setiap hari akhirnya yang selalu sama. Aku menjadi satu-satunya yang terjaga selepas jam delapan. Hari ini pun demikian. Sebelum tidur tadi, nenek mengingatkanku untuk istirahat juga, dia bilang aku terlihat tidak sehat.
Tubuhku terasa makin dingin, tapi termometer menunjukkan sebaliknya. Tenggorokanku bahkan terasa aneh setiap kali kugunakan untuk menelan sesuatu. Nenek benar, aku seharusnya istirahat. Tapi itu semua sama sekali tidak ada hubungannya jika mataku tidak mengantuk.
Suara hujan dan aroma khas tanah yang basah karenanya kemudian menarik perhatianku. Aku keluar dari rumah dan duduk di teras, tak lupa dengan secangkir teh dan sedikit roti kelapa, lagi. Ponselku berdering, mengambil alih perhatianku. Tulisan yang tertera di layar membuatku meletakkan cangkirku, meninggalkan benda hangat itu sepenuhnya. Mencolek gambar gagang telepon berwarna hijau di layar.
“Halo,” sapaku.
“Halo, Ayu. Ini Mama, sayang. Ayu sedang apa?” jawab suara wanita di ujung sana.
“Minum teh, Ma. Mama sedang apa?”
“Mama sedang menyiapkan kamar tidur adik-adik. Oh ya Yu, Mama ingin bicara sesuatu. Kamu tidak sedang sibuk, kan?”
“Ada apa, Ma?”
“Natal tahun ini sepertinya Mamah belum bisa pulang lagi, sayang. Adikmu Accel terlibat dalam drama, Mama harus menemani dia.”
“Tidak bisa Om Edward saja yang menemani, Ma? Tahun ini aku dipercaya menjadi kepala tim EO. Aku harap Mama bisa ikut acara pertama yang aku buat.”
“Ehey, Mama kan sudah bilang jangan panggil Papa begitu. Maaf ya sayang, adikmu itu bisa apa kalau tidak ada Mama? Tahun depan Mama janji akan pulang. Satu lagi sayang. Adikmu Inez ingin bicara.”
Aku diam, kemudian suara perempuan yang lebih muda terdengar di telingaku, “Halo kakak. Ini sudah pertengahan bulan lho, kakak belum transfer SPPku dan Bezal. Aku tidak bisa minta pada Papi, dia harus mengurus Dian, Accel juga Gean. Mereka bertiga benar-benar menghabiskan banyak uang. Kami berdua juga bingung kak, belakangan mulai sering diberi angket tentang sekolah lanjutan. Kami harus melanjutkan sekolah ke SMA mana? Apa kami ikut kakak saja ke Jawa, ya?”
“Maaf, pekerjaan kakak belakangan ini lumayan banyak sampai lupa. Besok kakak akan transfer. Sekolah di Jawa? Itu juga bagus. Bicarakan dengan orang tua dulu. Nanti kalau semua sudah jelas baru bicara dengan kakak. Oh ya, sebentar lagi Natal. Kamu tidak ingin pulang kampung?”
“Tidak bisa, kak. Papi berencana mengajak kami jalan-jalan. Ini juga karena pementasan Accel. Bagaimana dengan hadiah? Tahun ini juga ada hadiah Natal dari kakak, kan? Kami sudah terima hadiah Natal dari Mami, baju yang sama untuk dipakai malam natal nanti. Tinggal tunggu hadiah dari kakak.”
“Oh ya? Wah kalian pasti terlihat sangat bagus dengan seragam. Iya. Kakak akan kirim hadiahnya nanti saat natalnya tiba. Mamimu di mana? Kakak ingin bicara.”
“Tidak bisa kak. Mami sedang menemani Gean tidur. Anak itu baru saja berhenti rewel. Pulsa Mami bisa habis, kak. Aku matikan dulu, ya? Daaa!"
Sambungan terputus sebelum aku sempat menjawab. Kuletakkan ponselku dan menghela napas kemudian. Ini juga membuatku bingung, seperti musim hujan. Tidak tahu harus senang atau tidak. Suasana hatiku menjadi sangat aneh, tidak berhasil kupahami dengan baik. Tubuhku terasa semakin dingin, tapi aku masih belum mengantuk dan terlalu enggan masuk untuk mendapati kebosanan lain. Kepalaku mulai memikirkan banyak hal.
Kupejamkan mataku dan membuat tubuhku bersandar sepenuhnya pada sandaran kursi. Menghirup dalam-dalam aroma tanah dan udara yang cukup dingin. Mencoba mengusir begitu banyak hal yang berjejal di kepalaku. Kemudian berakhir dengan helaan napas lagi. Aku gagal. Aku meraih ponselku dan membuka gambar, hasil jepretan kameraku kepada sebuah foto lama beberapa tahun lalu.
“Ayah, aku ingin sesuatu, boleh?” Aku bertanya pada gambar di ponselku, seperti orang gila. Tentu saja tidak ada jawaban yang kudapat.
“'Ayu, apa kamu baik-baik saja?' Aku mau Ayah bertanya begitu.”
“Ayah, apa permintaanku berlebihan? Aku... aku... ini benar-benar...”
Sesuatu yang besar terasa seperti menghantam dadaku dengan keras, pikirku mengutuk dirinya sendiri, menghardik kebodohanku. Kemudian mataku menjadi satu-satunya titik yang terasa hangat di tubuhku, mengeluarkan banyak air yang sama hangatnya.
Aku tidak paham kenapa perasaanku seperti ini. Keluargaku utuh, ada seorang ibu, seorang ayah, dan lima orang adik. Juga sepasang orang tua ibuku yang menyayangiku. Aku bisa kuliah dan bekerja dengan baik, mendapat teman dan mitra kerja yang menyenangkan. Tidak kekurangan juga dalam keuangan. Seperti tidak ada alasan untukku merasa ada sesuatu yang kurang. Tapi kenyataannya lubang besar di dadaku tetap tidak bisa tertutup.
Aku tidak mengerti, kenapa kalimat ‘apa kamu baik-baik saja?’ menjadi kalimat yang seperti akan terdengar sangat menyenangkan. Kurang beruntungnya, entah Mama atau seseorang yang seharusnya kupanggil Papa itu tidak pernah mengucapkannya. Kemudian, apakah Ayah kandungku, yang mengingat namanya saja sudah membuatku tidak bisa menahan air mata, pernah sekali saja mengucapkannya? Sayangnya, Ayahku sejatinya lebih buruk.
Laki-laki itu pernah menjadi bagian terpenting dalam hidup Mama sekurangnya dua puluh tahun lalu, hingga hadirlah aku. Menurut cerita Nenek, dia bahkan berhenti membelikan Mama alat rias, karena selalu membeli roti kesukaanku. Tak peduli nasihat semua orang yang mengingatkannya bahwa aku kelak mungkin akan jadi anak yang manja karena pembiasaannya. Saat penyakit mulai menghabisinya secara perlahan, dia sama sekali tidak mengkhawatirkan keadaannya. Hanya menanyai Nenek, apakah persediaan roti untukku masih dan apakah aku sehat-sehat saja. Bahkan di saat terakhir, dia memesan banyak hal untuk dilakukan Nenek. Menyuruh orang tua itu melakukan tugas yang tidak bisa dilakukannya sendiri. Seperti tahu bahwa waktunya tidak akan lama.
Sama kejamnya dengan Ayah yang tidak menjawab tak peduli sebanyak apapun aku berbicara padanya, aku bahkan tidak mengingatnya. Tidak ingat bagaimana rasa tangan besarnya menyentuh kepalaku, bagaimana hangat pelukannya, atau lagu apa yang sering dia nyanyikan untukku setiap sebelum tidur. Tuhan memanggilnya sebelum aku pandai mengingat sesuatu. Dia mengambil malaikatku ini tanpa menyisakan apapun.
Tentu semuanya tidak akan sama jika dia masih di sini. Dia pasti akan terlebih dahulu pasang badan untuk semua kesulitan yang sudah atau akan muncul. Menjadi tameng dan pahlawan yang tidak bisa dibobol pertahanannya. Tidak akan membiarkan aku menjadi pihak yang memikul.
Tapi kenyataan selalu menyuguhkan sesuatu yang berbeda. Meskipun begitu, aku tetap bertahan dengan baik dengan satu keyakinan bahwa setidaknya ada satu orang yang mencintaiku dengan tulus tanpa syarat, yang tidak akan senang melihat aku menyerah. Hanya saja, situasi seperti hari ini terkadang muncul ke permukaan. Aku merindukannya.
Memang tidak ada yang aku dapat. Situasi semacam ini justru memperjelas fakta bahwa menanggung sesuatu sendiri itu menyakitkan. Di sisi lain, ini juga menjadi semacam bukti bahwa ikatan antara kami memang benar ada, bahkan kematian pun tidak bisa membuat sekat. Oleh karenanya, merindukannya bukan hal yang buruk meski tidak bisa juga disebut menyenangkan.
Jika orang lain seperti musim hujan yang membuatku sulit menentukan apakah aku sedang berbahagia atau bersedih, Ayah ada di tempat yang sedikit lebih baik. Dia seperti roti kelapa, yang dulu ketika gigiku belum tumbuh kumakan setelah direndam dengan sedikit air hangat. Yang menemani hampir seluruh hari dalam hidupku dan tetap menjadi kesukaanku entah sampai kapan. Menyenangkan. Membahagiakan. Membuatku merasa amat dicintai meski kini tidak ada lagi keberadaan atau hal yang kuperoleh darinya. Bahkan ketika aku menangis saat merindukannya, sejatinya itu bukan tangisan. Cinta. Sepenuhnya adalah cintaku padanya, sebagaimana dia juga mencintai aku.
- Saat Ayah Memilih Wanita Lain, Kuingat Malam Itu Ibu Bilang Ingin Mati
- Kata-Kata Ini Seharusnya Kuungkapkan Saat Ayah Masih Hidup
- Sudah 15 Tahun Kita Berpisah, Apakah Ayah Sehat-Sehat Saja?
- 19 Tahun Lalu, Telepon yang Berdering Itu Mengabarkan Kepergian Bapak
- Ayah, Kepergianmu Kuikhlaskan Meski Banyak Cerita Kita yang Belum Usai
(vem/nda)