Kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Ayah Aku Rindu ini mewakili perasaan hati banyak anak perempuan yang telah berpisah dari ayahnya sejak kecil. Rasa rindu yang kemudian hanya bisa dipendam sendiri.
***
“Because father is a daughter’s first love." Kalimat itu seolah menamparku, aku bingung, aku ragu. Ya, begitulah kata banyak perempuan, “Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya.” Lantas bagaimana denganku? Apakah aku ditakdirkan untuk hidup tanpa cinta? Atau aku ini bukan seorang perempuan?
Kalau banyak orang berkata bahwa ayah adalah cinta pertama, maka aku menyadari bahwa cinta pertamaku telah tiada. Entah, berat memang. Empat belas tahun sudah kulewati pagi berganti malam tanpa dirinya. Iya dia, cinta pertamaku.
Masih kuingat dengan jelas, tepat di saat aku akan menginjak bangku sekolah dasar, ayah dan ibuku berpisah. Entah apa alasannya, tetapi mereka selalu mengatakan bahwa ini yang terbaik. Aku pun terpaku, apakah perpisahan itu hal yang baik? Oh, mungkin baik karena tidak akan ada lagi gelas yang pecah di dapur, tidak ada lagi suara yang saling membentak di tidur malamku yang kukira itu hanya mimpi, tidak ada lagi bantingan pintu yang keras, dan tidak ada lagi air mata yang menetes di pipi wanita yang selalu menimangku di malam hari.
Akhirnya semua keresahan yang terjadi di rumah pun berlalu. Aku pergi bersama ibu dan kakakku, meninggalkan hunian di tepi sungai yang luas itu. Tiada lagi kicauan burung sore hari, berisiknya suara kapal di malam hari, dan tentunya sampai jumpa sahabatku, jangan lupa sisir rambut Barbie-mu itu!
Dunia baru pun dimulai. Suasana baru, sahabat baru, dan keceriaan baru! Hari yang kunanti-nantikan pun tiba. Seragam yang sudah ibu beli sejak lama kini sudah terpakai di badanku, sepatu baru dan tentunya tas pink beroda pun siap menemaniku.
Sesampainya di sekolah, kebahagiaanku sedikit terhapus. Bagaimana tidak? Kulihat di seberang sana, anak-anak sebayaku berada di antara gandengan dua orang dewasa. Kulihat tangan kiriku, masih menganggur, tiada yang menggandeng. Seketika aku teringat, dia yang berjanji untuk mengantarku sekolah nanti, menemaniku dan menyuapiku, semua hanya kebohongan belaka! Tapi bagaimanapun, aku mencintainya. Bahkan selamanya walau saat itu aku belum mengerti apa makna cinta itu sendiri.
Hari demi hari berganti, bulan demi bulan, hingga kini sudah bertahun-tahun kujalani.
Advertisement
Ayah, aku seolah-olah sudah terbiasa tanpamu. Namun percayalah, setiap aku menyebut namamu ada goresan di hatiku, ada air mata yang ingin membanjiri pipiku. Kini, putri kecilmu sudah berusia hampir sembilan belas tahun, ayah. Kurasa sudah bukan saatnya lagi aku menyembunyikan semua ini. Maafkan aku ayah, aku hanya mampu menyebut namamu. Tidak mampu lagi menggambarkan wajahmu, mengingat senyumanmu, melihat bola matamu karena aku benar-benar sudah hampir lupa.
Lima belas tahun sudah kita berpisah, apakah ayah sekarang sudah berambut putih? Apakah engkau sehat-sehat saja? Seandainya waktu dapat mempertemukan kita, tidak perlu berlama-lama. Satu jam pun aku terima, asal itu bersamamu. Aku ingin bercerita tentang kisah kasihku, aku ingin dibelikan Barbie baru lagi olehmu.
Ayah, rambutku masih panjang seperti dulu. Siapkah kau mengikatnya lagi? Tapi sekarang harus lebih cantik, karena barangkali akan menuai perhatian. Namamu selalu kusebut dalam doaku, cerita yang lalu masih terbesit di otakku. Satu hal yang akan terus kunantikan, semoga kita bisa bertemu karena aku tak ingin kata “hampir lupa” itu menjadi “lupa” untuk yang sebenar-benarnya.
Sepanjang apapun aku menulis, sebanyak apapun kata yang kugunakan, takkan mampu menjelaskan isi hatiku karena hanya satu yang kutahu, aku rindu.
- 19 Tahun Lalu, Telepon yang Berdering Itu Mengabarkan Kepergian Bapak
- Ayah, Kepergianmu Kuikhlaskan Meski Banyak Cerita Kita yang Belum Usai
- Pulang Nak, yang Abah Butuh Itu Kamu dan Bukan Uangmu
- Kematian Ayah Sahabatku Menjadi Titik Balik Hidupku
- Janji Terakhirmu Tak Kau Tepati, Tapi Aku Terus Berdoa Untukmu
(vem/nda)