Kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Ayah Aku Rindu ini benar-benar membuat hati sangat tersentuh. Tentang banyak kisah yang belum usai tapi bagaimana pun harus tetap menerima kenyataan yang ada.
***
Jombang, 5 Oktober 1958. Tuhan mengizinkan sosok beliau yang tegas dan penyayang hadir di dunia ini. Beliau ayahku, sosok yang selalu mendorongku untuk jadi seorang gadis yang berani, bertanggung jawab dan kuat. Ayahku, Fahrur Rozi, lahir dari keluarga militer, kakekku adalah seorang anggota TNI, didikannya cukup keras, sehingga terlahir sebagai anak bungsu tidak membuat ayahku menjadi seorang yang manja dan bergantung. Begitu juga cara beliau mendidikku, cukup tegas, tapi masih sering melunak jika sudah bertemu dengan argumen cara mendidik dari ibu.
Ayah dan ibuku bertetangga, beliau berdua memutuskan pacaran dan akhirnya menikah karena terlibat cinta lokasi, menurutku. Aku bersyukur punya beliau berdua, dua paduan hebat yang dapat membentukku hingga menjadi seorang sarjana seperti saat ini, padahal beliau berdua hanyalah lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA). Bahu membahu dalam mendidik kami, saling melengkapi, itulah yang beliau berdua perlihatkan dan ajarkan kepadaku.
Advertisement
Suatu ketika saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar, ibu sakit kepala hebat, hingga tak bisa bangun dari tempat tidur. Aku dan Mas (panggilan kakak laki-laki dalam adat Jawa Timur) yang terbiasa dibantu ibu dalam segala hal, termasuk menyiapkan pakaian, makan, dan belajar, merasa bingung, apa yang harus kami lakukan? Bagaimana aku mengikat rambut? Bagaimana kami menyiapkan seragam sekolah? Saat itu rambutku panjang dan lebat. Akhirnya ayah lah yang menggantikan posisi ibu hari itu, beliau mengikat rambutku, dimodel kuncir kuda, rambut dijadikan satu ke belakang dan cukup tinggi mirip seperti ekor kuda. Tapi lucunya, ayah mengikat rambutku tanpa bantuan sisir, alhasil rambutnya berantakan tak rapi di sana sini.
“Kok ngene seh, yah? (Kok begini sih yah?)” aku menggerutu marah.
“Yoopo terusan? (Terus bagaimana?)”
“Ga usah dikuncit wes! (Sudah tidak usah dikuncir!)” akhirnya aku ngambek.
Aku berlari ke ibu dan minta disisir ulang. Dengan susah payah ibu membenahi rambutku, dalam posisi tidur. Sejak duduk di taman kanak-kanak aku terbiasa berangkat sekolah dengan rambut yang rapi dengan berbagai macam jepitan rambut yang lucu. Ibu tidak membiasakan rambutku diurai, biar tidak gerah dan lepek. Rambutku selalu panjang sejak kecil, ayah tak mengizinkan aku dan ibu potong rambut. Beliau suka anak perempuan dan istrinya memiliki rambut panjang.
Ada lagi cerita saat ibu jatuh sakit, sakitnya masih sama, ibu sering pusing hingga tak bisa bangun dari tempat tidur. Kali ini ceritanya aku dan Mas bersekolah di SD yang sama. Kami berada dalam satu mobil antar jemput, di sekolahku disediakan mobil pengantar dan penjemput siswa/i. Berangkatlah kami di hari itu, aku lupa itu hari apa, jika tidak salah kami memakai baju bawahan merah dan atasan putih, menandakan kejadian itu terjadi di antara hari Senin hingga Rabu.
Selama perjalanan dari rumah hingga sekolah terasa baik-baik saja, rumah dan sekolah kami berjarak kurang lebih 7 km. Setelah sampai di sekolah, tepat saat turun dari mobil antar jemput, Dek klambiku keliru (Dek bajuku salah),” Mas menepuk pundakku dari belakang.
“Salah yoopo? (Salah bagaimana?)” tanyaku heran.
“Iki lo jenengmu (Ini loh namamu),” jawabnya sambil menunjuk badge nama di dada sebelah kanannya.
Sontak aku tertawa, bagaimana bisa dia memakai baju seragamku dengan nama jelas “ROSYDA NADIA”.
"Delok en klambimu, jenenge sopo, lek jenengku ayo tuker nak jedhing (Lihat bajumu, namanya siapa kalau itu namaku ayo kita tukar baju di kamar mandi),” lanjutnya.
Kusingkap sedikit jilbabku, dan apesnya saat itu aku memakai baju seragam atas namaku sendiri, bukan namanya. Di sekolah kami, sejak kelas 2 SD siswi perempuan wajib memakai jilbab, seharusnya jika aku yang tertukar menggunakan baju seragam Mas yang salah harusnya tak masalah karena masih ada jilbab yang menutupi badge namaku, nyatanya dia yang salah menggunakan bajuku. Alhasil dia menggerutu tak jelas dan lari ke kelas.
Nah, kekeliruan baju seragam ini terjadi atas ketidaktahuan ayah, saat ibu sakit ayah lah yang harus menggantikan peran ibu. Memang ada banyak kekeliruan di sana sini yang akhirnya menjadi kenangan konyol. Ah Ayah it’s ok, you did it well enough.
Ayahku seorang karyawan di salah satu perusahaan BUMN di tempat kami tinggal, kabupaten Gresik, Jawa Timur. Saat itu gaji ayah memang tak seberapa, beda dengan zaman sekarang di mana karyawan dari perusahaan BUMN ini semakin sejahtera. Walaupun gaji ayah pas-pasan (pas untuk bayar cicilan rumah, pas untuk biaya sekolah dan les kami berdua, pas untuk belanja bulanan, pas untuk yang harus dicukupi oleh ayah) ayah selalu berusaha mewujudkan mauku, ibu, juga Masku.
Saat itu ayah pernah bilang kepadaku dan Mas, bahwa ayah akan selalu berusaha mewujudkan keinginan kami asal kami bisa menjadi anak yang baik, sekolahnya pintar, dan juga ngajinya pintar. Ayah selalu marah jika nilai kami turun, jika kami tidak sholat, dan juga kalau kami malas mengaji. Tapi ayah tidak pernah marah jika ayah tau aku berkelahi dengan teman sekelas, ataupun sampai ayah dipanggil guru BK (Bimbingan Konseling) karena teman sekelasku menangis karena aku, ayah tetap santai.
Sayangnya, ayah masih suka memaksakan keinginannya kepadaku ataupun Mas. Beliau melarang kami mengikuti ekstrakurikuler pilihan kami, akhirnya kami berada pada ekstrakurikuler yang sama, pramuka dan berenang. Namun, semakin dewasa aku semakin tahu, pilihan ekstrakurikuler yang dipilih ayah saat aku duduk dibangku SD sangat bermanfaat sekarang. Aku bisa berenang, bahkan saat duduk di bangku SMP nilai olahraga berenangku mendekati sempurna, ayah tahu yang terbaik untukku dan Mas.
Banyak hal yang kami lewati bersama dan tidak akan pernah cukup kertas berlembar-lembar menampungnya. Cerita di mana aku merayu ayah agar membelikanku sepatu sekolah lagi dan lagi dan berbohong pada ibu agar tidak dimarahi, cerita aku merayu beliau mendapatkan jam tangan yang kusebut mahal, di belakang ibu, semua cerita yang membekas di hati kami, hatiku, ibu dan Mas.
Malam itu semua cerita ini berakhir, 30 Oktober 2006 pukul 19.00. Ayah kembali pulang, beristirahat untuk selamanya. Kami tidak percaya, kami tidak siap, kami kehilangan, tapi begitu kenyataannya. Sampai cerita ini ditulis, air mata ini belum kering. Cerita ini belum berlalu seharusnya. Ayah masih harus melihatku menjadi sarjana, bekerja dan menghasilkan uang untuk beliau, itu keinginanku. Berbanding terbalik dengan keinginan Sang Kuasa, Sang Maha Besar, Pemilik Bumi dan seisinya. Di tahun 2004 beliau divonis sakit jantung, rutin dua bulan sekali keluar masuk rumah sakit, opname. Kesehatannya menurun, cerita keluarga kami semakin berliku, ibu memulai perjuangannya sebagai wanita mandiri.
Tidak ada lagi yang rutin mememelukku, menciumku sebelum tidur, menggenggam erat tanganku, merangkulkan tanganku di perut gendutnya setiap kali kami berboncengan di atas sepeda motor bututnya dan asapnya yang menyebabkan batuk-batuk. Ya, semua itu adalah rutinitas ayah, aku sering sebal dengan keisengannya yang suka sekali menciumku, menggodaku, memanggilku “sinut”, tapi aku lalai aku mengira hal itu akan terjadi seterusnya, sampai aku dewasa, sampai ada tangan yang menggenggam tangan ayah erat di depan penghulu. Ya aku lalai, dan beliau pergi begitu saja, tanpa melakukan rutinitas.
Ayah, sejauh apapun ayah pergi, ayah masih ada di hatiku, di hati kami. Kami bisa menjaga ibu, kami bisa menjaga diri, lihat namaku sekarang ada tambahan di belakangnya yah, Rosyda Nadia, S.Hum. Walaupun bukan ST seperti keinginan ayah, tapi aku sangat yakin ayah bangga padaku.
Ayah, kami rindu, kami mencintai, kami menyayangi ayah, persis sama dengan saat ayah masih ada di sini bersama kami. Lihat aku dari jauh, aku akan menjadi mengagumkan dan kuat seperti harapan ayah, jalanku masih jauh, dan engkau akan selalu di sini, di hatiku di ruangan nomor satu, persis di samping ibu. Nanti jika saat hari itu tiba, aku menemukan seseorang dalam hidupku yang akan membimbingku, seorang imam dan ayah dari anak-anakku kelak, ayah tidak perlu khawatir, you will always be my first love yah.
Untukmu ayah, dari putri kesayanganmu
Rosyda Nadia (@nadyafrozi)
Gresik, 8 November 2017
- Pulang Nak, yang Abah Butuh Itu Kamu dan Bukan Uangmu
- Kematian Ayah Sahabatku Menjadi Titik Balik Hidupku
- Janji Terakhirmu Tak Kau Tepati, Tapi Aku Terus Berdoa Untukmu
- Saat Pernikahanku Baru Berusia 40 Hari, Bapak Pergi untuk Selamanya
- Setiap Akan Tidur, Aku Selalu Berdoa Agar Kau Datang di Mimpiku
(vem/nda)