Karen Graaff, Stellenbosch University
Telah banyak penelitian menunjukkan, Afrika Selatan adalah negara dengan tingkat kekerasan amat tinggi, terutama kekerasan antarpersonal dan pembunuhan. Seiring hal ini, tingkat kekerasan seksual juga tinggi. Laporan Medical Research Council mengatakan 25% perempuan pernah diperkosa.
Advertisement
Meski tingkatnya amat tinggi, kekerasan berlangsung di Afrika Selatan dengan cara yang serupa sebagaimana di negara-negara lain. Pelaku kekerasan kebanyakan adalah laki-laki, dengan perempuan sebagai korbannya. (Meski ada pula kekerasan laki-laki terhadap laki-laki.)
Tetapi fakta ini tak mengubah strategi memerangi kekerasan, yang cenderung tetap berfokus pada perempuan. Biasanya, perempuan diberi dukungan setelah mengalami serangan, atau disarankan mengganti pakaian atau menjaga gerak-gerik supaya terhindar dari kekerasan seksual.
Strategi intervensi semacam ini berdampak kecil, sehingga perlu ada penelusuran terhadap strategi alternatif. Salah satu kemungkinannya adalah secara khusus bekerja sama dengan laki-laki sebagai bentuk pencegahan kekerasan.
Inilah fokus dari penelitian doktoral saya, yang utamanya menelaah dampak keterlibatan laki-laki.
Menghadapi kejantanan dengan cara berbeda
Penelitian saya didasarkan pada beberapa riset lain, yang mengatakan bahwa berfokus pada maskulinitas—norma sosial yang ingin laki-laki capai guna “membuktikan” kejantanan mereka—bermanfaat dalam mengurangi penggunaan kekerasan oleh laki-laki di masa depan.
Maskulinitas mencakup beberapa aspek, seperti laki-laki adalah pihak yang mencari/menyediakan uang dalam sebuah hubungan atau keluarga. Aspek lain? Laki-laki lebih “membutuhkan” seks dari perempuan, dan anggapan bahwa laki-laki lebih agresif.
Beberapa pihak menganggap norma ini biologis, atau sesuatu yang khas laki-laki. Tapi riset mengatakan tidak selalu seperti itu. Sejumlah organisasi di Afrika Selatan dan dunia telah memulai perhatian terhadap norma-norma sosial yang mengelilingi laki-laki ketika mereka beranjak dewasa. Penelitian saya berfokus pada sebuah LSM Afrika Selatan yang menerapkan lokakarya seperti ini.
Organisasi seperti yang saya teliti biasanya menyelenggarakan lokakarya untuk membedah kembali, apakah sifat agresif bawaan lahir, ataukah hanya sesuatu yang didorong untuk dilakukan para laki-laki.
Hasil studi terhadap strategi intervensi seperti ini cukup positif. Setelah mengikuti lokakarya hingga selesai, para peserta laki-laki mengaku mengurangi penggunaan kekerasan. Mereka juga lebih menghargai perempuan dan hak-haknya.
Selain di Afrika Selatan, hasil positif seperti ini juga ditemukan di negara lain seperti Brasil
dan India, yang juga telah menerapkan intervensi serupa.
Mengubah perilaku
Penelitian saya sendiri menemukan, kunci keberhasilan utama terletak pada struktur lokakarya yang diselenggarakan. Para peserta mengatakan bahwa keberadaan kelompok kawan yang mendukung (supportive peer group) amatlah penting dalam mendorong mereka mengurangi penggunaan kekerasan.
Sejalan dengan itu, para fasilitator lokakarya (mayoritas laki-laki) bertindak sebagai teladan positif bagi anggapan alternatif terhadap kejantanan yang didiskusikan di lokakarya. Teladan positif ini, oleh peserta laki-laki, berulang kali disebut sebagai faktor paling penting yang membantu mereka mengubah perilaku dan mengurangi kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.
Tapi saya menemukan satu kekurangan. Lokakarya seperti ini memang berdampak pada perilaku tertentu, tetapi tidak ada dampak sama sekali pada sikap mendasar yang kerap mendorong terciptanya perilaku itu.
Sebagai contoh, para laki-laki setuju bahwa menggunakan kekerasan terhadap perempuan adalah salah. Tapi mereka tidak melihat bahwa ketidaksetaraan gender itu sendiri adalah masalah.
Mereka mungkin menegaskan tak akan memerkosa perempuan. Tetapi mereka tetap beranggapan penyebab pemerkosaan adalah pakaian atau gerak-gerik perempuan. Jadi, beberapa perilaku memang digarisbawahi sebagai bermasalah, tapi fakta bahwa laki-laki didorong untuk menggunakan kekerasan masih dipandang sebelah mata.
Menggeser paradigma
Secara umum, lokakarya yang khusus berfokus pada laki-laki dapat memainkan peran dalam mengurangi tingkat kekerasan. Selain itu, melibatkan laki-laki dalam upaya mengurangi kekerasan adalah langkah penting, karena pendekatan ini tidak semata-mata menyalahkan laki-laki sebagai biang kekerasan, tetapi justru memungkinkan mereka menjadi bagian solusi.
Dengan begini, anggapan bahwa laki-laki tidak punya kendali atas penggunaan kekerasan juga dibedah. Laki-laki justru dilihat sebagai penyumbang aktif dalam mengurangi kekerasan. Saat ini dampaknya memang masih terbatas (satu lokakarya biasanya hanya mampu menampung 10-20 laki-laki) tetapi potensi keberhasilannya menjanjikan.
Beberapa penyesuaian masih diperlukan, guna memberi perhatian lebih terhadap sikap mendasar atas ketidaksetaraan gender, yang lebih susah diubah.
Membatasi beberapa bentuk kekerasan sudah jelas merupakan langkah positif, tetapi perubahan paradigma (yang mendasari kekerasan itu) dapat jauh mengurangi kekerasan dan kekerasan berbasis gender sekaligus.
Karen Graaff, Lecturer in Sociology, Stellenbosch University
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
(vem/kee)