Perempuan terkadang punya rasa sungkan untuk maju ke depan publik. Ada rasa malu, tidak percaya diri, atau takut salah ketika berbincang di depan orang banyak. Perasaan ini menjadi kendala ketika sang perempuan memilih menjadi pebisnis dari usaha yang dirintisnya sendiri. Pasalnya menjadi pengusaha artinya siap tampil di hadapan umum, pemegang saham, atau pun pemilik dana.
Demikian hasil sesi sharing bersama tiga pebisnis perempuan; Maria Bebasari (VP Marcomm Iruna), Samira Shahab (CEO Tinkerlust), dan Katharina Inkiriwang (Sovereign's Capital) di ajang IDEAFEST 2017 di Jakarta Convention Center, Jakarta.
Dikatakan Maria, perempuan terkadang lebih suka menempatkan orang lain di depan dan memilih berdiri di belakang."Ini juga yang membuat orang lebih sering melihat pria sebagai orang di depan sedangkan perempuan sebagai pendukung saja. Dan perempuan sendiri lebih menerima dengan peran macam itu," ujar Maria perbincangan bertema 'Womenpreneur In Tech: How Women Rise in The Realm of Bro Culture', JCC, Kamis (5/10).
Advertisement
Samira sebagai pendiri Tinkerlust mengaku bahwa awalnya dia pun mengalami rasa ini. "Saya sempat tidak mau berada di bawah lampu sorot. Tapi kita harus bisa menerima diri kita dan mengakui kelebihan yang kita punya," ujar perempuan cantik itu.
(Baca juga: Sesi Berbagi Bersama KLN di IDEAFEST 2017; Yuk, Cari Tahu Selera Milenial)
Sedangkan menurut Katharina sifat lain yang bisa mengekang kesuksesan pengusaha perempuan adalah kurang gigih. Menurutnya perempuan kadang kurang berani untuk "berjuang" karena ada beberapa pemikiran terkait anak dan suami. Sedangkan kaum pria tidak demikian, mereka tak gentar mengusahakan apa yang mereka percayai dari produknya.
"Ketika kamu memutuskan 'Ya, saya akan melakukan ini' kalau begitu lakukanlah. Jangan setengah-setengah. Ini karena perempuan kadang terlalu berhati-hati, enggak berani ambil risiko, atau merasa sudah nyaman dan memikirkan nanti anak dan suaminya bagaimana," ujar Katharina.
Padahal jika dibandingkan dengan pria yang memasarkan produknya dengan logika, perempuan cenderung memiliki hal unik dari produknya sehingga bisa mendongkrak penjualan. Keunikan ini berasal dari pengalaman pribadi perempuan yang tak dimiliki laki-laki. Coba kamu perhatikan produk untuk perempuan di luar sana, bukankah banyak yang tercipta karena pengalaman mereka terkait anak dan suami?
Contohnya kain penutup ASI yang digunakan seorang ibu ketika harus menyusui di tempat umum. Atau baby wrap, gendongan yang memeluk bayi dengan nyaman dan membuat sang ibu tetap bebas beraktivitas dengan dua tangannya.
"Jangan dikecilkan pengalaman itu. Memang mungkin banyak orang yang mengalaminya tapi yang membedakan adalah bagaimana reaksi kamu terhadap pengalaman itu. Mereka mungkin melupakan pengalaman itu, tapi kamu memikirkan solusi bahkan menjadikannya sebuah usaha," kata Katharina lagi.
(vem/zzu)