Louis-Philippe Beland, Louisiana State University dan Daniel Brent, Louisiana State University
Masyarakat membayar ongkos mahal gara-gara kemacetan lalu lintas.
Advertisement
Buang waktu. Buang uang buat bensin. Mencemari lingkungan.
Di area metropolitan Amerika Serikat sepanjang 2012, kemacetan membuat 2,9 miliar galon (hampir 11 miliar liter) bahan bakar terbuang serta membuat orang terjebak selama 5,5 miliar jam. Menurut data Texas A&M Transportation Institute, rata-rata orang menghabiskan 42 jam setahun terjebak kemacetan—lebih banyak daripada jam kerja seminggu.
Menurut riset, ada kaitan antara kemacetan dan kesehatan mental yang negatif, termasuk stres dan sifat agresif.
Kami mengukur ongkos psikologis kemacetan di Los Angeles County, terutama kaitannya terhadap kejahatan. Dengan memadukan data kepolisian dan kemacetan, kami menemukan bahwa kemacetan parah yang tak terduga dapat mengakibatkan meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga.
Riset kami
Kekerasan dalam rumah tangga amat erat kaitannya dengan kondisi emosional masyarakat. Sebagai contoh, jika tim sepakbola favorit kalah tak terduga, maka kasus KDRT meningkat 10 persen.
Orang yang terjebak macet tentu tidak serta-merta terpancing berbuat kriminal, tetapi mereka masih memikul beban psikologis. Maka itu, pendekatan kami mungkin saja belum mengungkap dampak psikologis macet yang sebenar-benarnya.
Menurut app lalu lintas INRIX, kota Los Angeles terancam menjadi kota dengan lalu lintas terparah seantero AS. Bahkan, 6 dari 10 ruas jalan tol termacet berada di metropolitan LA.
Laporan Texas A&M Transportation Institute yang disebut di atas memperkirakan pengemudi di Los Angeles rata-rata terjebak macet selama 80 jam alias 3,5 hari dalam setahun. Los Angeles juga merupakan kota dengan perbedaan tertinggi antara waktu tempuh normal dan jam sibuk di Amerika. Saat jam sibuk, waktu tempuh bisa 43 menit lebih panjang ketimbang jam lengang.
Tak heran jika jajak pendapat Los Angeles Times baru-baru ini meletakkan lalu lintas sebagai hal yang paling dicemaskan penduduk Los Angeles. Setelah itu baru keamanan pribadi, keuangan pribadi, dan biaya perumahan.
Analisis empiris kami mengombinasikan lebih dari dua juta laporan polisi dengan lebih dari 25 juta pengamatan lalu lintas lokal di Los Angeles pada 2011-2015. Untuk mengukur dampak kemacetan terhadap kriminalitas, kami mengaitkan setiap kode pos dengan jalan tol terdekat yang menghubungkan area itu dengan pusat kota. Kami berfokus pada dua jalan tol utama, yang tidak terpengaruh dengan lalu lintas di rute lain ke arah yang sama.
Data yang begitu banyak ini memungkinkan kami mengaitkan kemacetan dengan aktivitas kriminal, dengan detail terperinci mengenai waktu dan lokasi.
Ongkos psikologis
Temuan kami menunjukkan, kemacetan parah (di atas persentil ke-95) secara signifikan meningkatkan kemungkinan KDRT sebesar 6 persen. Ada pula dampak yang lebih kecil pada ambang yang lebih rendah.
Karena KDRT biasanya terjadi di rumah, kami meyakini dalam analisis kami bahwa para pelaku KDRT mengalami kemacetan di sekitar lokasi kejahatan. Kami memasukkan faktor kode pos dan efek waktu, selain kondisi lalu lintas terkini, sebagai variabel kemacetan.
Kami melaksanakan beberapa tes untuk mengonfirmasi bahwa peningkatan jumlah KDRT benar-benar dipicu oleh kemacetan, bukan faktor lain. Sebagai contoh, kami tidak melihat adanya kaitan kemacetan terhadap kriminalitas di beberapa hari sebelumnya, tidak ada dampak kemacetan pada malam hari terhadap kriminalitas di pagi hari, serta tidak ada dampak kemacetan terhadap jenis kriminalitas lain seperti pencurian dan pembunuhan.
Hasil tes kami bervariasi di kode pos yang berbeda-beda. Tidak ada dampak kemacetan terhadap kriminalitas di daerah yang angka kriminalitasnya rendah. Sementara itu, di area dengan pendapatan rendah, dampak yang kami lihat lebih tinggi 1,5 persen dibanding area dengan pendapatan menengah di LA County.
Kami juga mengukur lalu lintas yang padat dan perkiraan pengemudi menggunakan pengukuran alternatif, misalnya waktu tempuh maksimal setiap jam sepanjang hari. Semua tes kami menunjukkan adanya peningkatan KDRT setelah kemacetan parah yang tidak terduga.
Dengan kata lain, ketika para pengemudi terjebak kemacetan yang di luar perkiraan, maka angka kasus KDRT meningkat.
Kebijakan
Hasil riset kami menyoroti konsekuensi baru kemacetan selain kepadatan, polusi, dan dampak kesehatan yang telah dibahas di literatur.
Ini penting, karena ongkos langsung dan tak langsung dari KDRT diperkirakan mencapai $107.020 (Rp1,42 miliar). Kami memperkirakan ongkos ekonomi dari KDRT yang dipicu kemacetan berada di kisaran $5-10 juta per tahun.
Kami menduga mayoritas orang yang memikul ongkos psikologis kemacetan tidak bakal berbuat kejahatan. Maka itu, estimasi kami hanyalah sebuah puncak gunung es.
Mendokumentasikan ongkos psikologis dari kemacetan dapat mendorong terciptanya kebijakan lalu lintas yang tidak sekadar mengurangi waktu tempuh rata-rata, tapi juga menghindari kemacetan panjang.
Perlu diingat, membangun jalan baru tidak efektif menyelesaikan masalah, karena jalan baru akan segera terisi oleh mobil baru.
Kebijakan seperti penerapan jalan berbayar, yang mengharuskan pengguna jalan membayar lebih mahal ketika lalu lintas makin padat, mungkin membantu mengatasi persoalan. Sebagai contoh, sebuah penelitian pada tahun 2013 mengungkapkan bahwa para pengemudi mengaku tidak begitu stres setelah kebijakan jalan berbayar diterapkan di jalan-jalan utama di Seattle.
Riset kami menemukan manfaat lain dari kebijakan seperti itu, tetapi kita masih perlu riset lebih banyak lagi untuk menentukan bagaimana struktur tarif yang berbeda-beda dapat meningkatkan kepuasan pengemudi dan akurasi waktu tempuh.
Louis-Philippe Beland, Assistant Professor of Economics, Louisiana State University dan Daniel Brent, Assistant Professor of Economics, Louisiana State University
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
(vem/kee)