Memiliki tubuh gemuk membuat banyak wanita merasa tidak beruntung. Kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba My Body My Pride ini pun berkaitan soal itu. Meski sempat terpuruk, kini ia telah menemukan kekuatannya kembali.
***
Aku menangis sesenggukan, dalam ruangan tertutup dan dengan cahaya temaram ditemani laptopku yang masih menyala sejak beberapa waktu lalu. Mataku memerah, sementara air mata terus mengalir dan sesekali napasku tersendat. Tayangan video masih berputar menampilkan beberapa sosok wanita yang menurutku ayu, mereka masih asyik bercerita sementara aku di sini menyaksikan dengan tangisku. Mereka yang bangga pada tubuhnya sementara aku di sini masih meratapi tubuhku. Tanpa sadar memoriku menguak, ingatanku melangkah ke beberapa waktu lampau.
Advertisement
Aku masih ingat kala aku sangat takut pada lelaki. Aku yang menghindari setiap lelaki yang berada di dekatku lantaran beberapa kali kisah romansaku tak pernah berujung baik, kandas dengan alasan fisik. Kami berpacaran hampir 4 tahun lamanya, hingga malam itu ia memaksaku melakukan sesuatu di luar batas wajar dalam berhubungan, beruntung aku masih memiliki akal sehat, hingga akhirnya ia memutuskanku dengan dalih, “Badanmu gendut.”
Aku memang bukan wanita dengan tubuh sempurna, bukan wanita dengan lekukan bak gitar Spanyol atau apapun yang lelaki idamkan. Aku hanyalah aku, dengan berat 75 kg sementara tinggiku hanya berada pada batas 160 cm. Aku pernah membenci tubuhku, bahkan mungkin masih membencinya hingga sekarang. Berbagai cara sudah kulakukan, olahraga hingga diet ketat pun sudah. Hasil yang kudapat jarum penunjuk angka hanya bergeser beberapa garis.
Sejak saat itu, aku selalu menikmati kesendirianku. Tak lagi peduli bagaimana dengan sosialisasiku terhadap orang lain, aku menjadi pribadi sangat tertutup. Aku ketakutan dalam keramaian, aku sesak napas dalam keramaian, dan ketika puncaknya tiba aku akan menjerit kesakitan. Semua aku lalui sendiri tanpa teman maupun keluarga.
Aku pernah membenci ayah dan ibuku. Aku lahir dengan berat hanya 2 koma sekian kilogram. Hal itu sempat membuat ayah dan ibuku kebingungan. Di saat berat bayi lahir normalnya di atas angka 3 sementara aku hanya di atas angka 2. Ayah dan ibu selalu bercerita, mereka meminta bahwa mereka ingin anaknya memiliki badan yang besar, tidak seperti anak yang tidak normal. Hingga tanpa sadar ucapan itu menjadi pemicuku membenci mereka.
Mungkin mereka, atau mungkin aku membenci diriku sendiri. Hingga perlahan aku sadar bahwa mereka hanya ingin aku tidak seperti saat itu. Ibu selalu bercerita ia menggenggam kaki mungilku kala itu dan berkata, “Cepat besar, ya Nak. Biar kita bisa berjalan bersama.” Sementara ayah akan berkata, “Kita besarkan gadis kita bersama ya, Bu.” Ayah dan ibuku hanya ingin kami tumbuh bersama.
Ayah dan ibu takut jika aku harus di dalam inkubator sementara keluarga kami bukan keluarga yang mampu. Gaji ayah hanya Rp125 ribu sementara tiap bulannya uang itu ayah gunakan untuk membayar cicilan rumah. Sisanya mereka gunakan untuk membeli keperluan aku saat bayi. Sementara aku bukannya membalas kebaikan mereka malah aku membencinya. Astaga, maafkan aku, ayah… ibu… . Seharusnya aku tak membenci tubuh ini.
Ayah dan ibu sering mengatakan aku cantik. Tak pernah sekalipun menjelek-jelekkan aku. Mungkin karena aku anaknya atau entah apapun alasannya. Bukankah aku hanya perlu mendengar mereka? Mereka yang setiap waktu mengurusku tak pernah terbebani denganku dan mereka pula yang selalu mendukungku. Untuk apa aku mendengar cemooh orang lain? Inilah hidup, Tuhan yang mengatur, aku yang menjalani sementara mereka yang mengomentari.
Air mataku masih mengalir sementara video itu pun juga masih berputar. Mereka bangga akan dirinya, bangga akan perbedaan yang melekat pada dirinya. Sementara aku dengan segudang amarah, segudang benci pada orang lain. Astaga, betapa bodohnya aku. Suara ketukan di pintu kamar membuyarkan lamunanku, aku menghapus air mataku, “Siapa?” suaraku yang lebih terdengar seperti rintihan, aku bangkit melangkah mendekat ke arah pintu.
Sebuah pelukan hangat menyergapku sebelum pintu kamar terbuka seutuhnya dan tanpa sadar tangisku kembali menjadi. Aku menangis sesenggukan dalam lekukan lehernya sementara ia terus memberikan usapan pada pucuk kepalaku. “Aku sayang sama kamu tanpa lihat fisik kamu, aku milih kamu karena kamu yang selalu ada di sampingku, aku cuma mau kamu sayang, percaya aku ya. Aku buru-buru ke sini setelah lihat pesan teks kamu yang nggak jelas ke aku. Jangan aneh-aneh lagi ya. Kamu harus bangga sama diri kamu sendiri. Kamu kuat, bisa bangkit dari keterpurukan kamu dengan cara kamu sendiri.”
Aku teringat pesan yang kukirimkan lewat aplikasi Line sesaat sebelum aku membuka video itu. Video yang membawa perubahan besar di hidupku. “Kenapa kamu milih aku? Di saat banyak temen kantor kamu yang lebih lebih dari aku. Lebih cantik, lebih seksi, lebih segalanya dari aku. Aneh kan? Bisa-bisanya cowok kayak kamu suka ke aku. Pacaran hampir setahun sama aku dan kamu betah banget sama aku. Kamu bilang nggak masalah kalo aku gendut, lebih aneh kan? Mana ada cowok suka cewek yang gendut?” Aku menyesal mengatakan itu, harusnya aku tak mengolok-olok diriku sendiri. Bukankah selama ini tubuhku lah teman setiaku kemanapun aku pergi?
“Maaf,” lirihku dalam dekapannya. Ia mempererat jarak, dan tanpa sadar aku terkekeh dengan bisikannya, “Biarin gendut, yang penting setia.”
Ini aku, dengan segala kekurangan dan kelebihanku. Seharusnya aku tahu, bahwa Penciptaku telah menciptakan aku sebaik-baiknya mahluk-Nya. Hanya aku yang kurang bersyukur dan hanya aku yang kurang percaya pada diri sendiri. “Kalau bukan aku yang memulai untuk percaya pada diriku. Lalu siapa yang akan memulainya?”
- Meski Sejak Kecil Fisiknya Kerap Dihina, Kini Sukses Sampai ke Finlandia
- Tubuhku Gemuk dan Nggak Pintar Make Up, Suami Tetap Mencintaiku Seutuhnya
- Tercabik Hatiku, Dituduh Nggak Perawan karena ''Bagian Tubuh Ini'' Melorot
- Tak Suka Dandan dan Sering Pakai Baju Lungsuran, Aku Bahagia dengan Caraku
- Bertubuh Mungil dan Divonis Hypertiroid, Aku Justru Makin Banyak Bersyukur
(vem/nda)