Kisah salah satu sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Stop Tanya Kapan ini pasti pernah dialami oleh banyak wanita lain. Sudah memasuki usia 30 tahun, pertanyaan kapan nikah membuatnya sering merasa terluka.
***
Jodoh, rezeki, usia merupakan bagian dari takdir Allah yang telah ditulis di Lauhul Mahfuzh jauh sebelum kita dilahirkan ke dunia. Kita tidak bisa menyegerakan atau melambatkannya. Namun tak jarang masih banyak yang mempertanyakan hal tersebut. Mungkin untuk perkara usia/ajal orang akan segan bertanya karena tidak lazim dan tidak etis bagi siapapun. Namun untuk perkara lain orang tidak segan bertanya termasuk salah satunya mengenai jodoh.
“Kapan menikah?”
Sebagai seorang wanita yang berusia 33 tahun bukan sekali atau dua kali pertanyaan tersebut saya dengar. Ketika saudara dan teman satu per satu mulai melangkah untuk menempuh hidup baru tentunya perasaan gundah gulana perlahan menelusup ke dalam relung hati. Orang yang tidak pernah berada pada situasi seperti yang saya alami tentu tidak akan tahu bagaimana rasanya. Sedih, kesal, galau dan masih banyak perasaan lain yang memenuhi hati dan terkadang berubah menjadi air mata.
Saat usia masih di bawah 30 tahun saya tidak terlalu terganggu dengan pertanyaan tersebut. Saya lebih menganggapnya sebagai pertanyaan basa-basi. Saya masih bisa menanggapinya dengan santai. Namun memasuki usia ke 30, saya mulai sedikit sensitif dengan pertanyaan tersebut. Tak jarang saya menghindari pertemuan dengan keluarga atau teman-teman lama karena takut dan malu jika ditanya kapan menikah.
Selain menghindari pertemuan secara langsung saya juga menghindari pembicaraan di grup pertemanan yang yang saya ikuti. Karena jika terlalu aktif di group pertemanan tak jarang mereka juga akan menanyakan kabar dan status saya saat ini. Pernah suatu ketika saya sedang asyik ngobrol di grup dan saling bercanda dengan teman yang lain. Lalu saya pura-pura ngambek. Lantas seorang teman saya berkata, “Sudah jangan ngambek, nanti jadi gadis tua."
Advertisement
Saya tahu mungkin dia hanya bercanda. Tapi saya merasa sangat sedih dengan perkataannya. Saya tidak menyangka dia berkata seperti itu di group chatting padahal dia juga seorang wanita. Hanya saja dia memang sudah lama menikah dan punya tiga orang anak. Saya merasa sangat malu dengan teman-teman saya yang ada di grup tersebut. Sejak saat itu saya jarang memberikan respon untuk semua obrolan yang ada di group pertemanan. Saya melakukan itu agar saya tidak merasa tersinggung jika ada perkataan yang kurang berkenan di hati saya.
Kesendirian memberi saya ruang untuk bermuhasabah (introspeksi diri). Saya menyadari begitu banyak dosa yang pernah lakukan di masa lalu. Masih banyak ibadah yang niatnya belum lurus. Dan masih banyak kekurangan-kekurangan lain dari segi akhlak. Saya tahu Allah akan memberikan sesuatu sesuai dengan kebutuhan dan kepantasan kita. Maka saya berusaha memantaskan diri untuk menjadi seorang istri, menantu, ipar dan bahkan seorang ibu. Saya senantiasa berdoa agar Allah memberikan saya petunjuk dan membimbing langkah saya agar bisa segera disandingkan dengan dia yang akan menentramkan jiwa.
Sendiri bukan berarti bersedih. Saya tidak ingin penantian jodoh ini membuat saya semakin terpuruk. Saya tidak ingin menyesali dan meratapi kesendirian ini. Saya harus mensyukuri apapun yang telah Allah takdirkan untuk saya. Karena Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk saya. Saya mulai mengisi hari-hari saya dengan melakukan hal-hal yang saya sukai. Setiap hari sepulang kerja saya menyempatkan diri untuk membaca buku-buku yang betema perbaikan akhlak dan pernikahan.
Saya juga mulai mengikuti komunitas menulis untuk belajar dan mengembangkan minat saya di bidang literasi. Saya sering mengikuti lomba menulis dan saya merasa sangat bahagia ketika cerpen yang saya buat menjadi salah satu cerpen terpilih yang akan dibukukan. Selain itu saya juga sering mengikuti kunjungan ke panti asuhan yang diadakan oleh suatu komunitas sosial yang digagas oleh adik tingkat saya yang saat ini juga masih berstatus single. Saya menjadi lebih percaya diri dan bertekad untuk lebih banyak lagi melakukan kebaikan dan menjadi wanita yang punya banyak prestasi.
Ternyata dengan hati yang bahagia saya menjadi lebih tentram dan tidak terlalu sensitif dengan pertanyaan, “Kapan menikah?" Terkadang pertanyaan tersebut hanya masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan, karena saya lebih fokus untuk menyelesaikan target dan tugas-tugas di komunitas yang saya ikuti. Saya juga berusaha untuk bersikap dewasa sekalipun hanya sekadar mengobrol di grup pertemanan. Saya hanya merespon hal-hal yang positif dan tidak terlalu sering bercanda untuk menghindari kesalahpahaman atau bahkan kata-kata yang justru akan mempemalukan diri saya sendiri. Dan hal terakhir yang harus dan tidak boleh dilupakan adalah bersabar.
"Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, karena sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika engkau bangun, dan pada sebagian malam bertasbihlah kepad-Nya dan (juga) pada waktu terbenamnya bintang-bintang (pada waku Fajar).”
(Q.S. At-Tur: 48 - 49).
Saya percaya bahwa Allah telah mempersiapkan jodoh terbaik untuk saya dan akan mempertemukan kami di waktu yang tepat. Dan saya juga berdoa untuk semua yang saat ini sedang menantikan jodoh semoga selalu diberikan kesabaran dan kekuatan hati hingga saat yang penuh barokah dan kebahagiaan itu tiba. Aamiin.
- Ayah, Sejujurnya Aku Sudah Tak Tega Melihatmu Terus Bekerja di Usia Senja
- Suami yang Mandul, Tapi Malah Aku yang Sering Dapat Cibiran
- Aku Memang Tak Sepintar Kakak-Kakakku, Tapi Bukan Berarti Aku Bodoh
- Berhenti Kerja Bukan Keputusan yang Tepat, Meski Anakku Sudah Tiga
- Setelah Berhijab, Banyak Kebaikan Kualami dan Jodoh Datang Menghampiri
(vem/nda)