Kisah salah satu sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Stop Tanya Kapan ini benar-benar bikin air mata menitik. Bagaimana tidak, sang suami yang mengalami masalah tapi dirinya yang sering mendapat cibiran soal momongan. Bertahan dan bersabar menjadi perjuangan yang tidak mudah.
***
Periang dan penuh canda. Itulah kesan para kerabat dan rekan kerja yang kenal dengan saya. Tapi mungkin tidak banyak yang tahu bahwa saat sendiri yang saya rasakan adalah "lelah". Bagaimana tidak? Tiga tahun sudah saya dan suami menikah, namun kami belum juga dikaruniai momongan.
Ya, mungkin sebagian dari kalian yang mendengarnya akan dengan mudah mengatakan, "Ah, baru juga tiga tahun! Ada yang sampai delapan sampai belasan tahun juga kok yang bernasib sama denganmu!" Well, saya tidak akan membela diri. Saya tahu pasti bagaimana perasaan mereka yang sudah sampai delapan hingga belasan tahun menikah namun belum juga dianugerahi momongan. Lelah sekali pasti mendengar pertanyaan-pertanyaan tentang, "Kapan punya anak?" atau "Lah, bukannya sudah mau sembilan tahun ya? Belum-belum juga? Kasihan suaminya dong!"
Baru tiga tahun menikah bukanlah alasan saya harus bersyukur walau belum dianugerahi momongan, karena kami sebenarnya tidak tinggal diam. Tahun pertama kami menikah, orang tua saya sudah curiga dan meminta kami periksa ke dokter. Sedangkan orang tua suami? Sempat beberapa kali menyindir saya dengan kalimat, "Kamu terlalu kurus sih!" atau, "Pantes saja belum dikasih-kasih anak, gendong bayi saja ngga bisa!" Sakit hati? Jelas. Tapi percuma kalau terlalu dimasukkan ke hati, hanya bikin saya terus-terusan menangis diam-diam di kamar mandi.
Advertisement
Hingga akhirnya dokter mengatakan bahwa ternyata suami saya lah yang bermasalah. Ya, spermanya dinyatakan kosong alias Azoospermia. Saat itu saya mengambil hasilnya sendirian karena suami sedang lembur. Tanpa banyak berkata-kata, saya langsung pulang ke rumah orang tua dan menceritakan semuanya. Meledak sudah tangisan saya mengingat dokter bilang bahwa Azoospermia adalah kondisi sperma yang paling buruk.
Mencoba untuk bangkit, suami yang juga sempat down akhirnya mau ke dokter lagi untuk berkonsultasi. Banyak referensi yang sudah saya baca mengenai kondisi Azoospermia ini. Banyak juga yang akhirnya berhasil punya anak setelah mencoba ke salah satu dokter di rumah sakit spesialis bayi tabung di Jakarta Pusat. Bayi tabung? Ya, hampir 90% kasus suami Azoospermia hanya bisa memiliki keturunan melalui program bayi tabung. Saat itu saya sudah tidak peduli dengan biayanya. Bagi saya biarlah tabungan kami menipis yang penting kami bisa memiliki keturunan kandung.
Di tahun kedua pernikahan kami akhirnya suami melakukan operasi. Operasi ini bertujuan untuk mencari sperma langsung dari testis karena Azoospermia merupakan keadaan ketiadaan sperma, alias sperma suami saya tidak ada sama sekali. Operasi ini menghabiskan uang puluhan juta. Namun lagi-lagi kami harus menelan kekecewaan. Sperma suami tidak ditemukan meski sudah dilakukan operasi. Dengan kata lain, setiap kali kami melakukan hubungan suami-istri yang keluar hanyalah air mani, bukan sperma. Sedih? Pasti. Akan tetapi sekalipun saya tak pernah menangis di depan suami. Saya mencoba untuk bersikap tabah walau dokter telah memvonis suami saya mandul dan tidak akan bisa memiliki anak kecuali dengan mengangkat anak.
Suami dan orang tuanya berharap saya tidak membicarakan tentang mandulnya suami kepada keluarga besar lainnya. Bagi mereka berita ini adalah aib dan tentu saya juga tidak mau membuka aib suami saya sendiri. Namun, mana sanggup saya menanggung kesedihan ini sendirian? Meski kadang saya merasa bersalah, tapi saya merasa sedikit lega setelah curhat dengan sahabat-sahabat saya. Bagaimana bisa saya tetap tegar setiap ada acara dan rekan-rekan serta kerabat suami justru mencibir saya seolah saya lah yang mandul?
Hingga tahun ketiga pernikahan kami tak ada lagi dokter. Suami dan orang tuanya hanya diam kini. Namun, saya tidak mau berpasrah diri hanya bisa memandang sedih foto-foto bayi anak teman dan saudara-saudara. Saya tidak mau hanya diam saja setiap ditanya "Kapan kamu punya anak?" atau "Kapan kamu mau kasih anak ke suami kamu? Kasihan suami, lho!"
Ingin rasanya membeberkan semuanya ke setiap orang yang menanyakan pertanyaan tersebut. Namun tidak tega juga jika melihat suami yang hanya bisa diam. Kini kami berniat ingin mencoba pengobatan alternatif. Saya hanya bisa doa dan berikhtiar, dan inilah ikhtiar terakhir saya. Saya yakin Allah tidak akan menguji saya melainkan sesuai dengan kemampuan saya.
Jadi, bagi siapapun yang membaca tulisan ini. Please, STOP tanya "Kapan?" Karena kalian tidak akan tahu apa yang telah mereka lalui dan bagaimana mereka bisa survive sampai sejauh ini. Dan bagi kalian yang senasib dengan saya, yuk bangkit! Jangan tunjukkan kepada mereka bahwa kalian terpuruk dan sedih dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut! Tunjukkan bahwa kalian baik-baik saja. Carilah kesibukkan melalui pekerjaan kalian atau kegiatan positif lainnya. Percayalah bahwa Allah has perfect timing. It takes a little patience and faith, but it's worth the wait.
- Aku Memang Tak Sepintar Kakak-Kakakku, Tapi Bukan Berarti Aku Bodoh
- Berhenti Kerja Bukan Keputusan yang Tepat, Meski Anakku Sudah Tiga
- Setelah Berhijab, Banyak Kebaikan Kualami dan Jodoh Datang Menghampiri
- Tepat Sebelum Wali Nikah Datang, Ayah Mengembuskan Napas Terakhirnya
- Perselingkuhan Itu Terungkap Saat Hari Pernikahan Makin Dekat