Kisah salah satu sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Stop Tanya Kapan bisa dibilang agak berbeda. Bukannya galau ditanya kapan nikah atau kapan lulus, ia malah didesak untuk bisa cepat mandiri. Ia pun melakukan sesuatu dengan caranya sendiri.
***
“Kapan? “Kapan?” “Kapan?” Cukup! Aku sudah muak mendengar kata itu. Aku berlari menuju pintu kamar dan membanting keras pintu yang terbuat dari kayu tersebut. Tentunya kalian sudah tahu apa yang aku lakukan selanjutnya, ya benar! Menangis tersedu-sedu hingga mataku merah dan bengkak, lalu tertidur dalam sunyi malam.
Advertisement
Aku mahasiswi yang mempunyai hidup yang biasa-biasa saja, berkuliah di tempat yang tidak sepopuler kakak dan abangku. Ya di sini letak masalahnya, boro-boro kumpul keluarga besar, di setiap momen kumpul keluarga kecil pun, hampir setiap hari kata “kapan?” muncul dari perkataan Mama dan Papa.
“Adek, kapan kayak abang dan kakak? Sudah bisa hidup mandiri, lulusan dari perguruan negeri yang terkenal, umur 17 tahun udah Papa lepas, eh si adek udah 20 tahun masih di bawah ketiak Mama Papa," bicara dengan nada bercanda sekaligus mengejek. “Adek” adalah panggilanku di rumah.
Inilah diriku, yang selalu dibanding-bandingkan dengan kakak dan abangnya sendiri. Aku tidak sepintar mereka, tetapi setidaknya aku tidak bodoh. Memang, mereka 1.000 langkah lebih maju dariku. Tetapi apakah hal tersebut pantas dan wajib dipertanyakan padaku setiap hari? Pertanyaan-pertanyaan yang selalu dimulai dengan kata “kapan?” tersebut semakin membuatku terpuruk dan terjatuh. Hari demi hari kulalui, sambil berpikir keras bagaimana cara untuk membuktikan kepada orang tuaku kalau aku tidak seburuk yang mereka bayangkan.
“Pemilihan Duta Bahasa Sumatera Selatan 2017” terlintas di Instagramku sembari scrolling di laman home, kontes pageant yang cukup bergengsi di daerahku. Langsung terbesit di pikiranku “Apakah kontes ini jalan yang tepat untuk membuktikan kepada orang tuaku?”
Tanpa berpikir lama, aku pun langsung melengkapi seluruh persyaratan yang diperlukan dan mendaftarkan diri melalui e-mail. Satu minggu kemudian, akun Instagram dari kontes pageant tersebut me-upload sebuah foto yang mengumumkan peserta yang lulus administrasi. Namaku terpampang nyata! Tapi jangan senang dulu, ini bukanlah apa-apa, ini baru langkah awal untuk menuju kesuksesan! Aku harus melalui berbagai tes, tes tertulis, wawancara dan pembekalan selama satu minggu hingga dipilihlah 20 finalis yang berkompeten untuk dilombakan.
Dua minggu berlalu, aku telah melalui tes tertulis lalu tes wawancara dan lulus menjadi 20 finalis. Sampailah di hari pembekalan selama satu minggu, ini merupakan hari-hari yang berat bagiku untuk bersaing dengan pesaing yang tidak diragukan lagi kemampuannya, debater, story teller, bahkan ada yang pernah ke luar negeri untuk mengikuti lomba internasional.
Mentalku semakin kisut untuk bersaing dengan mereka yang berlatar belakang "orang pintar". Singkat cerita, tibalah malam final pemilihan Duta Bahasa Sumatera Selatan 2017. Hatiku pasrah menerima segala kemungkinan yang terjadi. Pembawa acara mulai mengumumkan pemenang, mulai dari pemenang Wakil III, namaku tidak terdengar, dilanjutkan dengan pemenang Wakil II, lagi, namaku tidak terdengar, dan Wakil I. “Pemenang Wakil I Duta Bahasa Sumsel 2017 adalah Prandwinata dan... Dinda Alifah Ayudita!” “Hah?! Nggak salah denger?” Aku pun tersentak ketika namaku disebut untuk maju ke atas panggung.
Lalu aku maju dan menerima berbagai penghargaan. Badanku bergetar dan masih tidak menyangka akan kemungkinan yang tidak mungkin ini. Walaupun tidak terpilih menjadi pemenang I Duta Bahasa, tetapi setidaknya aku bisa membuktikan kepada orang tuaku bahwa aku bisa membuktikan kepada mereka bahwa aku mampu.
Satu bulan berlalu setelah terpilih menjadi Wakil I Duta Bahasa Sumsel 2017, aku dan pasanganku, Prandwinata diberangkatkan ke Lampung untuk mengikuti Pemilihan Duta Bahasa ke jenjang selanjutnya, yaitu tingkat regional Sumatera. Lagi, aku dan pasanganku mendapat predikat pemenang II Duta Bahasa tingkat Regional Sumatera 2017! Dua pencapaian yang kucapai dalam kurun waktu yang singkat ini harus aku pamerkan ke kedua orang tuaku.
Mereka ikut bahagia dan bangga padaku. “Pa, Ma inilah yang bisa adek buktikan ke Papa Mama kalau adek nggak seburuk itu. Adek bisa berprestasi ya walaupun adek nggak bisa dapetin kampus yang sepopuler abang dan kakak.”
“Ini baru anak Papa Mama!” mereka langsung memelukku dengan erat.
Setelah momen tersebut, Papa dan Mama tidak pernah menanyakan “kapan?” lagi padaku. Percayalah, terkadang kritik, cemoohan, dan ejekan dapat membangkitkan kita keterpurukan walaupun kita memang tidak bisa menerima dengan lapang dada kritik tersebut. Kutipan yang selalu teringat di benakku dan selalu kujadikan motivasi ialah “Rahasia kehidupan adalah jatuh tujuh kali dan bangun delapan kali." So, jadikan momen "kapan-mu" menjadi gebrakan dan revolusi yang baru dalam hidupmu!
- Tepat Sebelum Wali Nikah Datang, Ayah Mengembuskan Napas Terakhirnya
- Perselingkuhan Itu Terungkap Saat Hari Pernikahan Makin Dekat
- Pernikahan Sederhana Tetap Bisa Sakral Saat Dipersiapkan dengan Baik
- Sayangku, Aku Mau Menikah Denganmu Tapi Jangan Menyuruhku Berhenti Kerja
- Kisahku Lamaran Bulan Maret, Menikah Sebulan Kemudian