Kisah sahabat Vemale dalam tulisan yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Here Comes the Bridezilla ini mungkin juga pernah dirasakan sebagian besar wanita lain. Saat akan menikah, tapi calon suami memintamu berhenti bekerja, apa yang akan kamu lakukan?
***
Akhirnya hari itu tiba! Di jelang usiaku yang ke-30 tahun, Mas Arya, teman dekatku selama tiga tahun belakangan, mengajukan lamaran kepada orang tuaku untuk menjadikan diriku sebagai teman hidupnya. 1 Desember 2017 dijadikan hari di mana pernikahan kami akan dilangsungkan. Bahagia? Pasti! Bahkan diriku sendiri merasa tersipu-sipu tiada henti sepanjang hari.
Advertisement
Semua persiapan dipercayakan semua padaku. Orang tua dari calon suamiku berkata, “Nduk, ini acara kamu, kamu lah yang akan menjadi bintang di sana. Jadi apa pun yang kamu mau, silakan. Mau sederhana, boleh, kami nggak keberatan. Mau ramai dan megah, boleh juga, Insya Allah kami akan membantu”. Kebahagiaan siapa yang tidak membuncah dengan kasih sayang seperti itu?
Dan sebagaimana impianku sedari remaja, aku menginginkan pernikahan yang sederhana. Akad nikah dan resepsi di restoran taman yang sederhana, didampingi orang tua, kerabat dekat, dan para sahabat. Khidmat tanpa hura-hura, namun dengan kebahagiaan yang nyata. Syukurlah karena tidak neko-neko, seluruh persiapan pernikahan yang akan diadakan di Solo, kota kelahiranku, berjalan mudah dan lancar, walaupun aku harus mengurusnya dari Jakarta, kota tempatku bekerja.
Pengajuan cuti ke atasanku pun berjalan dengan lancar. Beliau mendoakan segala yang terbaik, dan mempersilakan bila sewaktu-waktu aku perlu pergi ke Solo untuk keperluan persiapan pernikahan.
“Yang penting pekerjaan kamu beres ya," demikian pesan atasanku.
Semua lancar, dan aku sangat bahagia.
Hingga akhirnya tadi malam, aku bertanya pada calon suamiku, “Mas, sudah ajukan cuti ke atasan? Cuti adek sudah disetujui lho, jadi sejauh ini semua lancar."
Dan calon suamiku menjawab, “Syukur ya, Dek. Tapi nanti, setelah menikah, menurut Mas lebih baik Adek tidak kerja lagi ya."
Aku tercekat. Dalam kedekatan kami selama 3 tahun ini, tidak pernah terpikir olehku bahwa calon suamiku akan mengajukan permintaan ini. Tidak pernah sekalipun kami berdiskusi soal ini. Dan tentu saja aku merasa sangat bimbang. Aku menyukai pekerjaanku, menyayangi rekan-rekan kerjaku, dan mampu hidup mandiri dari penghasilan yang aku terima. Aku pun mampu menyokong kebutuhan orang tua dan adik-adikku dari penghasilan tersebut. Apalagi karierku pun cukup baik. Saat ini aku sudah memegang jabatan sebagai supervisor. Bukan tidak mungkin bila kurang dari 5 tahun ke depan aku akan dipromosikan sebagai manajer.
Tetapi aku juga tidak pernah berpikir untuk tidak mengikuti keinginan calon suamiku.
Entah berapa lama aku terdiam, hingga akhirnya dia bertanya, “Kenapa, Dek? Kamu keberatan?"
Aku hanya bisa menjawab, “Ya kan Adek belum bicara apa-apa ke atasan, nanti beliau kaget. Adek juga belum diskusi dengan orang tua."
Namun aku tahu, itu hanyalah jawaban gamang. Calon suamiku pasti tahu bahwa aku hanya berkelit dari pertanyaan. Pembicaraan tentang hal itu tidak dilanjutkan lagi, namun sudah pasti menimbulkan kebimbangan dalam hati dan pikiranku.
Bagiku, bekerja seperti saat ini adalah impian sedari muda. Aku tidak pernah mencibir para perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga tanpa bekerja di luar, namun aku tahu hal seperti itu bukanlah mimpiku. Aku selalu suka bertemu dengan teman-teman kantor, relasi-relasi perusahaan, dan orang-orang baru. Aku juga merasa bangga dan tenang saat bisa hidup mandiri, bahkan mampu menyokong kehidupan keluargaku. Aku sangat senang bahwa hal yang aku lakukan bisa membuat mereka merasa lebih senang dan bahagia. Dan aku tidak main-main dalam karierku, karena aku telah mengusahakan upaya maksimal untuk menjadi yang terbaik.
Aku selalu ingin terbang.
Dan kini aku diminta untuk meninggalkan seluruh hal itu. Aku tidak bisa.
Hari ini aku memberanikan diri untuk menyatakan kepada Mas Arya bahwa aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku. Hal itu sama saja membunuhku, karena berarti mematikan mimpi-mimpiku. Aku mengatakan padanya, bahwa aku siap untuk hidup selamanya bersamanya, melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, juga menjaga keluarganya, namun aku tidak sanggup membunuh diriku sendiri.
Aku tidak tahu apakah dia akan bisa menerima keinginanku. Namun aku akan tetap memegang mimpi-mimpiku. Karena bukankah demikian seharusnya sebuah pernikahan? Bahwa seharusnya pernikahan adalah menerima kedua belah pihak, serta menjaga dan mendukung satu sama lain agar bisa sama-sama menjadi lebih “besar” daripada sebelumnya. Aku akan terus meyakinkannya, hingga akhirnya dia bersedia membawa kami terbang bersama-sama.
Bagi para perempuan yang lain, percayalah, pernikahan bukanlah waktu di mana api dan cahaya dalam diri kita harus dipadamkan. Pernikahan seharusnya menjadi momen untuk menjaga api tersebut, memancarkan cahaya yang lebih berkilau, hingga kita benar-benar bisa menjadi pelita yang memancarkan cahaya kebaikan. Bila memang ingin menjadi 100% ibu rumah tangga di rumah, ungkapkanlah. Bila ingin menjadi perempuan karier, ungkapkanlah juga. Apa pun yang menjadi mimpimu, ungkapkanlah. Dan kejarlah dengan segala usaha terbaik.
Karena pernikahan adalah kesetaraan. Saling berpegang tangan, saling mendukung. Bersama meraih mimpi dan menjadi pelita.
Jakarta, 28 Juli 2017
Pradnya N. Putri
- Menikah Tak Semudah Melempar Batu, Apalagi Kalau Terhalang Tradisi
- Kisahku Lamaran Bulan Maret, Menikah Sebulan Kemudian
- Pernikahan Tak Bisa Diatur Sendiri, Sebab Bahagia Bukan Cuma Milik Berdua
- Mempersiapkan Pernikahan dalam 2 Bulan, Ini yang Terjadi Kemudian
- Sungguh Tak Kumengerti, Kenapa Ibu Tak Mau Menerimaku Jadi Menantu?
(vem/nda)