Dalam tulisan yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Here Comes the Bridezilla ini, seorang sahabat Vemale menceritakan kisah persiapan pernikahannya 10 tahun yang lalu. Dan ada banyak pelajaran yang diperolehnya yang masih terus diingat hingga saat ini.
***
Oktober tahun ini usia pernikahan kami memasuki tahun ke-10. Flash back ke 10 tahun yang lalu, karena masih belum banyak tabungan jadinya pesta pernikahan dibiayai orang tua. Secara suami anak pertama, mertua semangat sekali mempersiapkannya. Karena saya kerja, maka tidak bisa meninggalkan kantor dengan mudah. Jadinya sedikit pasrah juga, semua-semua diurus oleh mertua. Saya ibaratkan bahwa saya ini seperti undangan di pesta pernikahan saya sendiri, karena tidak banyak tahu tentang detil pernikahan saya jadi pasrah saja dengan yang sudah diuruskan oleh mertua.
Walaupun tinggal sekota, orang tua saya ngotot juga mengadakan pesta sendiri. Selisih antara dua pesta tersebut adalah 4 hari. Bisa dibayangkan gimana ruwetnya. Yang berperan besar di pesta dari pihak saya adalah mama saya dan kakak perempuan saya, di mana keduanya punya cara pandang yang berbeda sama sekali. Bahkan di hari H-1 mereka berdua bertengkar hebat memperdebatkan yang bahkan saya tidak ingat apa penyebabnya, yang jelas saya bingung harus bagaimana dan akhirnya hanya bisa menangis. Karena stres juga, waktu itu saya menangis terus dan tidak bisa berhenti sampai akhirnya mama dan kakak saya berhenti bertengkar untuk menenangkan saya. Hasilnya adalah lebam merah di bawah kedua mata saya, yang saya harap bisa tertutup dengan make up di keesokan harinya. Hahaha.
Advertisement
Karena ingin menikah secara Katolik di mana sekaligus terima sakramen pernikahan, tetapi hal ini hampir tidak dapat terwujud karena suami belum dibaptis waktu itu. Sementara prosedur resmi di Katolik adalah sekolah agama dengan 1x pertemuan setiap minggu yang bisa berlangsung selama 1 tahun. Bertanya kesana-kemari, ada yang bilang bisa dibaptis kilat tetapi di Surabaya. Hal ini meragukan juga karena kami domisili Malang, dan tidak pernah sekalipun ke gereja sana. Untunglah ada satu orang romo yang memiliki pandangan berbeda dan bersedia membantu kami, dengan catatan tetap harus menjalani sekolah agamanya tetapi dapat dilakukan setelah menikah. Puji Tuhan, akhirnya satu bulan sebelum pernikahan kami suami dapat dibaptis khusus di mana hanya dia seorang. Rupanya Tuhan memang beri jalan terbaik.
Cobaan lagi yang cukup konyol adalah sepuluh hari sebelum menikah, bos saya datang dari luar kota dan menginap bersama keluarganya dalam rangka mensurvei pameran yang kantor saya adakan. Karena di hotel tidak boleh membawa binatang peliharaan, bos menitipkan anjing kesayangan anaknya di rumah saya. Di hari kedua, di mana dia akan segera pulang kita bertemu di lokasi pameran di mal. Rencana semula yang cuma sebentar saja ternyata molor karena ada masalah di lokasi pameran, sementara itu calon suami sudah stand by di parkiran mau menjemput saya sambil membawakan anjing bos saya.
Saat itu mal sedang ramai dan dia tidak dapat parkir, dia telepon berkali-kali tetapi saya tidak angkat karena tidak dengar. Akhirnya saat saya keluar ternyata dia sudah pergi dan meninggalkan saya, yang kebingungan bukan karena tidak ada angkutan tetapi karena anjing bos saya dibawa pergi juga. Sementara anak bos saya mulai merengek mencari anjingnya. Dengan panik saya telepon kakak saya untuk menjemput dan membantu mencari. Saat itu kakak saya malah nyinyir dan suruh saya memikirkan ulang segala sesuatunya mumpung belum menikah. Walaupun demikian tetapi kata-katanya membuat saya berpikir ulang juga. Singkat cerita masalah anjing selesai, dan saya telah memikirkan kembali dan tetap melanjutkan pernikahan yang di depan mata.
Flashback berbagai kejadian waktu itu, setelah sepuluh tahun saya menyadari bahwa banyak hal terjadi karena pola pikir saya yang belum dewasa waktu itu. Secara umur mungkin sudah cukup matang 28 tahun, tetapi hal itu tidak menjamin kedewasaan. Dan saya jadi menyadari bahwa semua keributan persiapan pernikahan itu, sebenarnya tidak berarti lagi setelah hari H terlewati. Karena kehidupan sesungguhnya baru dimulai setelah itu. Di mana kadang cobaan terberat tidak melulu datang dari hal besar, pertengkaran besar saya setelah menjadi suami istri juga karena seekor anjing.
- Menikah Tak Semudah Melempar Batu, Apalagi Kalau Terhalang Tradisi
- Kisahku Lamaran Bulan Maret, Menikah Sebulan Kemudian
- Pernikahan Tak Bisa Diatur Sendiri, Sebab Bahagia Bukan Cuma Milik Berdua
- Sungguh Tak Kumengerti, Kenapa Ibu Tak Mau Menerimaku Jadi Menantu?
- Mempersiapkan Pernikahan dalam 2 Bulan, Ini yang Terjadi Kemudian