Sukses

Lifestyle

Berhenti Menuruti Keinginan Orang Tua, Aku Mulai Turuti Kata Hati

Kadang sulit untuk memilih antara kata orang tua atau kata hati. Pada akhirnya keputusan harus diambil. Kisah nyata ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis: My Life, My Choice.

***

Pertengahan 2016, saya baru saja resign dari pekerjaan saya sebagai seorang web programmer. Alasannya waktu itu karena memang pekerjaan itu bukanlah passion saya. Keputusan saya bisa dibilang cukup nekat, karena saat itu saya belum punya pekerjaan baru. Akhirnya saya menganggur dan memutuskan untuk diam di rumah orang tua saya sambil mencari pekerjaan melalui internet.

Status saya sebagai perempuan berusia 24 tahun yang nganggur dan enggak ada laki-laki yang datang untuk mengapeli rupanya cukup membuat resah kedua orang tua saya, terutama Bapak. Beberapa kali Bapak bertanya apakah saya sudah punya calon. Dengan nada malas-malasan saya selalu memberikan jawaban yang sama, “Gak usah nanya-nanya calon terus lah Pak. Aku ini sekarang lagi fokus cari kerja biar jadi anak yang sukses.” Sering kali saya melihat raut kecewa di wajah Bapak setiap saya melontarkan jawaban seperti itu.

Suatu malam saya menyampaikan niat saya untuk ambil program satu tahun pendidikan perhotelan di sebuah lembaga. Menurut review, ada chance untuk dapat assignment di luar negeri dan bekerja di kapal pesiar. Saya selalu bermimpi untuk keliling dunia, atau setidaknya keliling Indonesia. Selain itu, saya pikir kalau saya mendapatkan kesempatan ini, maka ini adalah keputusan yang baik bagi saya dan kedua orang tua. Karena kami tidak pernah bisa tinggal bersama dalam satu atap yang sama terlalu lama. Pasti selalu ada konflik. Jadi harus sering jauh-jauhan, biar kangen, biar saling mendoakan yang baik-baik terus.

Keinginan saya tersebut tidak disambut baik oleh Bapak. Sambil bercanda, Bapak bilang “Ngapain lah kamu tuh belajar terus. Lagian anak perempuan gak usah kerja jauh-jauh. Mending cari calon sana, biar cepat nikah. Bapak itu sudah bosan main dengan anaknya keponakan Bapak terus. Pengen main dengan cucu sendiri.” Mama dan adik-adikku sontak tertawa mendengar pernyataan Bapak. Saya juga ikut tertawa, tapi dalam hati saya bersedih karena menikah bukanlah prioritas saya.

Seumur hidup, saya selalu mengambil keputusan berdasarkan apa yang orang tua saya inginkan. Sekolah SMA dan ambil jurusan IPA padahal ingin ambil Bahasa, kuliah Teknik Informatika padahal ingin ambil perhotelan atau HI, bekerja di sebuah program kementrian yang menempatkan saya di domisili saya sendiri padahal enggak mau kerja di dekat rumah, sampai jadi web programmer pun terpengaruh dengan celetukan orang tua yang bilang, “Buat apa sekolah tinggi-tinggi, kalau kerjanya engak nyambung sama yang dulu dipelajari.”, padahal sejak kuliah saya enggak suka programming.

Dulu saya berpikir, nggak apa-apa saya menyerah atas pilihan saya. Yang penting orang tua saya bahagia. Tapi ternyata saya salah. Saya tidak bahagia, dan ini berdampak juga pada kebahagiaan mereka. Saya sering menyalahkan mereka atas ketidakbahagiaan saya dan akhirnya kami berantem. Maka dari itu, kali ini saya memutuskan untuk tidak mengikuti apa yang Bapak saya inginkan; menikah, dan keukeuh pada keinginan saya yaitu mendapatkan pekerjaan yang saya mau.

Saya bersikukuh pada kedua orang tua, terutama Bapak, kalau saya akan fokus mencari pekerjaan. Orang tua merestui. Tapi ternyata hal ini pun tetap menimbulkan konflik. Mereka menyalahkan saya yang dianggap terlalu pilih-pilih pekerjaan. Bapak sempat menawarkan lowongan pekerjaan di perusahaan milik temannya, tapi saya tolak dengan alasan bahwa pekerjaannya bukanlah yang saya inginkan. Terlebih lagi, lokasi nya yang masih dekat dengan rumah membuat saya enggan untuk bekerja di sana. Karena saya yakin bahwa saya gak akan berkembang dengan pekerjaan tersebut dan budaya yang ada di lingkungan tempat tinggal saya.

Beberapa hari sempat bersitegang dengan kedua orang tua, saya memutuskan untuk lari dari rumah. Saya punya rencana, saya punya target dan saya butuh pikiran dan suasana yang tenang. Sekitar dua minggu saya tidak pulang, dan selama itu pula saya mendatangi banyak interview. Sampai pada akhirnya ketika saya merasa hampir menyerah, sebuah kabar menggembirakan datang. Saya diterima di sebuah perusahaan konsultan IT yang cukup besar. Kabar ini saya sampaikan kepada kedua orang tua saya, mereka ikut berbahagia.

Namun kekhawatiran sempat diungkapkan oleh kedua orang tua saya, karena pekerjaan ini mengharuskan saya untuk berpindah-pindah lokasi dari waktu ke waktu. Dengan tenang saya katakan kepada mereka bahwa ini adalah jenis pekerjaan yang saya inginkan. Dan saya yakin, sesulit apapun menjalaninya saya pasti akan lebih bahagia dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang lalu.

Saat ini saya masih bekerja di tempat yang sama dan saya menikmati setiap prosesnya. Di bulan ke empat saya sudah ditugaskan di luar kota dan lewat situ saya berkesempatan untuk mengunjungi beberapa kota lainnya di Indonesia. Mimpi saya terwujud sedikit demi sedikit dan saya bahagia. Meskipun saya harus mengorbankan keinginan kedua orang tua saya untuk cepat menikah, pada dasarnya pilihan hidup saya ini adalah agar saya bisa membahagiakan mereka juga. Saya tidak ingin menjadi anak yang seumur hidupnya menyalahkan kedua orang tua terus-menerus.

Mungkin ini terkesan egois, tapi saya pikir sesekali kita harus mengedepankan kebahagiaan kita agar kita tidak menyakiti orang lain terlalu jauh nantinya. And the most important thing is knowing what you really want, fight for it, and make it come true.

(vem/yel)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading