Menikah adalah impianku, tapi aku punya impian lain sebelum menikah. Kisah nyata ini dituliskan spesial untuk Lomba Menulis: My Life, My Choice.
***
Setelah menyelesaikan kuliah S1, Aku pikir semuanya akan berjalan sesuai dengan rencana hidup yang aku inginkan. Memiliki pekerjaan tetap dengan gaji yang lumayan, mengunjungi tempat baru dan bertemu dengan teman-teman baru karena aku memang belum pernah bepergian ke luar daerah, serta banyak hal lain yang terlintas di kepalaku. Namun, semuanya seakan runtuh saat orang tuaku menginginkan Aku segera menikah.
Advertisement
Pertanyaan “Kapan rencana mau menikah?” “ Sudah punya calon untuk dikenalkan?” “Jangan milih-milih, mau cari yang gimana lagi?” mulai menyerang. Karena sudah menjadi hal lumrah di kampungku, seorang anak gadis tidak boleh terlalu lama dibiarkan melajang. Orang tuaku tidak memulai pertanyaan “Kamu sudah siap untuk menikah?” karena Aku sudah menyiapkan jawabannya AKU BELUM SIAP MENIKAH. Aku masih ingin menikmati masa-masa single sebelum disibukkan dengan urusan mengurus bayi dan sebagainya. Kalian tahu lah, kondisi sebelum dan sesudah menikah itu sangat berbeda. Aku juga belum melakukan sesuatu yang berarti.
Desakan Itu Terus Datang dan Inilah Pilihanku..
Ibuku adalah orang nomor satu yang terus-terusan mendesakku untuk segera menikah. Hal itu membuatku pusing. Saat ada undangan pesta pernikahan, ibuku sering mengatakan “Anak gadis yang sebaya Kamu sudah pada nikah, Kamu kapan?” seolah menikah itu adalah lomba lari saja. Kata-kata yang paling parah yang sering Aku dengar “Kalau milih-milih ntar jadi perawan tua”. Nah lho! Umurku masih 22 tahun. Aku masih punya sekitar 20 tahun lagi untuk menunggu jodoh sebelum di cap jadi ‘perawan tua’, lagian Aku percaya jodoh akan datang tepat pada waktunya. Belum lagi setiap ada yang bertanya tentang Aku, ibuku selalu bertanya pada mereka “Apa ada calon pria yang bisa dijodohkan?”. Aku jadi luar biasa malu, merasa seperti ditawari karena susah lakunya.
Tanpa sepengetahuan orang tuaku, Aku mencari informasi tentang lowongan kerja yang penempatannya di luar daerah. Seperti ingin mencoba pepatah lama, sekali tepuk dua tiga nyamuk mati. Selain ingin mencari mewujudkan keinginanku untuk mengunjungi tempat-tempat baru diluar sana dan mendidik anak-anak yang berada di daerah 3T, juga untuk menghindari pernikahan yang dipaksakan terjadi.
Pada tahun 2011 KEMENDIKBUD merekrut sarjana muda lulusan FKIP untuk mengajar di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Aku senang sekali, Tuhan memberiku solusi. Aku segera melaju ke Banda Aceh untuk melengkapi berkas administrasi. Semuanya juga tidak mudah untuk didapat, Aku harus bersaing dengan lebih dari 1000 peserta tes. Aku belajar keras agar bisa lulus passing grade CAT yang telah ditetapkan.
Aku lulus dan ditugaskan untuk mengabdi di Kabupaten Kepulauan Anambas. Aku sangat senang, akhirnya bisa keluar daerah dan bertemu anak-anak di sana. Apalagi saat mengetahui Kepulauan Anambas masuk kategori pulai terindah se Asia Tengggara. Rasanya seperti akan berwisata gratis dalam waktu yang lama. Satu hal lagi, Aku menanda tangani kontrak kerja dengan syarat tidak boleh menikah selama mengabdi. Sempurna!
Orang tuaku masih saja berharap Aku segera menikah. Saat ada yang datang melamarku, ibuku beberapa kali meneleponku bertanya tentang pendapatku dan berharap Aku akan menerimanya. Aku berkali-kali juga mengingatkan beliau tentang surat kontrak kerja-tidak boleh menikah selama mengabdi.
Aku sangat menikmati hidupku di sana. Bertemu banyak teman baru, bertemu siswa-siswa yang punya semangat belajar yang tinggi, bertemu dengan warga setempat yang ramah dan baik serta menikmati budaya setempat yang sangat berbeda dengan daerahku.
Setelah satu tahun mengabdi, Aku melanjutkan kuliah Pendidikan Profesi Guru dengan beasiswa penuh dari pemerintah. Orang tuaku sangat senang, tetapi persoalan “Kapan nikah?” masih terus ditanyakan, “Oh tentu saja, Aku akan segera menikah setelah lulus kuliah!”. Karena, Aku tahu sejauh apapun aku ingin melangkah, menikah juga menjadi salah satu impianku.
(vem/yel)