Ladies seperti yang kita ketahui kekerasan masih banyak terjadi pada para wanita. Persoalan ini memang tidak mudah diselesaikan secara mudah.
Sebagaimana direkam Komnas Perempuan pada tahun 2016, terjadi 321.752 kasus di ranah personal, di antaranya 1.657 kasus perkosaan, 1.064 pencabulan, dan 268 kasus pelecehan. Di ranah negara, terdapat 8 kasus pelanggaran. Dan masih banyak lagi bentuk kekerasan lainnya yang berdampak negatif kepada perempuan di Indonesia.
"Kekerasan sosial ekonomi masih merupakan persoalan, misalnya, sementara praktik tradisional seperti sunat perempuan yang membahayakan kesehatan reproduksi perempuan. Stigma tentang keperawanan dan perilaku seksualitas perempuan menghambat akses pendidikan, sikap penegak hukum dan pejabat publik masih bias gender, dan kesempatan berpolitik yang belum setara," ujar Dian Kartikasari, Sekertaris Jendral Koalisi Perempuan Indonesia, di Jakarta.
Advertisement
Meskipun laki-laki dapat juga menjadi korban kekerasan, tapi korban terbesar masih terjadi pada kaum perempuan. Data lain dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) tahun 2016 mencatat bahwa 2,27 juta perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Sementara, data dari Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama menyebutkan bahwa terdapat 305.535 kasus, sedangkan lembaga layanan kekerasan mencatatkan telah terjadi 16.217 kasus kekerasan terhadap perempuan. Data dari Arus Pelangi juga menggambarkan ada tingkat diskriminasi dan kekerasan tinggi terhadap individu lesbi, gay, biseks, dan transgender (LGBT).
Penelitian mengatakan bahwa 89.3% LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan, dimana 79.1% dalam bentuk kekerasan psikis, 46.3% dalam bentuk kekerasan fisik, 26.3% dalam bentuk kekerasan ekonomi, 45.1% dalam bentuk kekerasan seksual, dan 63.3% dalam bentuk kekerasan budaya. Hampir separuh (49%) dari semua transperempuan (waria) pernah mengalami kekerasan seksual.
Menjelang Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret, juga sebagai bentuk solidaritas international Women’s March, Women’s March Jakarta yang terdiri dari individu, kelompok diskusi feminis, mahasiswa, anak muda, aktivis, pekerja swasta dan pekerja seni, menyampaikan 8 Tuntutan Perempuan Indonesia untuk Peradaban yang Setara:
1. Kami menuntut pemerintah membangun kembali masyarakat yang toleran dan menghormati keberagaman, sehingga dapat menekan semua tindak kekerasan atau pelanggaran HAM. Pemerintah dan pemimpin negara harus membangun kesadaran pentingnya toleransi dan penghormatan pada keberagaman baik kepada minoritas atau kelompok marjinal baik itu berdasarkan suku, ras, agama, orientasi seksual dan lainnya sebagaimana dimandatkan dalam Konstitusi Indonesia yang non diskriminasi.
2. Kami menuntut pemerintah untuk membangun infrastruktur hukum dan kebijakan yang pro-keadilan gender, dengan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Buruh Migran, serta menolak upaya judicial review perubahan KUHP terkait pasal zina yang jelas merugikan perempuan. Kami menuntut diwujudkannya peraturan dan kebijakan yang berperspektif gender dan akan membantu pengurangan kekerasan terhadap perempuan, pemenuhan hak, dan pencapaian keadilan untuk perempuan Indonesia dan keberhasilan Indonesia dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs).
3. Kami menuntut pemerintah aktif dan komprehensif dalam merencanakan program dan mengalokasikan anggaran untuk kesehatan perempuan, pengurangan kekerasan berbasis gender, penghapusan pernikahan anak, penurunan angka kematian ibu melahirkan melalui perbaikan fasilitas dan pendidikan kesehatan reproduksi yang terjangkau bagi perempuan, serta mendukung penghapusan sunat perempuan.
4. Kami menuntut pemerintah dan mengajak masyarakat untuk memperhatikan isu lingkungan hidup, perubahan iklim, dan kaitannya dengan hak-hak pekerja perempuan. Alih fungsi lahan dan konflik terkait eksploitasi sumber daya alam, karena investasi semakin meminggirkan perempuan dalam mengakses dan mengelola sumber daya alam. Perempuan ditempatkan sebagai pekerja di tengah kondisi yang terpapar perubahan iklim yang mempercepat kerusakan alam dan tidak terjaminnya hak perempuan pada upah yang layak dan layanan kesehatan yang memadai di perusahaan/sektor Industri.
5. Kami menuntut pemerintah membangun kebijakan dan pelayanan publik yang pro pada perempuan, pro-individu transgender, dan pro-warga negara berkebutuhan khusus (disabilitas). Pelayanan ini mencakup pelayanan yang disediakan di publik maupun di ruang kerja. Keberpihakan kebijakan pemerintah dan etika perusahaan yang berperspektif gender akan mendukung suasana kerja yang lebih kondusif dan mendukung penghapusan pelecehan seksual/kekerasan seksual di dalam tempat kerja. Pelayanan publik dan tempat kerja yang mendukung individu dengan kebutuhan khusus adalah bentuk realisasi hak-hak dasar.
6. Kami menuntut partai politik dan pejabat negara untuk memperhatikan hak politik perempuan, dengan mendukung perubahan dalam revisi UU Penyelenggaraan Pemilu dan RUU Partai politik dengan mendukung keterwakilan perempuan minimal 30 persen di setiap daerah pemilihan (dapil), menempatkan perempuan dalam posisi strategis dalam struktur partai politik, dan melakukan kaderisasi serta proses rekrutmen calon legislatif, eksekutif, maupun pengurus partai secara setara. Kami juga menuntut pemerintah untuk meningkatkan kaderisasi dengan menempatkan lebih banyak perempuan pada jabatan strategis melalui seleksi yang adil dan setara gender.
7. Kami menuntut pemerintah untuk memenuhi HAM dan hak seksualitas bagi individu dan kelompok dengan orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda, serta mengajak masyarakat untuk menghormati keberagaman dan menghargai keberadaannya sudah ada sejak zaman dulu, sesuai UU HAM dan UUD 1945 yang mengatakan bahwa masyarakat bebas berorganisasi dan bermasyarakat. Semua tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap individu dengan orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda merupakan pelanggaran konstitusi.
8. Kami mengajak masyarakat luas untuk lebih peduli pada isu perempuan dan dampak kebijakan internasional kepada hak-hak perempuan. Ini adalah bentuk solidaritas dengan perempuan dari seluruh dunia. Warga negara Indonesia harus menunjukkan solidaritas dan keberpihakan pada gerakan perlawanan atas pelanggaran yang terjadi, baik terkait isu fasisme, intoleransi, diskriminasi berbasis SARA, dan sentimen atau opini publik yang anti-imigran.
Tuntunan ini akan dibacakan di depan Istana Negara pada 4 Maret 2017, sebagai rangkaian acara Women’s March Jakarta.
(vem/asp/yel)