Orang bilang, beda itu indah. Tetapi kita bisa apa jika beda itu adalah prinsip utama dan jauhnya gaya hidup kita? Surat cinta ini adalah salah satu surat yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Surat Cinta Vemale.com.
***
Hai, ini tahun ketiga kita bertemu lagi. Seperti biasa, kamu kembali, masih dengan tanya yang sama.
Advertisement
Sejujurnya, aku termasuk yang datar, bahkan cenderung skeptis soal pacaran dan cinta. Aku, yang chubby namun cukup percaya diri, kecuali soal cinta. Aku yang lebih suka punya banyak teman, laki-laki dan perempuan.
Aku, yang tidak percaya waktu kamu meminta nomor teleponku dan mengajakku keluar untuk makan malam bersama.. tiga tahun lalu. Kukira kita hanya dua orang teman baru yang ingin saling mengenal, tidak lebih.
Namun, ternyata kamu punya niat lain. Sejak itu, hatiku sempat bimbang karenamu.
Jujur, aku menyukai perhatianmu. Tumbuh dengan keminderan karena sering diejek gendut dan dianggap kalah cantik dengan kakakku menjadi penyebabnya. Tak heran, aku lebih skeptis dan sulit percaya saat ada laki-laki yang mengaku menyukaiku. Punya banyak teman laki-laki tidak menjamin aku percaya diri.
Selain itu, banyak sekali faktor penghadang kita. Perbedaan agama, latar belakang budaya, gaya hidup, hingga... ah, pokoknya terlalu banyak.
Kita berasal dari dua dunia yang terlalu berbeda. Kamu sudah menjelajah ke banyak negara. Di sini aku punya keluarga, pekerjaan, dan teman-teman yang tidak bisa kutinggal begitu saja. Inilah hidupku, itulah hidupmu.
Klise memang. Pada akhirnya, kamu kecewa. Aku menolak ajakan traveling berdua denganmu, karena waktu itu kita belum saling mengenal cukup lama. Aku curiga.
Aku juga menolak ajakanmu untuk berhubungan ‘terlalu jauh’ sebelum menikah. Bagimu, itu sudah biasa. Bagiku, itu gila. Aku masih ingat Tuhan, dosa, kehamilan, dan penyakit menular. Apalagi kamu pernah bercerita bahwa mantan pacarmu banyak. Aku ngeri.
Kamu pun pergi.
Aku berusaha untuk tidak peduli. Toh, tidak ada kamu, aku juga tidak akan mati.
Tahun kedua, kamu kembali. Masih dengan senyum dan tanya yang sama, seakan sudah biasa dan tidak peduli aku bisa – dan sudah – terluka. Kamu belum juga berubah.
Jawabanku masih sama. Kita hanya bisa jadi teman. Lagi-lagi kamu kecewa dan kembali pergi begitu saja.
Baiklah. Kukira kamu tidak serius dan menganggap semua perempuan hanya mainan. Sekali lagi, kucoba melupakanmu.
Now here we go again. Kamu kembali, dengan pertanyaan yang itu-itu lagi. Bisakah kita bersama? Kamu menyukaiku dan yakin aku pun masih menyukaimu. Bahkan, saat ada yang menyangka bahwa kita pasangan, dengan raut kecewa kamu menjawab: “Sayangnya bukan.”
Sekarang kamu pergi. Kurasa kamu tidak akan pernah membaca ini. Semoga pembicaraan terakhir kita membuatmu akhirnya mengerti dan tidak bertanya-tanya lagi.
Terima kasih atas semua perhatianmu. Kamu adalah bukti nyata bahwa ucapan mereka selama ini salah: bahwa laki-laki hanya menyukai perempuan yang kurus. Kamu telah membuatku tidak lagi merasa sejelek hinaan mereka selama ini.
Ya, aku juga menyukaimu. Kamu cerdas, lucu, dan gila. Bahkan, aku sudah jatuh sayang padamu. Namun, aku lebih mencintai diriku sendiri. Terlalu banyak yang harus kukorbankan bila memutuskan untuk bersamamu. Agamaku, prinsipku, seluruh hidupku.
Tidak, aku tidak bisa bersamamu, bahkan meski ada cukup rasa sayang untuk mencobanya. Aku tahu, kamu selalu mencari kasih sayang yang hilang, meski enggan mengakuinya. Kamu tidak pernah puas dengan satu perempuan saja dan aku enggan memakluminya.
Jadi maaf, aku tidak bisa mencintaimu. Kamu belum mengerti arti cinta, karena belum berdamai dengan masa lalumu dan memaafkan keluargamu. Tentu saja, itu bukanlah pembenaran atas sikap dan perilakumu selama ini.
Sebagai teman, aku hanya bisa berdoa agar kamu segera menemukan kedamaian sejati di hati. Kurasa, ini sudah merupakan batas rasa sayangku untukmu.
Dari yang menyayangimu,
R.
(vem/yel)