Menjelaskan kematian kepada seorang bocah memang sesuatu perkara yang tidak gampang. Cenderung menjadi hal yang hampir mustahil karena sulitnya menjelaskan bagaimana tubuh tak berjiwa yang sudah dikubur tak akan mungkin 'disembuhkan' atau bangkit hidup kembali. Tubuh-tubuh itu akan segera hancur menyatu dengan tanah. Bagaimana jiwa-jiwa manusia pergi meninggalkan jasadnya, kembali ke Penciptanya atau menuju surga. Kesulitan muncul lagi tatkala harus menjelaskan hal yang abstrak soal ajal yang sudah menjadi suratan takdir. Bagaimana kita yang masih ada di dunia ini diberi waktu lebih untuk menikmati dan memanfaatkan hidup sebaik-baiknya. Perkara-perkara di atas menjadi hal-hal yang harus dijelaskan dengan serius. Tentunya tak mudah. Tapi banyak orang tua justru malah dengan serampangan menggampangkan penjelasan soal kematian kepada para bocah, karena dianggap "masih kecil dan dangkal, belum paham apa-apa."
"Adakah doa penyembuh kematian?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut sang bocah. Bisa jadi, jawaban "tidak" lah yang akhirnya dipilih sembari dibalut senyum simpul atau justru tegas tanpa tedeng aling-aling apalagi senyuman. Jawaban tegas yang membiarkan si bocah dalam kekecewaan dan kegalauan hatinya. Atau pilihan lain yaitu memberikan jawaban panjang dengan kalimat pengandaian yang bijaksana. Memberikan pengertian pada anak soal kematian dengan bahasa yang sederhana namun sarat makna bahwa kematian adalah hal yang tak bisa ditolak, dihindari apalagi disembuhkan. Semua manusia akan mengalaminya.
Namun semua itu apakah bisa diterima oleh seorang bocah yang baru mengalami kehilangan akan seseorang yang dirindukannya? Apakah jawaban itu bisa mengobati rindunya tak akan berbalas sampai kapan pun juga? Bagaimana menjelaskan soal kematian jika yang mencoba menjelaskan pun justru masih mencari makna dari kematian itu sendiri?
"Sudahlah ikhlaskan, seperti kita telah mengikhlaskan hari kemarin dan masa lalu. Ayah dan kakak toh masih ada disini untuk selalu menyayangimu."
Ada sedikit gerakan beringsut menghindar dalam wujud penolakan. Namun siapapun anaknya, pelukan adalah jawaban pamungkas atas segala sedih, gundah dan resah batinnya. Setidaknya untuk sementara, hingga pada saatnya dia membutuhkan pelukan yang berikutnya. Ya, beri saja dia pelukan dalam cinta yang tulus, karena sesungguhnya memang luka tak bisa diungkapkan kata-kata tetapi bisa diredakan perihnya dengan cinta.
"PAIN is often beyond words, but NEVER beyond LOVE. Sometimes you have to just stop talking and start hugging."
Seiring pelukan melegakan yang diberikan kepada si bocah, ingatan melayang pada satu momen peristiwa saat Ayah berusia lima tahun dan dipeluk lalu digendong oleh seorang perempuan, tetangga, menjauh dari keranda yang di dalamnya terbujur jasad kaku. Ayahnya. Yang hingga kinipun kadang masih memunculkan sebuah tanya, "Mengapa?".
Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom. Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/
Advertisement
- Pilih Mana: Pandai Bergaya Atau Bergaya Pandai?
- Saat Tangisan Tak Lagi Bisa Menjadi Takaran Dalamnya Perasaan
- Tanyakan 7 Hal Ini Saat Hati Dilanda Bimbang Untuk Berpisah
- Ibu, Peliharalah Rindumu, Suatu Hari Kita Pasti Akan Bertemu Lagi
- Merenda Pernikahan Bahagia Lewat Petuah 5 M
- Percayalah, Kebahagiaan Sederhana Mampu Merentang Kekhawatiranmu