Gimana kiamat tak semakin mendekat lebih cepat, jika tiap detik ada suara saling menghina, saling menghujat?
Gimana gurun pasir di Arab tak mencair, jika tiap saat dengki anyir, mendesir, mengalir?
Gimana cuaca dan alam tak mengamuk, jika di tiap menit ada celetuk, merajuk, saling mengutuk?
Pagi ini si kecil bertanya: "Pap, kata teman - teman kiamat datang sebentar lagi. Betulkah?". Pertanyaan itu belum sempat saya jawab, saat si Sulung menyambung, "Iya Pap, teman - teman kakak juga bilang begitu, katanya tanda - tandanya sudah terlihat di mana - mana?"
Kiamat adalah kiamat. Cepat atau lambat, sudah pasti akan datang. Itu seharusnya tak akan menimbulkan beda penafsiran dan silang pendapat. Namun, kiamat bisa jadi sudah dan sedang terjadi, karena selama ini segalanya terjadi karena proses dan sebab-akibat. Tak ada yang terjadi begitu saja di akhir dengan cara instan. Lihatlah bagaimana 'indahnya' proses Tuhan, saat Musa dipercaya mampu membelah Laut Merah, lalu mengatupkannya lagi sambil menelan Firaun dan bala tentaranya hingga binasa. Lihatlah pesona saat Burung Ababil lah yang diperintah menghujani kerikil api pasukan gajah milik Raja Abrahah yang hendak melumatkan Kabah di Mekah. Lihatlah menawannya skenario 'alfa-omega' khas milik Tuhan, yang berjalan, mengalur, mengalir dan ditunjukkan dalam berbagai perisiwa keseharian penuh dengan kiasan dan perumpaman agar manusia mampu beroleh pemahaman. Semuanya menjadi jelas jika sudah menyangkut awal dan akhir. Semua sudahlah pasti, jika mengingat datang dan pergi, hidup dan mati. Pasangan yang tak terpisahkan dalam hukum alam penuh kodrati.
Kiamat mungkin adalah kita, karena bisa jadi kitalah selama ini yang menjadi para Firaun yang bernafsu mengejar-ngejar Musa untuk dihabisi. Atau kita lah para Abrahah yang berambisi melumatkan kabah - kabah yang ada. Atu mungkin kita lah para manusia yang selama ini menegakkan nafsu dan ambisi atas kehidupan, kemewahan dan kemegahan di dunia dengan meninggalkan dan menghancurkan simbol-simbol kebaikan yang selama ini ada. Simbol-simbol kebaikan yang sebenarnya masing-masing manusia memilikinya, walau hanya setitik noktah kecil di dalam jiwa. Singkat cerita, kita lah para Firaun dan para Abrahah yang menciptakan kiamat-kiamat kita sendiri, lalu mengundang kiamat yang sebenarnya datang di kemudian hari nanti.
"Sudahlah anak-anak, tak ada kiamat bagi kalian, jika kalian selalu berbaik hati, berbudi pekerti dan berperilaku suci. Mati sih iya, itu pasti. Karena semua yang berjiwa akan mati. Dan kita tak tahu kapan masing - masing giliran kita nanti."
Mendadak si kecilpun berlari menghampiri sambil memeluk erat, sambil berkata, "Pap, kurangi rokoknya ya, Adik takut nanti ada apa - apa sama Papa. Adik tak mau sendiri."
Dan Senin pagi pun menjadi benderang setelah hujan sepagian. Kiamat? Silakan datang, namun jangan di hari ini.
Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom
Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/
Advertisement