Sukses

Lifestyle

Saat Aku Menerima Tubuhku Apa Adanya, Tuhan Memberiku Keajaiban

Diejek cupu, dekil, hingga ugly betty, siapa yang tak sedih dan sakit hatinya menghadapi itu semua. Memiliki tubuh yang sering jadi bahan ejekan memang kerap jadi pengalaman pahit. Tapi Tuhan tak pernah tidur, bahkan Ia bisa memberi keajaibannya sendiri, seperti kisah yang dialami salah satu sahabat Vemale ini untuk Lomba Menulis #MyBodyMyPride.

***

Orangtua saya mengatakan bahwa saya adalah anak perempuan mereka yang cantik, terlepas betapa biasanya saya dibandingkan anak-anak perempuan lain seusia saya ketika itu. Rambut saya panjang dan tidak karuan, gigi berantakan dengan gingsul di bagian atas sebelah kanan, suara cempreng, badan tinggi kurus, dan tidak pernah mau mengenakan rok. Namun, mereka tetap mengatakan bahwa saya adalah anak perempuan mereka yang cantik.

Memasuki usia sekolah dasar, saya tahu-tahu menjadi anak yang pendiam, tidak percaya diri. Terlebih saat mendapat ‘vonis’ dokter ketika harus mengenakan kacamata karena minus saya sudah tinggi. Tidak seperti sekarang, dulu kacamata adalah simbol bagi orang-orang yang jelek dan pantas dirundung. Ya, saya termasuk salah satu dari anak itu. Apalagi lensa kacamata saya tebal, frame bulat seperti kacamata yang dikenakan Daniel Radcliffe dalam film Harry Potter dan mengenakan rantai kacamata seperti orang tua.

Sudah mengenakan kacamata, penampilan saya yang cuek dan berkesan berantakan selalu menjadi bulan-bulanan teman-teman untuk berkomentar negatif. Saya pernah dikatai sebagai ugly betty, cupu, dekil, dan kata-kata yang tidak enak didengar.

Awalnya saya cuek dengan perkataan tersebut, lama-lama membuat saya gerah. Namun, saya tidak bisa berbuat banyak karena saya tidak pernah diajarkan untuk membela diri, lebih baik nrimo saja.

Waktu demi waktu berlalu, fisik saya pun tumbuh dan berubah dari anak-anak menjadi tubuh perempuan yang memiliki lekuk. Diam-diam, walau terlihat baik-baik saja sebenarnya saya adalah seorang yang tidak percaya diri dengan bentuk tubuh saya.

Tinggi saya melebihi tinggi perempuan pada umumnya. Begitupun dengan berat badan. Meski tidak gendut, tapi saya juga tidak bisa dibilang kurus. Bentuk tubuh saya curvy dengan bagian pinggul ke bawah besar sementara bagian atas kecil. Maka jangan heran, saya terlihat ‘raksasa’ ketika dekat dengan teman-teman saya yang bertubuh mungil dan kurus.

“Coba kamu pendek sedikit.”

“Kamu kok tambah tinggi?”

“Kamu gemukan, ya?”

“Kok mukamu jerawatan gitu?”

“Ternyata badanmu kurus juga, ya.”

Adalah komentar-komentar soal fisik yang sering saya terima dari orang-orang yang saya kenal dekat maupun tidak terlalu kenal.

Jika perasaan saya sedang enak, saya hanya bisa tersenyum saja meski agak kikuk. Sementara jika perasaan saya lagi uring-uringan saya bisa marah dan menjawab, “Ya, udah sih, yang penting sehat” atau “Biarin aja. Bukan urusan kamu.”

Saya berusaha menerima apa yang orang katakan tentang fisik saya, masuk telinga kiri dan dikeluarkan saja dari telinga kanan. Mereka mungkin tidak tahu ada masa ketika saya melihat cermin setelah mandi dan membenci tubuh saya. Sudah muka tidak cantik, berjerawat, tinggi di atas normal, rambut tipis, badan tidak berbentuk, dan masih banyak hal yang saya sesalkan kenapa ada di diri saya.

Saya tidak percaya diri ketika harus memposting foto selfie di media sosial, tidak seperti artis maupun beauty blogger yang wajah mereka memenuhi feed media sosial mereka.

Ketika dalam kondisi begitu, biasanya saya akan memejamkan mata dan membayangkan hal-hal indah dan berkesan. Setidaknya saya sehat, saya masih bisa bernapas, saya masih bisa hidup, punya pekerjaan, dan bisa menikmati segala hal yang mungkin tidak bisa dinikmati orang lain.

Saya mencoba berpikir positif ketika orang membicarakan soal fisik, karena mereka hanya tidak bisa membuka pembicaraan saja dan fisik seseorang adalah hal pertama yang mereka lihat dan kenali.

Pernah tidak percaya diri dengan bentuk tubuh, membuat saya terobsesi menjadi kurus. Saya sempat mengonsumsi obat pelangsing, langganan katering diet, menjadi member tempat fitnes untuk mengembalikan bentuk tubuh saya dulu ketika masih kurus. Hasilnya? Tidak ada. Boro-boro kurus, saya bahkan sempat jatuh sakit karena obsesi berlebihan itu.

Saya berhenti terobsesi menjadi kurus dan menikmati serta menjalani apa saja yang ditakdirkan oleh Yang Punya Kehidupan. Eh, kadang Tuhan memang suka mengajak bercanda, ya. Ketika menerima apapun bentuk badan saya, tahu-tahu badan saya menyusut dengan sendirinya.

Ukuran celana turun beberapa nomor, baju yang dulu ngepas tahu-tahu jadi longgar, bahkan ukuran kaki pun juga turut mengecil. Alhasil, saya sering dikira sakit, tidak pernah makan, dan stres! Padahal saya sendiri tidak tahu apa-apa bahkan tidak habis pikir sama maunya sih tubuh ini. Lagi-lagi saya hanya sekadar berusaha untuk seimbang dan sehat saja.

Akhirnya, saya mencoba belajar mencintai diri saya. Masih belajar mencintai tubuh saya. Memandang cermin sekali lagi sambil tersenyum dan mengatakan saya tidak apa-apa, saya bangga dengan tubuh yang saya miliki saat ini hingga nanti. Itulah yang terpenting.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading