Sri tidak pernah menyangka jika akhirnya vonis itu jatuh pada dirinya: kanker payudara. Pasalnya, wanita yang sudah memiliki tiga orang anak itu selalu rajin memeriksakan kesehatanya dirinya. Sejak ia melahirkan, ia tak pernah absen papsmear. Malah, ketika di usia 40 tahun dokter kandungannya menyarankan ikut mamografi (proses pemeriksaan payudara manusia menggunakan sinar-X untuk mengidentifikasi beberapa tipe tumor dan kista), ia pun menyanggupinya.
Tak cuma sekali dia ikut mamografi. Tapi tiga tahun berturut-turut dan semua hasilnya bersih. Selepas itu, Sri mengaku sempat merasa "aman" dan absen hadir di pemeriksaan selama lima tahun berikutnya.
Hingga pada suatu hari, wanita yang masih cantik di usia senjanya itu melihat ada promo harga mamografi yang dilakukan Yayasan Kanker Indonesia (YKI). Kebetulan pula hampir semua karyawan di tempatnya bekerja adalah perempuan, maka ia mengajak 20 orang koleganya untuk ikut mamografi.
Advertisement
"Dari 20 orang itu, hanya saya satu-satunya yang dirujuk ke bedah onkologi (pengobatan kanker dengan menggunakan operasi, biasanya untuk menghilangkan tumor kanker dan jaringan)," kenang Sri soal kejadian di tahun 2001 silam.
Saat itu Sri tidak langsung menuju ke onkolog terdekat, melainkan kembali ke dokter kandungannya untuk konsultasi. Sampai akhirnya dia disarankan menemui dokter dengan keahlian penyakit yang diidapnya.
Beruntung buat Sri yang kini sudah menginjak usia 63 tahun, bahwa saat itu kanker yang diidapnya masih stadium awal. "Benjolannya juga belum teraba, masih 1,8 cm," ceritanya lagi.
Dokter onkologi kemudian menyarankan padanya untuk melakukan pengobatan secara oral lebih dulu. Dengan harapan bejolan itu akan hilang dan wajib check-up selama tiga bulan sekali. Tapi harapan itu pudar karena nyatanya benjolan itu tak juga enyah selama setahun.
"Saat divonis kanker dan harus operasi, semua orang bergerak memberi saran. Tapi keluarga terdekat, termasuk suami, menyarankan mencari second opinion," kata Sri yang akhirnya membuat dia dan suami menuju ke RS Dharmais, Jakarta.
Tapi tak dipungkiri oleh mantan pekerja swasta itu bahwa sempat tebersit pikiran buruk soal kematiannya. Apalagi ketika itu anak-anaknya masih membutuhkan sosok ibu. "Saya mikir kalau saya mati, suami kawin lagi, dan istri barunya tidak tahan sama kelakuan anak-anak saya, nanti mereka malah diusir," ujar Sri lalu tertawa.
Suami ternyata juga neniliki kanker
Niat hati hanya ingin melakukan pengobatan untuk dirinya sendiri. Sri pun tak ada kecurigaan apapun ketika suami juga ikut melakukan check-up di RS Dharmais.
"Waktu saya operasi, sekalian dia check juga. Ternyata ada benjolan. Suami saya kena kanker limfoma stadium empat," kata Sri. Saat dia selesai perawatan pasca operasi selama lima hari, gantian pasangan hidup yang masuk ruang rawat.
Nasib benar-benar menguji Sri. Karena hanya selisih beberapa hari dia selesai terapi, sang suami meninggal karena kanker limfoma. Semuanya tepat terjadi di tahun 2002.
Support lingkungan
Sri menjadikan semua cerita hidupnya sebagai pembelajaran luar biasa. Dari kisah derita itu pula dia akhirnya bertekad membangun sebuah wadah untuk para penderita kanker. Sehingga muncullah Cancer Information & Support Center (CISC) yang digagas dirinya dan seorang rekan.
"Kalau kita memberi support pada orang, pada dasarnya kita memberi support pada diri kita sendiri," ujarnya. Wadah macam ini, kata Sri, akan memberi perlakuan yang berbeda karena memang diisi oleh mereka yang pernah mengalami kanker.
Dengan demikian empati yang diberikan pun terasa kuat dan berbeda. "CICS adalah 'rumah kedua' yang kental dengan sekali dengan persahabatan dan kekeluargaan."
Meski demikian, pengobatan terbaik tetaplah pencegahan. Sedari dini, lakukan deteksi payudara kamu ya, Ladies, Waspada ketika ada bentuk yang tidak biasa di organ yang satu itu. Rajin-rajinlah memenuhi diri kamu dengan informasi mengenai kanker payudara agar bisa terhindar darinya.
(vem/zzu)