"Kapan nikah?"
Dulunya kuanggap lebay mereka yang mengeluh diteror pertanyaan itu. Halaaah, cuma pertanyaan aja kok, kenapa susah amat? Tinggal dijawab, "Masih belum ada jodohnya," atau "Belum sekarang, masih siap-siap nih," udah beres. Kelar perkara.
Itu dulu. Saat aku hanya mendengar, belum benar-benar merasakan.
Advertisement
Tapi kini telingaku menjadi kebas saat usiaku menyentuh standar yang mereka sebut "usia matang untuk menikah" alias menuju usia 30 tahun. Pertanyaan itu tak henti-hentinya mampir di telingaku. Bagai tetesan air hujan yang menimpa permukaan atap rumah. Terus-menerus, intens ... dan sejujurnya, berisik.
Bukannya aku tak punya alasan untuk menjawabnya. Tetapi yang kuhadapi jauh lebih pelik. Tak perlu lah mereka yang menanyakan itu, kali ini urusannya justru ada padaku yang tak henti-hentinya bertanya "Kapan".
"Kapan kita nikah, Sayang?"
Berulang kali kutanyakan pertanyaan sakti itu pada Rio. Berulang kali pula ia menjawab dengan senyuman. Aku tidak perlu menanyakan artinya. Kebersamaan selama lebih dari 7 tahun dengannya membuatku sangat paham gerak-gerik dan bahasa tubuhnya.
"Kapan kita nikah, Sayang?"
"Tahun depan ya, Sayang."
"Kalau tahun depan, setidaknya kamu melamarku tahun ini. Persiapan menikah itu nggak kayak sulapan lho. Paling nggak enam bulan persiapannya. Ini sudah bulan Juni."
Tangannya bergerak-gerak memainkan jemari tangannya. Kegelisahan dan keraguan. Semuanya terpancar jelas dari sosok pria yang kukenal sejak kuliah dulu.
"Umurku sudah 30 tahun bulan Agustus nanti. Aku khawatir kalau kita nggak segera menikah, nanti kita sulit memiliki keturunan," ucapku. "Lebih-lebih, aku khawatir sama ... kita ..."
Pembicaraan pun menggantung begitu saja. Hatiku semakin gamang. Entah apa yang ada di pikirannya. Keraguan dari sisi finansial, kurasa dia tak perlu terbebani karenanya. Toh kami sama-sama bekerja dan sama-sama punya sampingan. Keraguan dari sisi penerimaan keluarga? Keluarga kami telah mengenal satu sama lain bahkan ayahnya sendiri telah mendesak kami untuk menikah sejak dua tahun yang lalu.
Kalau kamu jadi saya, bagaimana kamu bisa menjawabnya?
Dengan segala yang berkecamuk dalam hatiku, mendapat pertanyaan, "Kapan nikah?" dari orang-orang yang kutemui di acara reuni ataupun acara keluarga, sungguh menambah beban pikiranku. Pertanyaan itu tak berhenti hanya pada, "Kapan nikah?" tapi masih berbuntut panjang lagi dengan wejangan-wejangan, misalnya, "Udah umur 30 lho ...","Jangan lama-lama pacarannya nanti keburu 'hambar'","Eh, kenapa pacarnya nggak ngelamar-ngelamar, Mbak?"
Tak perlu kalian tanyakan, sejujurnya aku lah orang paling membutuhkan jawaban, "Kapan nikah?". Bukan pertanyaan basa-basi seperti yang kalian tanyakan padaku di sela-sela pesta pernikahan adikku minggu lalu.
Kalau kamu ada di posisiku, bagaimana kamu bisa menjawabnya? Sedangkan aku sendiri, masih menanti dari mulut pria yang kuharapkan bisa memberikanku kepastian jawabannya. Atau setidaknya, jika ia tidak punya jawabannya, aku tahu bagaimana aku akan bersikap ...
(vem/wnd)