Beberapa tahun lalu, di sebuah kota industri di provinsi paling barat Pulau Jawa, kami memiliki tetangga yang sangat luar biasa. Bukan karena dia adalah tokoh politik, pejabat pemerintahan, pemimpin perusahaan atau tokoh masyarakat yang disegani. Namun karena bisa dibilang dialah 'nyawa' Ramadan di komplek perumahan kami.
Dialah muadzin pengumandang adzan yang bangun lebih pagi untuk memanggil jemaah sholat subuh dan panggilan sholat empat waktu lainnya. Dialah pemimpin do'a bersama di sela - sela sholat tarawih dan niat puasa setiap malam selama Ramadan berlangsung, dari awal hingga malam terakhir. Dia pula ah yang akan mengumandangkan takbir di malam menjelang Lebaran tiba di keesokan harinya.
Namun terlepas dari semua itu, dia adalah seorang penyandang tuna netra. Menghidupi istri dan dua anak kecilnya, dia hanyalah tukang pijat biasa. Mengontrak rumah tipe terkecil yang ada di komplek perumahan terbesar di kotanya. Rumah yang tak jauh dari masjid kecil yang selama ini menjadi dunianya yang lain. Dunia yang memberikan kekuatan, kedamaian dan keyakinan bahwa hidup dalam kegelapan tidaklah seburuk yang dibayangkan orang dan juga tak membuatnya jadi terpuruk. Lima kali sehari, dia dibantu tongkatnya berjalan dari rumahnya menuju masjid untuk datang paling dahulu agar bisa mengumandangkan azan. Kadang anak perempuannya yang kala itu masih kecil, membimbingnya berjalan beriringan menuju masjid sambil berceloteh tentang segala hal.
Advertisement
Suatu kali terdengar percakapan mereka saat perlahan melewati gerbang depan rumah:
"Pak, Allah tak adil ya Pak. Kenapa bapak buta, tapi aku nggak?"
"Husss, jangan bilang begitu. Allah selalu adil pada makhluknya. Buktinya Allah memberikan kamu, anak yang mau menuntun bapak ke masjid."
Si anak terdiam, masih belum puas dengan jawaban bapaknya. Namun sepertinya tak ada sanggahan lagi, atau mungkin karena mereka sudah terlalu jauh dari jangkauan pendengaran telinga saya. Adegan percakapan bapak dan anak ini selalu terngiang dan tebayang hingga kini, apalagi saat Ramadan tiba.
Adilkah Tuhan memberikan kehidupan kepada bapak yang tak akan pernah melihat wajah anaknya? Adilkah Tuhan kepada bapak yang selama hidupnya tak akan melihat indahnya dunia? Pertanyaan yang seorang anak kecil pun tergoda untuk mencari jawabannya. Namun setidaknya jawaban sederhana bapak tadi menjelaskan segalanya tentang adil atau tidaknya kondisi kehidupan bagi seorang manusia melalui 'kacamata'nya.
Mungkin si bapak merasa, anak - anak dan keluarganya adalah anugerah terbesar dalam hidupnya yang gelap. Mungkin si bapak juga sudah merasa cukup puas bisa 'melihat' dari kedua mata anak perempuannya yang masih kecil. Mungkin juga bapak tadi tak lagi mempedulikan apakah Tuhan telah berlaku adil atau tidak kepadanya, karena baginya: "Dia yang paling bahagia di dunia, adalah orang yang tak pernah berfikir apakah hidup itu adil atau tidak, dan hanya fokus pada apa yang dia miliki dan dapatkan saja."
Di setiap Ramadan, ada satu momen dimana saya akan selalu mengingatnya. Bapak tuna netra, mantan tetangga, yang selalu merasa sebagai orang yang paling bahagia di dunia. Dia pun mengingatkan saya, saat kehidupan menjadi terasa tak adil bagi saya. Dan mungkin benar Juga kalimat Albust Dumbledore dalam Film Harry Potter tentang hidup dan kegelapan, yang berkata
"Happiness can be found even In the darkness times, if one only remembers to turn on the light"
Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom. Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/
- Menelisik Rupa-Rupa Kisah Tentang Baju Baru Di Hari Lebaran
- Kala Cubitan Guru Pada Muridnya Harus Berakhir Ke Meja Hijau
- Menyeka Perihnya Luka Saat Sebutan Janda Dijadikan Canda
- Antara Vaksin Palsu dan Kepalsuan Yang Dianggap Tak Membahayakan
- Antara Perut dan Mulut, Ada Cinta Ibu Di Setiap Suapannya