Kali ini saya akan menceritakan pengalaman pribadi. Tiga minggu yang lalu, jauh sebelum Ramadan datang, ayah saya sudah memberi tahu bahwa keluarga akan nyekar ke Ponorogo, kampung halaman ayah. Saya pun diwanti-wanti untuk ambil cuti saat hari keberangkatan.
Tiga hari yang lalu, saya dan keluarga pun pergi ke Ponorogo untuk nyekar. Dalam perjalanan menuju kampung halaman, ayah akan berhenti di beberapa pasar untuk membeli bunga tabur untuk ziarah, beli ayam kampung untuk 'megengan' dan beberapa keperluan lainnya. Nyekar sudah jadi tradisi keluarga saya dimulai sekian tahun yang lalu dan selalu dilakukan setiap tahun menjelang bulan Ramadan.
Hal ini dilakukan dengan tujuan utama mendoakan nenek dan kakek saya serta kerabat yang sudah tiada. Mengapa dilakukan saat menjelang Ramadan, karena mungkin keyakinan orang zaman dulu yang mengutamakan Ramadan, yang merupakan bulan suci, sebagai waktu baik mengirim doa.
Advertisement
Tradisi ini tidak salah, namun juga perlu diklarifikasi. Nyekar sebenarnya adalah hal baik untuk dilakukan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Lakukanlah ziarah kubur karena hal itu lebih mengingatkan kalian pada akhirat (kematian).” (HR. Muslim no. 976, Ibnu Majah no. 1569, dan Ahmad 1: 145).
Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda, bahwa
“Janganlah jadikan rumahmu seperti kubur, janganlah jadikan kubur sebagai ‘ied, sampaikanlah shalawat kepadaku karena shalawat kalian akan sampai padaku di mana saja kalian berada.” (HR. Abu Daud no. 2042 dan Ahmad 2: 367).
Yang dimaksud di sini adalah, jangan menjadikan makam sebagai tempat utama mendoakan seseorang yang telah tiada. 'Ied di sini bermakna tempat. Dikutip dari rumaysho.com, Ibnu Taimiyah berkata bahwa hadits tersebut mengisyaratkan bahwa shalawat dan salam bisa sampai pada Nabi Muhammad saw. dari dekat maupun jauh, sehingga tidak perlu menjadikan kubur beliau sebagai ‘ied.
Dengan kata lain, mengirim doa kepada yang telah tiada tidak harus dengan cara mengunjungi makamnya, karena mendoakan dari masjid atau dari rumah saja sudah bisa. Intinya, nyekar atau ziarah kubur mengirim doa bisa dilakukan kapan saja, tak harus pada saat menjelang Ramadan saja.
Tapi tujuan kedua lah yang menjadikan niat nyekar ini berbeda, karena pergi ke kampung halaman ini jadi kesempatan mudik sekaligus silaturahim ke kerabat dekat di kampung halaman, menyambung ikatan saudara, sekaligus jadi cara ayah saya bernostalgia tentang masa kecilnya. Ada rindu yang mendalam.
Setiap orang pasti punya kampung halaman, tempat seseorang dibesarkan, tak terkecuali ayah saya. Ketika pergi ke Ponorogo hanya bisa dilakukan satu tahun sekali, hal ini jadi kesempatan utama mengobati rasa kangennya terhadap rumah, rumah ayah ibunya, tempat ia menempuh masa mudanya dulu. Selalu ada cerita dan kenangan ketika pulang ke Ponorogo, termasuk edisi nyekar tahun ini.
Saya sebagai anak saat ini mungkin belum begitu paham apa arti nyekar, tapi saya bersyukur memiliki orangtua yang masih selalu mengingat ayah ibunya meski telah tiada. Rela datang jauh mengunjungi makam orangtua dan menyempatkan waktu untuk mengirim doa dan silaturahim ke kerabat. Semoga saya seperti itu juga sebagai anak.
Mengawali Ramadan selalu menjadi waktu yang indah untuk keluarga saya, dengan berbagai perasaan. Tak ada yang salah dengan tradisi nyekar, namun alangkah baiknya jika diawali dengan niat yang tidak menjurus ke arah syirik. Semoga kita tetap dalam perlindungan Allah SWT ya ladies.
(vem/feb)