Usiaku sudah 41 tahun, aku tidak muda lagi. Tapi aku mendapatkan cinta dan calon suami yang terbaik.
Ini bukan berarti aku tidak pernah menginginkan cinta sebelumya. Memang aku mengalaminya lebih lambat dari wanita-wanita lain. Di saat teman-teman sekolah di SMA, saat kuliah, sudah mengenal pacaran, aku belum memikirkan sama sekali, meski keinginan itu ada.
Setelah bekerja, aku baru mencoba mengenal pria. Sempat berhubungan dengan beberapa pria, dan sempat mengenal first kiss. Tapi dari semua pria yang aku kenal semuanya hanya meninggalkan luka di hati. Meski di setiap hubungan aku selalu jujur dan tulus, tapi yang aku dapat hanya kebohongan. Setelah berkali-kali dibohongi, aku merasa lelah dan merasa seperti wanita bodoh yang hanya di manfaatkan dan dibohongi pria.
Advertisement
Sebenarnya selama bertahun-tahun, di pikiranku selalu ditanamkan oleh mama terutama. Bahwa pernikahan hanya akan membuat hidup menderita. Lebih baik hidup sendiri dan kita akan merasa jauh lebih bahagia. Sedangkan papaku tidak pernah peduli apakah anaknya akan menikah atau tidak. Di saat wanita-wanita lain dipusingkan tuntutan dari keluarga terutama oleh orangtua mereka untuk cepat menikah, justru aku sebaliknya.
Di saat aku sudah merasa lelah untuk mendapatkan pria baik yang bisa jadi suami dan untuk membentuk rumah tangga seperti yang aku impikan. Aku merasa pendapat orangtuaku ada benarnya, aku bisa bahagia, dengan sendiri aku bisa merasakan hidup yang nyaman, walaupun ada perasaan kesepian.
Tapi semuanya berubah. Pandanganku berubah saat tahun lalu aku kehilangan adik, yang merupakan saudaraku satu-satunya. Saat aku masih memiliki saudara, aku tidak pernah takut untuk hidup sendiri tanpa pasangan. Aku berpikir aku masih memiliki saudara yang bisa diajak berbagi, bekerjasama mengurus orangtua, dan aku merasa adikku bisa melindungi aku. Tapi setelah dia kembali dulu ke rumah Bapa, timbul perasaan takut dan tidak sanggup jika aku harus hidup sendirian nantinya, tanpa ada saudara dan orangtua lagi.
Di saat aku merasa duka karena kehilangan saudara yang aku kasihi, di saat itu pula Tuhan memberi aku pengganti. 3 bulan setelah kepergian adikku, aku menjalin hubungan yang serius dengan seorang pria dewasa. Usia kami berbeda 18 tahun.
Aku mengenal dia 3 bulan sebelum adikku meninggal. Kami berkenalan melalui telepon, dan saat itu aku hanya menganggap dia sebagai teman, tanpa ada pikiran untuk serius dengan dia. 6 bulan kita berhubungan hanya sebatas telepon dan sms, hanya mendengar suara, tanpa tahu bentuk tubuh dan rupa kami masing-masing. Karena kami tinggal di kota yang berbeda. Sampai bulan Desember tahun lalu dia tiba-tiba datang, selama dua hari kami bersama. Saat dia akan pulang, dia bertanya apakah aku mau menerima dia dengan segala keadaan dia, kalau aku bersedia, kita akan menjalin hubungan yang serius.
Dia bukan seperti tipe pria yang selama ini aku bayangkan, dia tidak setampan dan semuda seperti pria-pria yang selama ini aku kenal. Tapi aku melihat keseriusan, kedewasaan, dan terlebih dia juga bisa menerima kondisi aku apa adanya. Dari sekian banyak pria yang aku kenal, kebanyakan mereka akan meninggalkan aku begitu saja saat mereka tahu aku menderita Thalasemia (penyakit kelainan darah). Malah ada yang begitu jahatnya pergi begitu saja dan menghilang tanpa kata-kata.
Dan sekarang aku merasa benar-benar yakin, bahwa penantianku sudah berakhir dan Tuhan sudah memberikan seorang pria yang benar-benar baik. Dan kami akan menikah 3 bulan lagi.
Seringkali apa yang kita pikirkan dan rencanakan tidak sesuai dengan keinginan kita. Tapi yang harus kita tanamkan di hati dan pikiran kita bahwa Tuhan punya rencana, waktu yang tepat dan akan memberi yang terbaik untuk kita anak-anakNya. Dan semuanya akan indah pada waktunya.
Kisah ini dikirim oleh salah satu pembaca Vemale.com
- Demi Buah Hati, Ayah Ibu Rela Kehausan Hingga Akhirnya Meninggal
- Cinta Sejati, Kakek 90 Tahun Nekat Selamatkan Istrinya Dari Kebakaran
- 25 Tahun Anoreksi, Valeria Levitin Tak Ingin Gadis Lain Alami Hal Sama
- Demi Pengobatan Anak Yang Sakit Keras, Ibu Ini Jual Pelukan
- Berawal Dari Air Mata Ibu Karena Anak Sakit Ginjal, Pria Ini Donorkan Ginjalnya