Saya seorang ibu yang sejak kecil hidup di rantau. Saya baru mengerti arti dari kalimat "Apa yang kamu tanam, maka itulah yang akan kamu tuai" setelah saya mengalaminya sendiri.
Dulu ibu sering memperingati saya agar berhati-hati dalam pergaulan, karena kamiĀ berasal dari keluarga tidak mampu, apalagi kami tinggal di wilayah yang mayoritas beragama lain. Karena waktu itu saya masih muda sehingga lebih mengikuti emosi dan menganggap nasihat ibu sebagai angin lalu.
Pergaulan membuat saya hamil di luar nikah
Waktu itu ada seorang kawan pria yang menaruh hati kepada saya, awalnya hubungan saya dengan dia biasa saja. Berjalannya waktu kami semakin dekat, dan dia sering memberikan saya hadiah-hadiah kecil yang pada saat itu saya tidak mampu membelinya. Sampai akhirnya hubungan kami melewati batas dan saya hamil.
Pikiran saya kacau, antara takut, menyesal, dan sedih. Saya pun mengikuti apa yang dia katakan, kami menikah. Orang tua dan keluarga menentang pernikahan saya, karena jika saya menikah dengan dia saya bakal mengikuti keyakinan dia. Tetapi apa daya, jika saya tidak menikah maka anak yang saya kandung tidak memiliki ayah. Singkat cerita saya pun menikah dan mengikuti keyakinan dia. Saya pun tinggal di luar kota bersama suami dan mertua.
Hari demi hari yang saya lalui di rumah mertua semakin tidak nyaman, waktu pun serasa lambat berputar. Awalnya, keluarga mertua sangat baik dan sayang sama saya, apa lagi setelah saya melahirkan anak laki-laki, yang akan menjadi penerus keluarga, begitu menurut kepercayaan dan adat setempat.
Merindukan Suara Takbir
Waktu berlalu, ketika Ramadan tiba, hati semakin sedih. Setiap mendengar suara adzan di televisi, hati rasanya menangis. Apalagi ketika hari raya Idul Fitri tiba, saya hanya bisa mendengar takbir di televisi. Ingin rasanya kuputar waktu dan kembali ke rumah ibu, rasanya lebih indah walaupun hidup sederhana di rumah kontrakan.
Dalam pernikahan, semakin hari suami semakin tidak peduli dan semakin jarang mengantar saya ke rumah ibu. Terkadang diantar pun diberi batasan waktu yang tidak boleh lebih dari satu jam. Suami juga sangat berubah, jika saya melakukan kesalahan kecil langsung saya dimaki dan terkadang dia memukul. Padahal hanya masalah kecil seperti terlambat membuat kopi karena saya masih sibuk bantu mertua di dapur.
Saya hanya bisa menangis karena inilah jalan hidup yang sudah saya pilih. Saya harus terlihat bahagia agar orang tua senang. Singkat cerita, suami mulai berani tidak pulang dengan berbagai macam alasan pekerjaan. Saya selalu berdoa di dalam hati, kalau memang dia bukan jodoh hamba, tolong jauhkan dia dari hamba ya Allah dan berilah hamba jalan agar bisa kembali kepada-Mu.
Pada akhirnya Allah menunjukkan jalannya. Suatu siang saya memergoki suami bersama wanita lain di tempat kerjanya. Suami bukannya semakin kasihan dengan saya, dia justru menunjukkan kalau dia lebih sayang dengan wanita itu. Saya sudah tidak tahan lagi, saya pergi meninggalkan rumah mertua dan pulang ke kontrakan ibu dengan menggendong anak saya yang masih berusia 6 bulan.
Anak selalu menjadi korban perceraian
Kami pun bercerai dan suamiku menikahi wanita itu. Dengan alasan peraturan adat dan keyakinannya, anak saya yang masih berusia 8 bulan dan masih saya susui diambilnya. Saya hanya bisa menangis, dan mantan ibu mertua pun sangat menyesali kejadian itu. Saya hanya bisa bertanya lewat telepon kepada ibu mertua tentang kabar perkembangan anak saya. Hubungan saya dengan keluarganya baik-baik saja, karena mereka tahu perceraian ini terjadi bukan karena saya.
Hikmah dalam setiap peristiwa
Saya pun kembali tinggal di rumah kontrakan ibu. Saya sangat bahagia bisa kembali ke rumah kontrakan itu, dan saya lebih sayang dan mendengarkan nasihat-nasihat ibu. Apapun keadaan saya, dan bagaimanapun saya sudah mengecewakan beliau tetapi kasih sayang orang tua tidak akan berubah. Orang tua saya yang selalu memberi semangat dan selalu menghibur saya di saat saya sedih karena teringat anak saya. Mungkin inilah yang dimaksud ada hikmah dalam setiap peristiwa.
Alhamdulilah sekarang anak saya sudah besar dan sudah mengerti mengapa orang tuanya harus berpisah. Saya selalu ingatkan agar anak saya agar mendengarkan nasihat orang tua agar tidak menyesal kelak. Inilah jalan yang sudah saya pilih dan insyaAllah saya siap dengan semua risikonya.
Saya sangat bersyukur bisa dekat dengan keluarga saya lagi, bisa menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan ini dan bisa salat 5 waktu. Semua butuh proses dalam pendewasaan diri. Harapan saya cuma satu, saya ingin anak saya kelak bisa dekat dengan saya dan saya bisa mengajarkannya salat.
Inilah kisah hidup saya, semoga ada manfaat yang bisa diambil oleh para pembaca. Terima kasih :)
Advertisement
Ā
-oOo-
LOMBA KISAH RAMADAN VEMALE.COM
Ā
Menyambut bulan Ramadan 1436 H, Vemale.com mengajak para pembaca untuk membagikan kisah inspirasi. Kisah ini bisa tentang suka duka ketika memutuskan memakai hijab, kisah seru di bulan Ramadan, bagaimana rasanya jauh dari keluarga saat Lebaran atau kisah apapun yang meningkatkan sisi spiritual dan kedekatan Anda dengan Allah SWT.
Kirim kisah Anda melalui email ke redaksivemale@kapanlagi.net dengan subjek: KISAH RAMADAN VEMALE
30 kisah yang ditayangkan akan mendapat bingkisan cantik dari Vemale.com. Kami tunggu kisah Anda hingga tanggal 24 Juli 2015. Pemenang akan kami umumkan tanggal 28 Juli 2015.
Ā
Dari satu kisah, Anda bisa menjadi inspirasi bagi jutaan wanita Indonesia.
Share your story :)
(vem/yel)