Namanya adalah Cinta, satu hal yang telah dialami oleh beberapa insan di segala penjuru dunia. Ia tak pernah secara terbuka menunjukkan wujudnya secara nyata, namun hadirnya mampu membuat setiap anak Adam merasa bahagia karenanya. Dengan angkuh, ia menghampiri hati seseorang tanpa ijin dan permisi, seolah semua orang telah siap dengan kedatangannya.
Dan secara tak langsung perasaan yang tak pernah diketahui kapan datangnya ini berhasil menjadikan mereka sebagai insan yang memiliki warna dalam kehidupan. Cinta memang indah, namun tak semua kisahnya selalu disertai keindahan yang mutlak sebagai sebuah jaminan di dalamnya.
Namun, apa yang lebih baik dalam kata mencinta selain sebuah pengorbanan di dalamnya? Karena Cinta, beberapa orang rela berkorban demi menunjukkan dan mengutarakan isi hati mereka kepada sang pujaan hati. Padahal, pengorbanan bukanlah komposisi utama dalam Cinta, dan kita paham benar hal itu. Hanya saja, pengorbanan yang mereka lakukan tanpa disadari telah menjadi kebutuhan dan kepuasan tersendiri.
Advertisement
Jauh di sisi itu, seorang pria telah lahir dan diciptakan dengan hati yang begitu lembut. Dan pada akhirnya pun, ia telah menjadi 'korban' yang dipilih oleh sang Cinta untuk berpijak. Ia tak kuasa menolaknya, tak ada waktu untuk melakukan hal tersebut. Ia merasakan, menikmati dan menjunjung tinggi nama sang Cinta, tanpa ia sadari bahwa Cinta yang ada di hatinya telah menjadikannya seorang budak.
Dalam jalannya roda cinta yang ia kayuh membuat ia mengerti bagaimana cara untuk membuat cinta yang ia rasakan menjadi sesuatu yang istimewa. Tak muluk-muluk, apa yang ia lakukan pada akhirnya akan tetap berkesan dan mengena di hati.
Cinta yang ia rasakan mungkin tak seindah kisah yang dialami oleh beberapa orang di sekitarnya. Namun satu yang ia sadari, cinta yang akan ia berikan akan melebihi apapun di dunia ini. Sebuah rangkaian kata terhempas, bait demi bait telah ia rangkai demi menunjukkan perasaan terdalamnya kepada salah satu kaum Hawa.
Diri IniKulihat diri ini...
Diri yang telah kehilangan semua detiknya
Diri yang telah membiarkan dagingnya terus terkikis
Diri yang telah melupakan maunya
Esok harinya,
Kembali kulihat diri ini...
Diri yang seakan kosong
Diri yang semakin habis
Diri yang kian memayat
Dengan akal sehat,
Kulihat lagi diri ini...
Diri yang telah mengorbankan semuanya untukmu
Seabad waktu luang
Sejuta materi duniawi
Bahkan...
Raga yang membudak
Jauh dari nalar,
Terlihatlah sisi lain diri ini...
Diri yang merasa telah menerima segalanya darimu
Diri yang merasa disatukan rasa bahagia olehmu
Diri yang merasa perlu berkorban lebih banyak untukmu
Hingga kusadari satu makna
Demi senyummu, tiada diri pun aku rela.
'Khairil Anwar'
Beberapa lantunan kata telah ia goreskan pada secarik kertas yang mampu menjadi teman terbaiknya dalam mengungkapkan perasaan. Seolah tak pernah sadar dalam permainan sang Cinta, ia pun terus bernyanyi dan merintih dalam jeratan perasaanya. Bukan karena tak sadar, namun ia telah memilih untuk berpura-pura dan menutup mata akan kebodohannya. Kebodohannya dalam berkorban.
Tubuhnya lebam, hancur, tak berbentuk, namun ia tersenyum. Di balik tawanya parau, ia tak pernah henti berusaha untuk mengagungkan Cinta yang ia miliki dalam hatinya. Waktunya telah habis, namun ia berusaha melakukan penawaran dengan Tuhannya. Bahwa waktu yang ia miliki masih belum cukup untuk menunjukkan cintanya, dan tak akan pernah cukup.
Dan ketika ia sudah tak mampu melihat, merasa, berkata lagi, satu hal yang tak akan pernah ia sadari dari dirinya. Bahwa ia sudah terlalu banyak berkorban untuk Cintanya. Dan lagi-lagi kekejaman sang Cinta membuatnya tak pernah menyadari, bahwa pengorbanan nya sudah melangkah terlalu jauh. Sangat jauh.
Seperti ungkapnya "Demi senyummu, tiada diri pun aku rela"
(vem/oem/ril)