Tidak semua wanita bisa beruntung memiliki kisah cinta yang manis di usia remajanya. Dan sayangnya, aku termasuk sosok yang tidak beruntung itu. Aku punya perasaan yang berbeda terhadap Aldi, teman sekelasku sejak duduk di bangku kelas 5 SD.
Al adalah murid pindahan yang langsung populer dan punya banyak teman. Sikap ramahnya membuat semua orang menyukainya, anak-anak seusia, kakak kelas, adik kelas, bahkan guru-guru juga sayang padanya. Aku sendiri lebih sering tersipu kalau ia menyapa.
Setelah lulus dari SD, kami masih satu sekolah bahkan hingga duduk di bangku SMA. Dan perasaan itu masih tetap sama. Perasaan yang kusimpan begitu lama dan tak pernah kuungkapkan pada siapapun. Aku menyukai Al.
Advertisement
***
"Dini, aku mau curhat nih..." kata Winda sahabatku. Aku tersenyum, kemudian menggandeng tangannya ke kantin dan duduk manis mendengarkan ceritanya. Aku memang sering dibilang sebagai pendengar yang baik. Karena aku akan duduk diam mengamati dan tidak banyak mendesak atau menekan.
"Aku... aku baru saja nembak seseorang," kata Winda.
Aku langsung semakin bersemangat mendengarkan cerita Winda. Dia menceritakan detailnya dengan cukup lengkap dan membuatku tersipu sendiri. Aku mengagumi keberaniannya itu. Apalagi sepertinya pria yang disukai tidak mungkin menolaknya, karena ia juga gadis yang cerdas dan cantik.
"Aku jadi penasaran Win, siapa sih pria ini?" tanyaku.
Belum sempat pertanyaanku dijawab, Al mendadak muncul di meja mengejutkan kami berdua. Dengan sopan ia menyapa kami dan mengajak Winda untuk ngobrol berdua. Aku tahu diri dan segera beringsut ke kelas.
Aku menaruh curiga, tumben si Al mendatangi meja kami. Tetapi kemudian aku hanya bersabar menunggu cerita dari Winda.
***
Sudah beberapa hari ini aku hanya bertemu Winda di kelas. Sisanya, setiap jam istirahat dia langsung cepat menghilang entah kemana. Demikian juga setelah jam pulang, aku jadi heran dia sedang sibuk apa ya?
Aku berpikir akan menghubunginya saja sesampainya di rumah. Atau mungkin dia sedang ada masalah dan takut bercerita, batinku. Aku menunggu hingga jam pulang sekolah dan langsung beranjak ke rumahnya, karena kulihat bangkunya juga sudah kosong.
Sesampainya di rumah Winda, aku tak melihat kehadirannya. Ibunya yang langsung menyapa dan menyambutku. "Lho, Din, Winda belum pulang kok kamu sudah di sini?" tanya ibu Winda kaget dan langsung cemas. "Oh iya nggak kok tante, kami janjian di sini cuma sepertinya aku yang datangnya terlalu cepat," kataku.
Akupun menunggu di teras rumah Winda dengan ditemani segelas ice lemon tea dari ibunya. Nyaris satu jam kemudian Winda muncul dengan sosok yang sepertinya aku kenal.
"Lho Din, kamu sudah di sini? Maaf ya aku tadi mampir makan dulu dengan Al." Kulihat Winda sudah menggandeng tangan Al dengan mesranya. Wajah yang berseri-seri itu seperti menceritakan padaku bahwa Al adalah pria yang hendak diceritakan oleh Winda. Dan tanpa aku harus bertanya lebih jauh, sebaiknya aku pulang saja.
"Ah...eumm... iya aku tadi mau pinjem tugas yang tadi karena aku belum selesai menyalinnya. Tapi kamu kayaknya sibuk, nanti malam aja deh aku balik ke sini." Tanpa babibu panjang lagi aku langsung lari menuju motor dan menginjak gas penuh agar segera sampai ke rumah.
***
Al, kamu memang lebih pantas dengan Winda, jeritku dalam hati. Aku... aku tak pernah punya keberanian mengungkapkan perasaanku. Dan apa kata orang kalau aku bilang duluan. Aku kan wanita, apalagi aku tidak punya banyak hal yang bisa dibanggakan. Aku tidak cantik, juga tidak pintar seperti wanita lainnya. Mungkin aku hanya akan menjadi bahan tertawaanmu saja.
Kusimpan dalam-dalam nama Al dan tak ingin kuungkit lagi. Aku tak ingin Winda tahu tentang perasaanku pada Al. Aku juga tak mau merusak hubungan mereka.
***
"Jadi, kamu akan kuliah di mana Din?" tanya Winda siang itu.
"Aku mungkin akan ke Jogja saja, seperti kakakku dulu. Lagian katanya kota itu nyaman untuk pelajar, apa-apa serba murah..." Jawabanku membuat Winda langsung muram. "Hmmm.. enak ya kamu bisa kuliah jauh-jauh. Aku juga pengen di Jogja, tapi ayah nggak memperbolehkan aku. Padahal Al kan juga akan kuliah di sana..."
Mataku langsung terbelalak dan membulat. Seketika nama itu langsung memancing perasaan yang sudah berusaha kukekang sekian lama.
"Oya? Al juga di Jogja?" kutegaskan pernyataan Winda tadi dengan pertanyaanku. Winda mengangguk sedih. Ini pertama kalinya aku bahagia ketika sahabatku bersedih.
Akupun mulai berani mengajak Al ngobrol soal Jogja setelah saat itu. Dengan berbekal akan berkuliah di kota yang sama, kupikir aku bisa menumbuhkan keberanianku.
Aku jadi lebih dekat dengan Al karena kami merasa senasib dan punya tujuan yang sama. Hal itu tentunya membuat Winda menjadi sedikit cemburu. Entah dari mana datangnya sikap jahatku itu, aku tega melihat sahabatku sendiri tersiksa cemburu.
***
Dear Dini,
Dini, sahabatku. Aku sengaja menitipkan surat dan kenang-kenangan ini dan tidak langsung memberikannya padamu. Aku tak sanggup meredam cemburuku, dan mungkin aku yang terlalu egois serta jahat tidak mempercayaimu.
Tetapi, aku yakin bahwa kau tetaplah sahabat yang terbaik.
Tolong jaga Al selama di sana ya Din. Jangan biarkan cewek Jogja merebut Al-ku. Bilang pada mereka semua bahwa Al hanya milik Winda seorang.
Aku akan berusaha agar seminggu sekali bisa main ke sana dan kita tetap bisa menikmati waktu kita bersama seperti biasanya. Meskipun jaraknya jauh, aku tak akan membiarkan persahabatan kita ini rusak.
Yang selalu menyayangimu,
Winda
Membaca secarik surat dengan tas cantik yang dibungkus rapi di kotak itu aku tak sanggup menahan air mataku. Kesempatan terbuka lebar untuk aku dan Al lebih dekat. Tetapi mengapa harus ada Winda di sana? Mengapa?
Apakah ini mungkin memang sebuah tanda bahwa, Al bukanlah untukku? Bahwa kasihku ini hanya boleh kumiliki sendiri?
Sepanjang perjalanan di kereta api aku merenungi semuanya. Merencanakan apa yang harus kulakukan jika hanya sering berdua dengan Al nanti. Dan berpikir, mungkin memang harus kurelakan saja ia demi sahabatku. Aku harus menjaganya untuk Winda, bukan untukku sendiri.
Sampai Bertemu di Yogyakarta, Al...
(vem/bee)