Sosok manis dan baik yang melekat pada E, membuat saya jatuh cinta. Saya jatuh sayang bukan hanya pada E tetapi juga keluarganya. Layaknya sebuah hubungan, semuanya berlangsung indah pada awalnya. Namun lima bulan setelah menjalin hubungan dia mulai menunjukkan perilaku aslinya yang tak saya duga. Sedikit perselisihan di antara kami, bisa menyulut pertengkaran besar. Misalnya saat melihat hal yang tak menyenangkan hatinya di ponsel saya, dia bisa marah besar. Saya tak menyangka sikap tersebut menjadi musibah buat saya. Kekerasan pertama terjadi di pertengahan 2011.
Kejadian tersebut melukai saya secara fisik tetapi saat dia meminta maaf dan berjanji tak akan mengulanginya lagi, saya membuka hati untuk memaafkannya.
Tetapi janji itu tidak ditepati. Peristiwa serupa kembali terulang. Meski kembali mengalami luka fisik, kali itu jiwa saya sangat terguncang. Kekasih saya yang berjanji tak akan mengulangi kekerasan ternyata kembali tega berlaku kasar. Ia sempat datang lagi ke rumah setelah kejadian itu. Tapi saya ketakutan, sampai menghalangi pintu dengan sofa.
Advertisement
Setelah terjadi kekerasan fisik, verbal dan mental berulang kali, baik dalam skala kecil maupun skala besar, saya pun tersadar. Terutama karena saat kekerasan terakhir terjadi dalam status posisi kami sudah putus hubungan. Namun, tetap saja dia melakukan tindak kekerasan. Akhirnya saya tetapkan hati bahwa dia harus minta maaf. Dengan niat kekeluargaan saya menunggu pihak keluarga maupun management dia untuk menulis surat permintaan maaf atas tindakan yang telah dia lakukan. Namun setelah empat bulan bersabar menunggu, tidak ada tanggapan. Akhirnya saya pun berpikir ulang, bertanya ulang kepada nurani, apa yang akan kita lakukan apabila kekerasan yang saya alami harus dialami oleh ibu, kakak, kerabat, maupun sahabat perempuan kita? Saya yakin tidak ada satupun manusia yang memiliki hati nurani mampu menerima kekerasan. Negara berkembang sering mengadakan riset tentang hal ini.
Akhirnya berdasarkan nasihat kuasa hukum saya, saya berani terbuka. Saya memperjuangkan keadilan demi seluruh perempuan di Indonesia agar mendapatkan perlindungan dari segala bentuk penganiayaan dan kekerasan dalam bentuk apapun. Saya memutuskan untuk berani melaporkan peristiwa itu ke pihak yang berwajib.
Agar perempuan berani melapor apabila sudah terancam menjadi korban. Korban tidak perlu harus menunggu kondisi memburuk, dalam keadaan cacat, sekarat, maupun meninggal, sebelum terlambat menyuarakan haknya, untuk minta keadilan.
Beruntung orangtua, sahabat, bahkan orang-orang yang selama ini tidak saya kenal sangat memberi dukungan moril terhadap saya. Keputusan ini tidak mudah, tetapi saya tidak mau terpuruk dalam masalah ini.
Selain sibuk mengurus kasus ini, saya mencoba kembali bekerja di dunia akting. Namun ternyata saya mengalami trauma. Saya masih sering terbawa emosi. Tiba-tiba saya sulit menghafal dialog. Peran-peran tertentu pun mengingatkan saya akan peristiwa mengerikan yang saya alami. Suatu hari ketika harus berakting sebagai tokoh yang teraniaya, tubuh saya gemetar. Adegannya hanya sesaat tapi rasa takut itu tetap tinggal hingga berjam-jam kemudian.
Saya masih membutuhkan terapi, tetapi saya yakin suatu hari nanti saya akan menemukan kekuatan saya kembali.
(Seperti diceritakan Ardina Rasti untuk GH Indonesia)
Saya Memang Tidak Setuju...
Kasus kekerasan yang menimpa Ardina Rasti (27) – aktris dan penyanyi – diketahui publik. Tragisnya kekerasan itu dilakukan oleh kekasihnya sendiri. Tidak ada yang menyangka di balik keceriaannya, Rasti menyimpan cerita luka. Kabarnya selama berpacaran dengan EG, seorang aktor pendatang baru, Rasti sering diperlakukan kasar, hingga masuk rumah sakit. Ketika Rasti sudah berani membawa kasus ini ke pihak berwajib, Erna Santoso (56), ibunda Rasti, setia mendampingi. Erna ikut terluka. Untuk GH Indonesia Erna berbicara.
Senyumnya Tak Sama
Sejak tiga tahun lalu Erna tinggal terpisah dengan Rasti. Putri bungsunya itu memilih untuk tinggal di rumah miliknya sendiri. Melepas Rasti untuk hidup sendiri tidakah mudah. “Namanya juga anak bungsu, tapi dia berniat hidup mandiri, ya harus saya dukung. Saya siapkan pembantu dan satpam untuk menemani,” tutur Erna. Aktris terkenal di era 80-an ini mengakui ada jarak yang tercipta saat ia dan Rasti mulai hidup terpisah. Sebelumnya, kepada Erna, Rasti biasa bercerita tentang berbagai hal. Mulai dari urusan pekerjaan, memilih tawaran peran, hingga urusan pribadi seperti masalah percintaan. Komunikasi berkurang. Meski tidak lantas terputus.
“Tetapi dia juga anak yang keras, kalau sudah menginginkan sesuatu dia akan teguh dengan pendiriannya,” tutur Erna. Matanya menerawang ke saat Rasti pertama kali bercerita menjalin hubungan dengan E. Saat itu Erna sudah merasa tidak sreg. “Waktu itu saya melarang, karena usianya lebih muda. Saya khawatir dia capek sendiri,” kata Erna. Namun Rasti merasa pasti, pilihannya baik.
Di awal hubungan memang hari-hari masih berjalan manis. Meski demikian Erna masih tetap merasa ada yang janggal. Sekian lama menjalin hubungan dengan putrinya, tidak sekalipun E datang mengenalkan diri. Di satu sisi Erna bisa mengerti mungkin ada rasa segan dalam diri putrinya karena ia tak menyetujui hubungan. “Tetapi kalau memang berniat baik pasti ada keinginan dari sang pacar untuk berusaha mengenal orangtuanya,” ujar Erna.
Hingga tibalah saat kabar buruk sampai di telinganya. Kabar pertama putrinya mendapat perlakuan kasar. Bukan dari mulut Rasti. Saat itu pertengahan 2011, Erna mendengar putrinya dilarikan ke rumah sakit dengan pecahan beling di kaki. Namun Rasti tidak berbicara banyak. Sempat mengungkapkan ada masalah, tapi disebutnya sudah selesai.
Sebagai ibu, Erna mencoba memahami mengapa putrinya belum mau bicara. Erna berpikir mungkin Rasti belum siap bercerita atau tidak mau membuat ibunya resah. Namun perlahan Erna melihat perubahan dalam diri putrinya.
“Saya tahu anak saya. Cara dia tersenyum, cara dia berbicara, cara dia bergerak. Saat dia tersenyum, saya melihat senyumnya berbeda, bahkan cara dia memberi komentar di jejaring sosial juga seperti bukan Rasti yang saya kenal,” tutur Erna.
Di mata Erna, Rasti ceria dan penuh semangat. Berbicara berapi-api, tertawanya pun lepas. “Saya melihat ada yang berbeda tapi tidak mengerti apa,” ungkap Erna.
Namun Erna memilih menunggu, ia tidak mendesak putrinya untuk bercerita. “Mungkin dia segan cerita dan merasa bertanggung jawab atas pilihan yang dia ambil,” kata Erna.
Hati Kecil Menangis
Di dunia entertainment kabar mudah menyebar. Tanpa bisa dibendung, entah bagaimana mulanya kabar kekerasan yang dialami putrinya mulai menyeruak ke publik. September 2012, Erna sudah mulai banyak menerima pertanyaan dari berbagai pihak. Memang naluri seorang ibu tak pernah salah. Terbukalah cerita bahwa putrinya dianiaya oleh kekasihnya sendiri.
Memutuskan untuk melaporkan ke pihak berwajib dan otomatis membicarakan kekerasan yang dialami ke muka publik bukan perkara mudah. “Pergulatan jiwa saya dan jiwa Rasti berat sekali untuk membuka kasus ini ke publik,” ungkap Erna. Ada nama besar yang dipertaruhkan, ada pekerjaan yang pasti terkena dampaknya.
“Makanya saya heran kalau ada orang yang menuduh kami mencari sensasi dan popularitas. Saya sendiri sesungguhnya tidak siap membicarakan ini,” ujar Erna.
Baik Erna maupun Rasti membutuhkan waktu dua bulan sebelum memutuskan. “Saya mengurusi ribuan anak-anak di yayasan, tetapi anak sendiri kecolongan, cobaan ini berat sekali,” ujar Erna. Namun Erna mencoba menata emosinya dan mendukung Rasti. “Saya salut Rasti berani bicara. Kalau Rasti siap, saya pun harus siap,” ujar Erna.
Butuh perjuangan keras saat pertama kali Rasti melakukan konferensi pers. Sebelum berbicara pada media, Rasti mengirim pesan pada ibunya. Itulah saat yang cukup menegangkan bagi Erna. “Saya menguatkannya. Mengakui kasus itu di depan kamera tidak mudah. Seluruh masyarakat akan tahu,” ungkap Erna yang menahan tangis saat melihat Rasti di televisi.
Di hadapan putrinya, di hadapan kamera televisi, dan di hadapan rekan-rekannya Erna mencoba bersikap tegar. Tetapi di rumah, air matanya menetes tak tertahankan. “Ada masanya mata saya sulit terpejam, makan tidak enak, tidur tidak bisa. Hati ini campur aduk. Rasa sedih dan marah menjadi satu. Bagaimana ini bisa terjadi pada putri saya?” tuturnya pelan. Erna mengaku sempat tak berani keluar rumah di siang hari. “Ke mall saja tidak berani. Rasanya semua orang bisa melihat masalah yang sedang kami alami dan menilai kami,” ujar Erna.
Erna mencoba mengikhlaskan bahwa peristiwa ini adalah pelajaran yang sangat mahal bagi keluarganya. Dia tidak ingin berandai-andai ke masa lalu. “Coba dulu begini coba dulu begitu, itu tidak memecahkan masalah. Sekarang bagaimana menuntaskan kasus ini dan mendapatkan keadilan,” ujarnya.
Ia bersyukur banyak bantuan datang. Mulai dari kerabat, rekan kerja, berbagai lembaga yang menangani kekerasan terhadap perempuan, hingga orang-orang yang tidak dikenalnya. Untuk menghadapi kasus ini Erna mempelajari hukum, giat mencari tahu pasal-pasal tentang kekerasan dari berbagai kenalan dan rekan-rekan pengacara. Jauh di dasar hatinya, Erna menahan emosi. “Kalau menuruti emosi, kalau hukum rimba berlaku...ah...” Erna tak menyelesaikan kalimatnya sambil menahan geram.
Rasti Butuh Terapi
Pasca-kejadian, Erna memilih memberi ruang untuk Rasti memulihkan hati dan perasaannya. Erna juga tidak memaksa Rasti kembali ke rumah. “Rasti butuh waktu. Kalau dia merasa nyaman dengan sahabat-sahabatnya, saya mendukung,” ujar Erna yang juga berkonsultasi dengan dokter dan therapist yang menangani Rasti. Tapi Rasti selalu lapor soal jadwalnya setiap hari. Erna memastikan selalu ada yang menemani Rasti.
Saat berdua Rasti, Erna memilih tidak membicarakan kasus ini kecuali putrinya bercerita. “Saya tidak mau terus menekan dia ke situasi itu. Saya memilih membicarakan hal lain. Misalnya dia mau makan apa, mau saya suapi lagi tidak, Rasti kadang kolokan juga,” Erna tersenyum. Membahas kasus itu akan membuat emosi naik lagi. Erna sadar, dirinya dan Rasti harus menenangkan diri.
Erna tetap melihat putri bungsunya sebagai sosok yang kuat. Memang sesekali putrinya meneteskan air mata ketika menceritakan kasus yang menimpanya saat pendampingan. Tetapi, di tengah prahara ini, Rasti tetaplah pekerja keras. Selain bolak-balik untuk urusan pengadilan, putrinya tidak terpuruk di rumah. “Dia shooting lagi, berusaha bangkit lagi. Saya bangg,” ujar Erna.
Suara Erna terdengar sedih. Luka masih membekas. Erna menjelaskan, kondisi Rasti tak bisa pulih dengan cepat. Berat badan Rasti menyusut 7 kilogram. “Rasti kurus sekali, rambutnya juga terpaksa dipotong pendek karena rontok. Tidak hanya fisik, kasus ini juga memengaruhi mentalnya. Sekarang dia tak lagi lancar membaca dialog, bicara saja jadi terpatah-patah,” pungkas Erna sendu. Namun, Erna yakin waktu yang berputar akan mengembalikan senyum Rasti untuknya.
Source : Goodhousekeeping Edisi Maret 2013 halaman 95
(vem/gh/dyn)