Bukan cuma pakaian yang bisa dimodifikasi. Cuaca pun bisa.
Oleh Laras Eka Wulandari
Jangankan meteor, hujan yang harusnya bersahabat pun bisa membuat hati ketar-ketir. Kemungkinan terburuk yang paling dikhawatirkan adalah banjir luar biasa seperti yang melanda Jakarta 17 Januari lalu. Saat usai banjir waktu itu pun kekhawatiran belum berhenti. Bahkan makin jadi dengan beredarnya isu di dunia maya dan berbagai platform pesan berantai, bahwa pada 27 Januari Jakarta akan tenggelam. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memang mengumumkan perkiraan akan kemungkinan banjir pada tanggal tersebut. Tapi pesan yang beredar sarat dramatisasi. Jadilah, kepanikan melanda.
Advertisement
Menyemai Garam
Syukur kekhawatiran tak terbukti. Hujan bukan serangan meteor yang sulit untuk diatasi. Caranya, dengan menerapkan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).
“Perlu diketahui, TMC atau yang dikenal sebagai hujan buatan bukanlah menciptakan hujan ataupun memindahkannya, tapi menghambat pertumbuhan awan, dan menjatuhkan hujan di luar daerah rawan banjir,” ujar Ir. Tri Handoko Seto, Msc, Ketua peneliti kajian hujan buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Awan yang dihambat pertumbuhannya adalah awan cumulus (awan yang menghasilkan hujan besar). Untuk mencegah banjir seperti di Jakarta, hujan dijatuhkan di luar daerah rawan banjir. Caranya dengan memanfaatkan arah angin. Awan cumulus ‘dicegat’ dan disemai garam sehingga hujan turun dengan curah lebih kecil. Setidaknya berkurang hingga 30 persen. Agar aman, biasanya hujan diturunkan di tengah laut. Tapi jika memang memungkinkan untuk diturunkan di darat maka yang dipilih adalah wilayah yang memiliki daerah resapan air dan aliran sungai dengan kondisi pada tingkat aman.
Proses modifikasi cuaca bukanlah hal baru di Indonesia. Uji coba pertama kali dilakukan oleh Prof. Dr. Ing. B.J Habibie pada 1970. Tahun 1980, penerapan teknologi ini berhasil meningkatkan curah hujan. Saat itu tujuannya adalah untuk menjaga ketersediaan air pada waduk sebagai sumber air untuk irigasi dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Proses pemanfaatan teknologi ini dimulai dari pengamatan terus-menerus. Bersamaan dengan itu dilakukan pengukuran terhadap faktor-faktor penentu hujan, seperti kelembaban udara, pertumbuhan awan, laju dan arah mata angin. Jika hasilnya menunjukkan awan cumulus bertumbuh dan angin juga bergerak sangat cepat, berarti ada kemungkinan hujan besar yang bisa menyebabkan banjir. Untuk itu dilakukan penyemaian garam (cloud seeding) dengan menabur bahan sejenis garam yang bersifat higroskopik (menyerap air) ke dalam awan cumulus. Kegiatan ini bisa dilakukan menggunakan pesawat terbang, roket darat ataupun Ground Base Generator (GBG). Selanjutnya pertumbuhan butir-butir hujan dalam awan akan meningkat hingga mempercepat terjadinya hujan sebelum awan cumulus terkumpul di atas wilayah yang rawan banjir. Air hujan yang dihasilkan ini tidak berbeda dengan hujan alami. Hasil penelitian tim BPPT menunjukkan air hujan ini berada pada grade A, yaitu berkualitas baik dan bisa dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga.
Hingga kini, sudah banyak daerah di Indonesia yang merasakan manfaat dari teknologi modifikasi cuaca. Misalnya menghentikan kebakaran hutan di Kalimantan pada tahun 1990-an dan mengantisipasi hujan lebat untuk kelancaran Sea Games ke-26 di Jakabaring, Sumatera Selatan.
Ini pun bisa diatur!
- Mengurangi hujan es
- Mengurangi kabut tebal
- Menambah curah salju untuk memperkecil kemungkinan kekeringan saat peralihan dari musim dingin
- Mengatasi kebakaran hutan
- Mengatasi kekeringan. Pada kondisi ini awan cumulus mengandung uap air yang berukuran kurang dari 2 mikron (sebesar butiran tepung) sehingga sulit menangkap air dan menghasilkan hujan. Normalnya sebesar 10-40 mikron.
‘Bintang Jatuh”
Hujan air bisa dimanipulasi, tapi tidak untuk hujan meteor. Kalau sekedar hujan meteor yang sebatas menghias langit, tak jadi masalah. Kita justru bisa menikmati pemandangan indah ‘bintang berjatuhan’. Tambah menyenangkan jika sambil membisikkan harapan. Tetapi masyarakat Rusia tak sempat membisikkan harapan mereka pada 15 Februari lalu. Hari itu Rusia betul-betul kejatuhan ‘bintang’ dengan perkiraan besaran awal 10 tahun dengan lebar 15 meter.
Bagai dalam film, penduduk setempat di beberapa wilayah sentral Rusia menyaksikan sebuah obyek terang benderang melintas langit, menuju permukaan bumi. Meteor berkecepatan 18 km per detik ini meledak tepat di atas Chelyabinsk pada ketinggian 15-25 km. Dengan kekuatan yang besarnya 20-30 kali kekuatan bom atom Hiroshima dan Nagasaki, meteor di Chelyabinsk cukup memberi dampak destruktif. Sekitar 1.000-1.500 orang terluka. Kebanyakan akibat pecahan kaca.
Hingga saat ini urusan menghindar dari meteor masih menjadi perkara rumit. Jangan membayangkan ada Bruce Willis dan teman-temannya yang siap mengatasi sebuah meteor seperti yang dilakukan terhadap asteroid dalam film Armageddon (1998). Lagi pula meledakkan meteor maupun asteroid untuk menjauhkannya dari bumi pun menurut para ahli bukanlah cara yang efektif.
Setiap hari hampir 100 ton benda angkasa masuk atmosfer bumi. Kebanyakan hancur terbakar atau jatuh ke laut. Peristiwa yang menimpa Chelyabinsk terhitung kecil kemungkinannya. Sepanjang sejarah, meteor Chelyabinsk merupakan benda ruang angkasa terbesar yang menghantam bumi sejak peristiwa Tunguska (1908) di Siberia, Rusia. Dan baru kali ini mencederai orang.
Source : Goodhousekeeping Edisi Maret 2013 halaman 54
(vem/gh/dyn)